Oleh: Sri Rahayu
Enak saja, Australia menuduh Indonesia buruk dalam menangani coronavirus. Apalagi dikatakan bakal menjadi _hotspot_ penyebaran corona? Kata siapa? Mari kita buktikan, benarkah tudingan Australia?
Tuduhan tak becus mengatasi corona, layak menjadi introspeksi kita. Mereka mengingatkan pemerintah tak serius menangani corona. Di saat negara- negara lain mulai menurun dan mendatar kasusnya, Indonesia masih terus menaik.
Tingkat pengujian yang sangat rendah dan tingkat kematian yang tinggi menjadi indikasi. Coba dibandingkan dengan Rusia. Negara dengan peringkat ke-18 dunia dalam melakukan tes ini, telah melakukan 107.445 tes per 1 juta orang. Sedangkan Amerika Serikat berada di urutan ke-27 dengan 80.750 tes per 1 juta orang. Brasil berada di urutan ke-108 dengan 11.302 tes per 1 juta orang. India berada di urutan ke-138 dengan 4.530 tes per 1 juta orang.
Tes masif sebagai dasar pemisahan yang sakit dari yang sehat tak secara nyata dilakukan. Indonesia tetap mendekam di peringkat ke-163 dengan hanya melakukan 2.193 tes per 1 juta orang. Indonesia sempat mencapai rekor tes pada Kamis (18/6/2020), yaitu menguji10.000 orang per hari. Namun itu hanya terjadi pada hari itu. TribunMataram.com (25/06/2020)
Nah yang tak dapat dipahami adalah, mengapa penguasa ngotot memberlakukan _new normal life_? Tak sadarkah itu sangat membahayakan dan mengancam nyawa rakyatnya? Apalagi saat ini puncak gelombangnya saja belum sampai. Kasus masih terus meroket. Apa dasar kebijakannya? Bertumpu pada penjagaan nyawa rakyat atau hanya mengikuti arahan tuannya?
Miris memang! Tudingan Australia itu sebenarnya sangat menampar kita. Pendapat yang mewakili dunia dan kita. Sudah seharusnya melakukan koreksi, evaluasi dan rekomendasi. Karena memang ditangan penguasalah letak kendali.
Penguasa punya segalanya. Seperangkat kebijakan, pelaksana, sarana dan tentu dana yang dimilikinya.
Selevel negara yang semua kewenangan ada padanya harus terdepan dalam menjaga dan melindungi kesehatan dan nyawa rakyatnya.
Jangan sampai kekuasaan yang diamanahkan padanya menjadi kehinaan dan sesalan nantinya. Kalau tidak berlindung pada pemimpinnya lantas rakyat mau berlindung kepada siapa?
Tak mungkinkan rakyat dibiarkan mencari solusi sendiri. Tapi itulah kenyataan yang terjadi!
Ngotot _new normal life_ tapi syarat dari WHO tak terpenuhi. Hingga hanya demi kapitalis Barat dan Timur, _new normal life_ dijadikan solusi. Inilah solusi kapitalisme. Menjadikan rakyat hanya tumbal.
Beraktifitasnya masyarakat dalam kehidupan umum meniscayakan saling berintraksi. Seharusnya negara mendeteksi dan memisahkan yang sakit dari yang sehat. Dengan menyelenggarakan tes masif sebagai dasar kebijakan. Yang sakit diisolasi dan diobati hingga sembuh. Yang sehat tetap bisa beraktifitas dengan protokol kesehatan. Jika ini dilakukan niscaya penyebaran akan ditekan bahkan sampai nol.
Tetapi ketika negara menerapkan sekuler kapitalis, maka biaya tes sebagai dasar pemisahan yang sakit dari yang sehat dibebankan pada rakyatnya.
Atas nama tuntutan _new normal life_, rakyat yang bepergian entah dengan transportasi darat, laut maupun udara harus di tes. Baik dengan rapid tes atau swap tes dengan PCR. Biaya tes yang lebih mahal daripada harga tiket tentu menjadi persoalan sendiri. Belum lagi masa berlaku yang sangat singkat. Rapid tes yang hanta 3 hari, swap tes 7 hari, menyisakan persoalan tersendiri ketika negara tak hadir. Apalagi bagi sopir truk antar propinsi. Ketika dalam perjalanan masa berlaku habis, masak harus merogoh kocek sendiri?
Inilah persoalan ikutan yang terus tumpuk menumpuk bak benang ruwet. Yaa Rabb kami sangat merindukan khalifah. Yang melayani kesehatan secara tuntas.
Apa daya kami kini hidup di alam demokrasi kapitalisme, layanan kesehatan justru hanya menjadi barang dagangan. Kebijakanpun hanya bertumpu pada laba dan manfaat untuk para kapital.
Layanan kesehatan yang harusnya murni menjadi tanggung jawab negara. Dalam sistem sekuler kembali lagi bertumpu pada untung rugi. Negara hanyalah regulator yang mengatur lalu lintas pemenuhan hajat hidup dengan perspektif untung dan manfaat semata.
Sangat kontras dibanding sistem Illahi Rabbi. Sebuah sistem nan menerapkan hukum yang terpancar dari ideologi Islam. Ideologi shahih dari pencipta, tentu menjawab tuntas ragam problema. Islam sebagai dien yang kamil ( sempurna) dan syamil ( komprehensif), memberikan pelayanan kesehatan gratis. Baik rapid tes, swap tes, fasilitas RS, jasa dokter, perawat, obat-obatan dan semuanya disediakan cuma-cuma oleh negara. Semua ditopang dalam sistem komprehensif dengan sistem politik dan sistem keuangan yang sempurna. Sehingga berapapun rakyat membutuhkan fasilitas kesehatan, pendidikan, keamanan dan lainnya negara sanggup membiayainya. Sungguh pos pendapatan negara telah ditetapkan syara, demikian pula pos pengeluarannya. Untuk kesehatan dan pendidikan negara mengambil dari pos kepemilikan umum. Kekayaan berlimpah baik di lautan, hutan dan semua kekayaan yang terkandung di perut bumi telah ditetapkan syara sebagai milik umum. Negara akan mengelola dan membelanjakannya untuk kesejahteraan rakyat, termasuk layanan kesehatan yang tuntas dan paripurna. Semoga pandemi kian membuka topeng yang merupakan penguasa budak kapitalisme hina. Hingga menjadi dorongan kesadaran menuju arus perubahan hakiki. Menuju tegaknya khilafah ‘ala minhajin nubuwah, aamiin. Wallahu a’lam bishawab.[]