Oleh : Retno Furi Handayani, A.Md
Baru – baru ini Ervina, asal Makassar, Sulawesi Selatan, mengalami nasib malang. Pasalnya bayi yang dikandungnya meninggal dunia karena penanganan yang lamban dalam proses kelahiran. Hal ini terjadi disebabkan adanya keterlambatan perlakuan protokol kesehatan yang diterapkan selama masa pandemi Covid 19 ini.
Setiap pasien yang akan menjalani proses melahirkan secara Operasi Caesar wajib untuk menjalani rapid test maupun swab test. Ervina harus menjalani Operasi Caesar karena mempunyai riwayat diabetes mellitus dan bayinya yang terlalu besar sehingga sangat beresiko untuk melahirkan secara normal. Menurut Alita Karen, pendamping Ervina, yang juga seorang aktivis perempuan, Ervina ditolak di tiga rumah sakit karena biaya rapid dan swab testnya tidak ada yang menanggung. Sehingga di rumah sakit terakhir, anak dalam kandungannya meninggal. (bbc.com, 17/6/2020)
Tes yang akan dilakukan tersebut tidak ditanggung oleh BPJS selaku lembaga penjamin pasien, hanya rumah sakit rujukan Covid-19 saja yang dapat menanggung tes tersebut. Untuk diketahui biaya rapid tes berkisar Rp. 200.000 – Rp. 500.000. Biaya berbeda di masing-masing rumah sakit. Sedangkan untuk swab test, pasien akan dikenai biaya sekitar Rp. 1.500.000 – Rp. 2.500.000. Hal ini tentu saja memberatkan bagi pasien dengan keadaan ekonomi menengah ke bawah.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyebut saat ini terjadi _komersialisasi_ tes virus corona yang dilakukan rumah sakit swasta akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes ini.
“Banyak RS saat ini yang memanfaatkan seperti aji mumpung dengan memberikan tarif yang mahal dan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Itu akibat dari tidak ada aturan dan kontrol dari pemerintah,” kata Trubus. (bbc.com, Rabu, 17/6/2020)
Dari kasus ini dapat kita pahami bahwa BPJS sebagai lembaga penjamin kesehatan masyarakat tidak mampu untuk menanggung biaya yang diperlukan oleh pasien, bahkan disaat urgent sekalipun. Minimnya informasi yang diterima masyarakat terhadap jalur birokrasi untuk pasien yang ditanggung juga menjadi salah satu penyebab lambannya penanganan pasien. Dan negara sebagai penanggung hajat hidup masyarakat juga seolah berlepas tangan terhadap permasalahan kesehatan.
Masyarakat diminta untuk mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya masing-masing, begitu pula rumah sakit. Sebagai bagian dari pelayanan kesehatan rumah sakit dituntut untuk mampu memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat, namun disisi lain juga harus mengelola rumah sakitnya secara mandiri tanpa bantuan dari negara.
Di dalam Islam fasilitas kesehatan termasuk hak untuk masyarakat. Sehingga Negara turun tangan langsung dalam pembiayaan sarana dan prasarana penunjang kesehatan, berupa rumah sakit, farmasi, laboratorium bahkan pendidikan untuk tenaga medisnya ditanggung oleh Negara. Rasulullah saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari)
Rasulullah SAW dan para Khalifah telah melaksanakan sendiri layanan kesehatan. Nabi SAW (sebagai kepala Negara Madinah) pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi SAW mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis, dokter tersebut beliau jadikan sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR Muslim).
Anas ra. menuturkan bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim).
Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah memanggil dokter untuk mengobati Aslam secara gratis (HR al-Hakim).
Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan wajib dilakukan Negara dan bukan yang lain. Negara harus mandiri dan tidak bersandar maupun bekerjasama dengan pihak lain (swasta). Sehingga baik si fakir maupun si kaya tetap mendapatkan fasilitas yang sama dalam kesehatan. Dan Negara wajib untuk mengalokasikan anggaran belanjanya untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi rakyatnya.
Dalam sistem kesehatan Islam, Khalifah tidak hanya menyediakan cara yang efisien untuk meneliti dan mengembangkan obat-obatan yang penting. Khilafah juga akan memungkinkan persilangan teknologi.
Perusahaan-perusahaan lain tidak akan dibatasi oleh adanya sistem paten regresif. Sehingga pelayanan kesehatan dan penanganan terhadap wabah di suatu Negara akan bisa dilakukan dengan lebih cepat dan menyeluruh. Hanya dengan sistem kesehatan sesuai syariat Islam yang bisa menyelesaikan permasalahan kesehatan secara menyeluruh.
Allahu’alam bissowab