Siapkah Anak-Anak Bersekolah Lagi di Masa Pandemi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Apriliana Putri

Jumlah kasus Covid-19 di Indonesia masih terus meningkat, angka terkonfirmasi mencampai lebih 30.000 kasus dengan rentang usia pasien yang beragam. Namun tanpa kita sadari, jumlah pasien anak dengan Covid-19 mencapai angka yang memprihatinkan padahal di awal pandemi anak dinyatakan sebagai kelompok usia yang relatif tidak rentan terkena virus corona. Menurut Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia pada telewicara Ayahbunda 20 Mei 2020 lalu, angka pasien anak yang terdata memang seolah kecil, hal tersebut terjadi karena anak-anak tidak masuk prioritas tes rapid/swab sehingga data yang masuk hanya pasien rawat.

Pengetesan rapid/swab umumnya ditujukan kepada usia pekerja aktif sehingga banyaknya dilakukan di tempat kerja, tempat perbelanjaan, bandara, stasiun, dll. IDAI mengungkapkan fakta bahwa tingkat penularan virus corona pada anak-anak tergolong cukup tinggi sehingga orang tua seharusnya waspada (Sehatq.com). Tanpa pandemi, dokter spesialis anak masih harus menghadapi banyaknya kasus infeksi pada anak. Sampai saat ini, TBC dan diare menjadi pembunuh anak Indonesia tertinggi dengan rangking yang bergantian setiap tahunnya. Covid-19 menjadi ancaman infeksi baru yang cukup fatal. Anak bisa tertular dari orang tuanya atau anggota keluarga lainnya yang terinfeksi meski tanpa gejala. Jika anak sering keluar rumah, maka peluang tertular dan menularkan sama besarnya dengan orang dewasa.

Pemerintah Indonesia sendiri saat ini sedang mencanangkan kenormalan baru. Kondisi dimana manusia diminta untuk berdamai dengan virus dan mulai kembali menjalankan aktivitas seperti biasa. Lalu bagaimana dengan anak-anak? Anak-anak akan kembali ke sekolah untuk melakukan kegiatan belajar dengan beberapa anjuran seperti memakai masker dll. Kebijakan New Normal ini dirasa tidak relevan untuk dihadapi apalagi oleh anak-anak. Jumlah anak di Indonesia usia 0-18 tahun ada sekitar 90 juta orang. Sejumlah itulah yang harusnya dijaga, bukan hanya oleh orang tua, namun juga oleh pemerintah. Bayangkan apabila sekolah dibuka dalam waktu dekat, penyebaran meluas dan angka kasus anak menjadi jauh lebih tinggi. Mau melarikan anak sakit kemana? Tidak semua rumah sakit siap.

Memang pembukaan kembali sekolah disertai dengan aturan penggunaan masker, menerapkan budaya cuci tangan, menjaga jarak dll, namun perlu kita sadari bahwa anak-anak hanyalah anak-anak. Seberapa paham mereka untuk tidak melepas masker dan menjaga jarak? Permasalahan anak menghadapi pandemi adalah hal yang kompleks. Ketika anak menjadi terduga atau bahkan positif, maka mereka wajib untuk dikarantina. Bagi orang dewasa saja, isolasi bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Lalu bagaimana bagi anak-anak? Tekanan psikis juga pasti akan menimpa mereka yang jelas akan menurunkan imunitas tubuh. Bahkan saat anak sehat pun, ketika orang tua mereka harus diisolasi, mereka harus berpisah sementara dengan orang tua mereka. Mereka harus diurus orang lain atau bahkan mengurus diri sendiri. Lalu bagaimana dengan bayi? Permasalahan ini bukanlah hal yang gampang. Kenormalan baru bukanlah hal yang semudah itu bisa diterapkan tanpa pertimbangan. Bukan hal berlebihan jika pembukaan sekolah di masa sekarang kita sebut mempertaruhkan satu generasi.

Di Indonesia, para ahli kesehatan telah bersuara. Apalagi melihat kurva epidemiologi yang bahkan belum menunjukkan titik puncak. Namun pemerintah telah membuat timeline bagi aktivitas ekonomi seolah tidak mendengarkan pendapat para ahli kesehatan. Hal ini menunjukkan kebijakan New Normal ini hanya mempertimbangkan aspek perekonomian saja. Keuntungan material diutamakan tanpa memperhatikan berapa banyak pasien yang berjatuhan dan nyawa yang melayang. Bahkan kesehatan sendiri menjadi hal yang dikomersialkan. Artinya, pemerintah semakin tidak peduli dengan keselamatan jiwa masyarakat. Padahal dalam Islam, pengambilan keputusan setidaknya harus memperhatikan 4 hal; kaidah sababiyah (hokum sebab-akibat), pendapat para ahli, kemudharatan, dan keyakinan akan qadha Allah.

Di sisi Allah, hilangnya nyawa seorang muslim lebih lebih besar perkaranya dari pada hilangnya dunia. Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak. (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Satu nyawa kaum muslimin yang hilang karena ketidakpedulian pemerintah menjadi pertanggungjawaban yang besar di hadapan Allah. Di sisi lain, pemerintah seharusnya berusaha maksimal untuk menyelesaikan masalah pandemi ini. Membantu masyarakat bertahan bukan malah membiarkan masyarakat berjuang sendiri-sendiri menghadapi pandemi dan hanya fokus untuk memulihkan perekonomian saja. Namun, bukankah hal itu tidak mungkin terjadi ketika kapitalisme masih menyelimuti negeri ini?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *