Oleh : Arumi Nasha Razeta
Sebuah negara atau pemerintahan acap kali mengalami pasang surut dalam perkembangan ekonomi yang dipengaruhi oleh kebijakan masing-masing pemerintahnya. Begitu pula halnya dengan Indonesia. Karena sejak krisis ekonomi tahun 1997 telah memberikan implikasi yang memprihatinkan terhadap seluruh sendi pembangunan ekonomi dan tatanan kehidupan masyarakat. Perkembangan ini telah membawa pembangunan ekonomi mengalami masalah yang serius, diantaranya jerat hutang dan defisit anggaran. Dalam sistem perekonomian yang dianut saat ini, utang baik milik pemerintah, swasta ataupun individu merupakan satu komponen yang dibutuhkan.
Kondisi Hutang Indonesia dan Defisit Anggaran Negara
Bank Dunia (World Bank) membeberkan kondisi utang negara-negara didunia melalui laporan bertajuk International Debt Statistic (IDB) 2021. Laporan Bank Dunia menguak Indonesia termasuk dalam 10 negara berpendapatan kecil-menegah dengan jumlah utang luar negeri terbesar pada 2019.
Ternyata Indonesia berada pada posisi ketujuh dengan total utang USD 402,08 miliar atau sekitar Rp. 5.907 triliun (kurs Rp. 14.693 per USD). Terdiri dari utang jangka Panjang sebesar USD 354,5 miliar dan jangka pendek USD 44,799 miliar. Bank Indonesia melaporkan, bahwa hingga agustus 2020 utang luar negeri Indonesia meningkat menjadi USD 413,4 miliar atau sekitar Rp. 6.704 triliun (liputan6.com, 21/10/2020).
Anis Byarwati – Anggota Komisi XI DPR Fraksi PKS menegaskan agar Pemerintah lebih berhati-hati dalam menetapkan utang luar negeri. Karena bunga utang Indonesia untuk tahun ini telah mencapai Rp.338,8 triliun setara 17 persen dari APBN 2020. Angka ini telah melewati angka aman yang direkomendasikan IMF yakni 10 persen. Hinca Pandjaitan-Fraksi Demokrat (anggota Komisi III DPR) menyebutkan jika pemerintahan saat ini masuk “rezim berutang”. Menurutnya, Presiden dan Menteri Keuangan boleh saja menutupi soal utang ini dengan kalimat “bahwa negara lain juga mengalami lonjakan utang” (m.liputan6.com, 21/10/2020).
Namun sebagaimana diketahui, keberhasilan kampanye Presiden Joko Widodo 2014 silam dikarenakan “janji manis – tidak mau utang” yang terngiang-ngiang dibenak publik. Menurut Sekjen PDIP, Tjahjo Kumolo, Jokowi – JK secara tegas menolak penambahan utang luar negeri baru apabila terpilih menjadi Presiden-Wakil Presiden. “Kita mau mandiri, sehingga segala bentuk proses pembangunan Pendidikan, infrastruktur harus menggunakan dana sendiri. Menolak bentuk utang baru supaya bisa mengurangi beban utang setiap tahun,” jelasnya saat ditemui di Gedung DPR, selasa (3/6/2014) (m.liputan6.com, 3/6/2014).
Mengutip dari laman resmi Kemenkeu, sabtu (11/7/2020), alasan utama negara selalu berutang adalah untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur. Utang juga diperuntukkan guna mendorong pertumbuhan ekonomi. “Ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas menimbulkan tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional. Inilah yang menjadi dasar pemerintah mengakselerasi pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” tulis Kementerian Keuangan dalam keterangannya
Kementrian keuangan mencatat sepanjang periode Januari – Oktober 2020, defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2020 mencapai Rp. 765,9 triliun. Defisit ini setara dengan 4,67% terhadap produk domestic bruto (PDB) Indonesia. Data kemenkeu menunjukkan defisit tersebut sudah mencapai 73,6% dari outlook akhir tahun sebesar Rp. 1.039,2 triliun. Hal ini setara dengan target deficit akhir 2020 yakni 6,34% terhadap PDB (kontan.co.id, 23/11/2020). Keadaan defisit ini bisa ditutupi dengan memaksimalkan berbagai sumber keuangan negara, baik dalam maupun luar negeri.
Defisit anggaran negara biasanya dibiayai oleh utang baik domestik maupun utang luar negeri. Hal ini dikarenakan pengeluaran lebih besar dari pada penerimaan negara. Indonesia sendiri memiliki sejarah panjang berkaitan dengan utang dari pihak luar, baik secara bilateral maupun multilateral. Besarnya utang yang dimiliki Indonesia akan mengganggu perekonomian negara apabila tidak memiliki kemampuan untuk membayarnya. Dimana pembangunan ekonomi Indonesia Sebagian besar didapatkan dari utang luar negeri yang tidak sesuai peruntukannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Defisit Keuangan Negara
Defisit anggaran ini merupakan kebijakan fiskal yaitu suatu kebijakan ekonomi yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengelola perekonomian nasional. Kebijakan fiskal ini terkait dengan perubahan besaran pendapatan dan pengeluaran pemerintah untuk menciptakan kondisi perekonomian yang baik. Sumber daya dalam negeri yang diperoleh dari berbagai jenis pajak, devisa hasil ekspor dan dana internal lainnya masih terbatas jumlahnya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya defisit anggaran, antara lain lemahnya nilai tukar mata uang domestik. Dimana Indonesia merupakan negara yang melakukan pinjaman keluar negeri setiap kali ada perubahan nilai mata uang asing. Pinjaman luar negeri ini dihitung berdasarkan valuta asing, sedang pembayaran utang dihitung berdasarkan rupiah. Jika ada penurunan daya beli mata uang domestic terhadap mata uang lainnya, maka utang Indonesia akan bertambah besar.
Fakor lain yang mempengaruhi defisit anggaran adalah daya beli masyarakat yang rendah dikarenakan angka pengangguran yang tinggi. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kesejahteraan rakyat yang juga akan menurunkan minat beli masyarakat. Menurut Wakil Ketua KEIN, Arif Budimanta, respon kebijakan dalam negeri dari mikro yaitu sektor riil dimana tujuan utamanya Job Creation. Karena dengan adanya pekerjaan orang akan memiliki penghasilan sehingga bisa meningkatkan minat beli masyarakat. Hal inilah yang dapat menyebabkan ekonomi bergerak (cnbcindonesia, 14/8/2019).
Inflasi pun merupakan faktor yang dapat menyebabkan defisit anggaran. Secara tidak langsung naiknya harga barang dan jasa akan mengakibatkan turunnya daya beli dan konsumsi masyarakat. Hal ini menjadikan permintaan serta produksi menurun, sehingga pendapatan negara akan menurun dan membawa konsekuensi naiknya defisit anggaran.
Dalam sistem ekonomi Kapitalis secara garis besar penerimaan negara dibagi menjadi dua yaitu penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan. Penerimaan pembangunan ini berasal dari ULN sedangkan penerimaan pajak pemerintah selalu lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran dalam setiap periode anggaran. Cara yang dilakukan untuk menyeimbangkan neraca adalah dengan cara berutang serta memacu penerimaan melalui sektor pajak. Ini adalah mekanisme baku dalam Menyusun APBN serta solusi untuk menutupi defisit dinegara-negara Kapitalis.
Padahal apabila sistem keuangan negara semakin terjerat utang tentu akan selalu ada konsekuensi politik yang harus ditanggung. Saat negara pengutang tidak lagi mampu membayar, maka satu-persatu asset negara yang dimilikinya akan dilepas kepada negara (lembaga) pemberi utang. Dampaknya negara pengutang akan kehilangan kedaulatan dinegerinya sendiri, mereka akan mudah dikendalikan sesuai dengan kepentingan negara pemberi utang. Hal ini akan menyebabkan sistem keuangan negaranya makin kacau dan pada akhirnya menjadi negara yang bangkrut.
Ditambah sistem pemerintahan demokrasi dimana kedaulatan hukum ditangan manusia, akan melakukan segala cara demi menambal defisit tersebut termasuk dengan utang. Mereka akan dengan mudah membuat dan mengesahkan aturan untuk pengambilan utang luar negeri atau menaikkan pajak dimasyarakat.
Kondisi ini akan memperburuk keadaan karena negara tersebut akan semakin terjerumus pada utang luar negeri yang pasti mengandung bunga. Serta membuat rakyat sengsara akibat kenaikan pajak yang terus-menerus. Sekalipun negara tersebut kaya, namun jika sistem kapitalis demokrasi yang digunakan persoalan ULN dan defisit anggaran akan terus terjadi.
Sistem Perekonomian dalam Kacamata Syariah
Dalam sistem Islam, Khilafah merupakan institusi praktis yang menerapkan syariat Islam sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Juga termasuk bagaimana aturan Islam mengatasi defisit anggaran. Sistem ekonomi Islam tidak akan mengalami jalan buntu seperti sistem ekonomi Kapitalis. Jika terjadi defisit anggaran, Khilafah akan menyelesaikannya dengan tiga strategi.
Strategi pertama yang dapat dilakukan seorang Khalifah adalah dengan meningkatkan pendapatan.
Dalam hal ini ada empat cara yang dapat dilakukan. Yaitu dengan mengelola harta milik negara seperti menjual atau menyewakan harta milik negara (misal : tanah dan bangunan). Ini pernah dilakukan oleh Rasulullah ditanah Khaibar, Fadak dan Wadil Qura. Serta Khalifah juga boleh mengelola tanah pertanian dengan membayar buruh tani untuk mengelolanya. Semua dana yang diperoleh dari pengelolaan harta milik negara tersebut akan dapat menambah pendapatan negara.
Kemudian melakukan hima (pengkhususan oleh Khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus) pada sebagian harta milik umum. Misalnya, Khalifah melakukan hima pada tambang emas dipapua untuk keperluan khusus, seperti pembiayaan pandemi covid-19. Rasulullah pernah meng-hima satu padang gembalaan di Madinah khusus untuk menggembalakan kuda kaum muslim. Cara berikutnya adalah menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan Syariah dan terakhir, adalah dengan mengoptimalkan pemungutan pendapatan.
Strategi kedua dalam mengatasi defisit anggaran adalah dengan menghemat pengeluaran khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak. Strategi ketiga, dengan berutang (istiqradh) dimana Khalifah secara syar’i boleh melakukannya guna mengatasi defisit namun tetap terikat dengan hukum-hukum syari’ah. Haram hukumnya Khalifah mengambil utang luar negeri baik dari negara kafir harbi fi’lan seperti Amerka dan china. Atau dari Lembaga-lembaga konvensional seperti IMF dan World Bank. Alasan keharamannya dikarenakan utang tersebut pasti mengandung riba dan pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang.
Khalifah hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya jika dana di Baitul Mal tidak segera tersedia. Kondisi ini terbatas untuk tiga pengeluaran saja, yaitu untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil dan jihad fi sabilillah. Juga untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tantara dll. Serta untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa seperti menolong korban bencana alam dan kelaparan.
Pada tiga jenis pengeluaran diatas, jika dana yang berada diBaitul Mal tidak mencukupi, pada awalnya Khalifah diperbolehkan untuk memungut pajak. Namun apabila kondisi semakin memburuk dan dikhawatirkan dapat muncul bahaya, Khalifah boleh berutang sesuai dengan ketentuan Syariah.
Wallahu’alam bissawab.