Simalakama Lockdown

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ema Darmawaty

Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum berpikir untuk menerapkan kebijakan lockdown atau membatasi akses keluar-masuk di wilayah tertentu, demi mencegah penyebaran virus corona (Covid-19).
Jokowi berpendapat bahwa hal terpenting dalam pencegahan penyebaran virus corona saat ini adalah mengurangi mobilitas masyarakat dari satu tempat ke tempat lain. Dia mengimbau agar masyarakat tidak berkumpul atau mendatangi kerumunan.

“Sampai saat ini tidak ada kita berpikiran ke arah kebijakan lockdown. Jaga jarak dan mengurangi kerumunan orang yang membawa risiko lebih besar pada penyebaran Covid-19,” kata Jokowi saat konferensi pers di Istana Bogor, Senin (16/3).

Menurut Lindsay Wiley, dari Washington College Law, definisi lockdown sebenarnya tidak dikenal dalam kebijakan kesehatan masyarakat.

Dalam pengertian umum definisi lockdown sendiri terlalu luas karena mencakup karantina, pembatasan akses ke ruang publik, meliburkan sekolah, hingga menutup akses satu daerah dalam waktu tertentu. Istilah ini mencuat di tengah-tengah pandemi corona setelah sejumlah wilayah menerapkan lockdown untuk mencegah penyebaran virus. Di antaranya, Italia, Perancis, Belgia, Malaysia dan Filipina. Di Indonesia sendiri penyebaran virus ini makin masif. Pemerintah merilis data terbaru kasus positif virus corona Covid-19 hari Rabu (18/3). Ada tambahan 55 pasien baru positif sehingga total 227 orang dirawat karena terinfeksi corona.

Juru bicara pemerintah dalam penanganan virus corona Achmad Yurianto mengatakan angka ini merupakan hasil pengumpulan data dari hari Selasa (17/3) pukul 12.00 WIB hingga Rabu (18/3) jam 12.00 WIB. Tambahan pasien tersebut juga menjadi yang terbesar diumumkan pemerintah sejauh ini. Menyikapi makin bertambahnya kasus tersebut, pemerintah harus mengambil langkah tepat karena jumlah kasus saat ini hanya merupakan awal, juru bicara pemerintah khusus penanggulangan virus corona (Covid-19) Achmad Yurianto mengatakan jumlah pasien positif terjangkit Covid-19 bakal terus meningkat hingga April 2020. Lockdown adalah salah satu langkah yang di ambil beberapa negara dalam menghadapi pandemi corona ini. Pertanyaannya apakah Indonesia siap jika menerapkan lockdown?

Penerapan lockdown bagi pemerintah ibarat buah simalakama, itulah sebabnya mengapa sampai detik ini pemerintah pusat belum menentukan sikap tegas terkait lockdown. Ada beberapa dampak pada kehidupan masyarakat jika diberlakukan lockdown,

Pertama, dampak ekonomi, sebanyak 70 persen peredaran uang ada di Jakarta, bursa efek dan bank sentral bertempat di DKI Jakarta.Kepanikan akan terjadi di banyak tempat, membuat orang melakukan penarikan uang di bank untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok. Likuiditas bank terancam kering. Sementara panic buying memperparah stok persediaan bahan pangan. Saat pemerintah mengumumkan pasien Corona pertama, terlihat jelas bahwa pemerintah pusat maupun daerah tak bisa melakukan apapun untuk mencegah pembelian gila-gilaan itu. Terlebih ketika akan memasuki Ramadhan yang sudah pasti permintaan kebutuhan pokok makin tinggi belum lagi para spekulan jahat, para penimbun gelap yang memanfaatkan situasi ini untuk melakukan panic stocking. lockdown akan berdampak ke masyarakat kelas menengah ke bawah yang akan kesulitan untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk soal pendapatan. Kalau mereka tinggal di rumah, negara akan hadapi persoalan cara melayani mereka, tanggung jawab negara sangat berat.

Kedua, dampak sosial politik. Lockdown berpotensi melahirkan konflik sosial karena terkait dengan suplai kebutuhan masyarakat seperti makanan, obat, dan lain sebagainya. Bagaimana negara bisa mensuplai kebutuhan masayatkat luas,apalagi sebagian bahan kebutuhan pokok Indonesia masih tergantung pada impor. Jika kebutuhan pokok masyarakat tidak terpenuhi bisa terjadi penjarahan dan pasti menimbulkan kerusuhan.

Ketiga, kebutuhan pangan akan terganggu, penerapan lockdown akan menganggu distribusi barang dan bahan kebutuhan pokok yang akan mengakibatkan kelangkaan dan sudah pasti berimbas pada kenaikan harga. Dan masyarakat kelas menengah kebawah yang secara langsung merasakan dampak ini.

Akan tetapi ketika lockdown tidak segera dilakukan, dampak penyebaran covid 19 ini akan sangat meluas, di tengah terbatasnya fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang tidak sebanding dengan jumlah pasien yang akan terpapar virus corona, mengingat tingkat penyebarannya sangat tinggi. Dan ketika hal tersebut terjadi, mampukah pemerintah menghadapinya?

Akhirnya,akan muncul pertanyaan, manakah yang lebih penting status kesehatan masyarakat ataukah kestabilan ekonomi? Tentunya akan sulit bagi pemerintah untuk memilih diantara keduanya, semua karena sejak awal kepengurusan negara dalam sistem kapitalisme ini sudah salah.

Islam dan kebijakan lockdown.

Pada zaman Rasululullah SAW pernah terjadi wabah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Kala itu, Rasulullah SAW memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat orang yang mengalami kusta atau lepra. Dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda

“Jangan kamu terus menerus melihat orang yang menghidap penyakit kusta” (HR Bukhari).

Dari Abu Hurairah ra Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat” (HR al-Bukhari).

Rasulullah SAW juga pernah memperingatkan umatnya untuk tidak dekat dengan wilayah yang sedang terkena wabah. Dan sebaliknya jika berada di dalam tempat yang terkena wabah dilarang untuk keluar.

Rasulullah SAW bersabda “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu” (HR Bukhari).

Seharusnya negeri mayoritas muslim ini hendaknya mengikuti apa yang Rasulullah ajarkan. Kalau dalam Islam dengan sistem pemerintahannya tentu saja keselamatan umat lebih diutamakan. Lalu mengapa pemerintah saat ini tidak melakukan lockdown? Apakah karena anggaran yang tidak ada? Bagaimana bisa negeri yang kaya akan sumber daya alamnya bisa kekurangan uang? Apa karena telah di kuasai asing? Atau apakah sistem demokrasi yang di anut negeri ini mengharuskan seperti itu?

Sungguh jauh berbanding terbalik dengan pemerintahan sistem Islam di mana haram hukumnya kekayaan alam yang berlimpah diserahkan pengelolaannya/kepemilikannya kepada swasta apalagi asing. Karena itu semua merupakan milkiyah ammah(kepemilikan umum), khilafah wajib mengelolanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, salah satunya untuk biaya kesehatan termasuk membiayai lockdown jika terjadi wabah.

Oleh karenanya, dengan sistem kapitalisme saat ini sangat tidak mungkin mengeluarkan kebijakan yang cepat dan tepat guna kemaslahatan rakyat, karena masih banyak kepentingan-kepentingan para kapitalis yang mesti di pikirkan oleh penguasa.
Meskipun kita sadar bahwa upaya dan ikhtiar termasuk lockdown dilakukan tanpa mengurangi sedikit pun keyakinan tentang qadha dan qadar Allah SWT. Juga keyakinan tidak ada satu pun yang menimpa di bumi ini kecuali dengan seizin-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya “Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah” (QS al-Taghabun [64]: 11) akan tetapi tanggung jawab kepengurusan umat harus tetap di jalankan oleh penguasa.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *