Si Melon dalam Lingkaran Korporatokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rina Yulistina

Sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah kira-kira kondisi rakyat Indonesia saat ini. Setelah diserbu kenaikan BPJS, TDL, PDAM dan harga sembako, ternyata rakyat harus menelan pil pahit kembali dengan naiknya LPG 3kg di pertengahan tahun 2020. Berita ini ramai terpublish diberbagai media baik cetak maupun online. Secara otomatis kalangan emak-emak mencak-mencak dapur mereka terancam tak mengepul, pedagang kaki lima terancam gulung tikar. Perekonomian semakin mencekik.

Menjadi alasan klasik penyebab pencabutan subsidi disebabkan oleh dua hal yaitu: (1) memberatkan APBN, (2) subsidi tidak tepat sasaran. Padahal efek dicabutnya subsidi sangat mengerikan. Inflasi akan naik, Kepala Ekonom Bank Mandiri menuturkan pada (m.bisnis.com) bahwa inflasi rata-rata akan naik sampai kisaran 3,25%, naik dari 2019 yang tercatat 2,72%.

Naiknya inflasi bekisar 3,25% termasuk tinggi membuat rakyat jungkir balik. Sebenarnya bukan hanya rakyat, negara pun ikut repot, daya beli turun pada akhirnya pertumbuhan ekonomi melambat. Ketika ekonomi melambat akibatnya tak mampu membayar utang, Bu Sri Mulyani pun ikut pusing tujuh keliling. Kenaikan LPG akan berefek meluas memperparah kondisi ekonomi makro maupun mikro yang sudah sekarat. Jumlah rakyat miskin yang digadang-gadang pemerintah “turun” akan naik melesat beriringan dengan naiknya inflasi.

Jika kita telisik kedua alasan tersebut, apakah benar, subsidi memberatkan APBN? Jika kita membandingkan besarnya anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah akan kita tahu bahwa anggaran subsidi tidak pernah lebih besar dari pada anggaran belanja pegawai dan tentunya tidak akan lebih besar dari anggaran untuk membayar bunga hutang negara. Pada tahun ini anggaran belanja pegawai dipatok sebesar Rp 416,14 triliun naik dibandingkan tahun 2019 yang hanya Rp 381,56 triliun (katadata.co.id).sedangkan untuk anggaran utang APBN 2020 sebesar Rp 351,85 triliun (kontan.co.id). Sedangkan untuk subsidi berdasarkan data dari (sindonews.com) subsidi energi pada tahun 2019 sebesar Rp 4,47 triliun dipangkas menjadi Rp 2,46 triliun pada APBN 2020. Sungguh miris bukan? Rakyat yang sejatinya membiayai anggaran pos pemasukan APBN melalui pajak harus menelan ludah hanya mendapatkan jatah Rp 2,46 triliun saja sedangkan para penjabat berdasi gaji dan tunjangan mereka naik. Lantas siapakah sebenarnya yang memberatkan APBN?

Alasan kedua yang menyatakan bahwa subsidi tak tepat sasaran, dan kedepannya pemerintah melalui Kementerian ESDM berencana memberlakukan subsidi tertutup melon 3kg langsung kepada masyarakat. Apakah dengan pemberian subsidi tertutup akan tepat sasaran? Bukankah kecurangan bantuan sudah menjadi makanan sehari-hari di negeri ini, Rakyat yang seharusnya berhak menerima malah gigit jari?

Pencabutan Subsidi Grand Desain

Dengan adanya pencabutan subsidi sesungguhnya rakyat dipaksa, mampu tak mampu rakyat terpaksa membelinya. Bukankah ini sangat kejam? Namun pencabutan subsidi ini tidak muncul secara tiba-tiba. Penerapan UU Migas No. 22/2001 menjadi penyebab terjadinya pencabutan subsidi. UU Migas ini syarat akan liberalisme diantaranya: Pasal 1 angka 19, Pasal 1 angka 23, Pasal 1 angka 24, Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c.
Pasal-pasal tersebut menjadi payung hukum pemisahan pelaksana dan pengatur di bagian hulu dan hilir. Ketika ada pemisah antara hulu dan hilir akibatnya Hak Menguasai Negara (HMN) tidak berlangsung secara efektif dan peran Pertamina malah melemah. Yang lebih mengerikannya Pasal-pasal tersebut membuka pintu selebar-lebarnya investor asing untuk mengeruk dan menguasai minyak dan gas bumi mulai dari hulu hingga hilir. Bukankah ini sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 D ayat (1) dan pasal 33 ayat (2).

Efek penerapan UU Migas ini, Indonesia harus mengimpor 70% LPG ke negara lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dan sisanya Indonesia memanfaatkan batu bara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Padahal dampak batu bara sangat mengerikan seperti yang ditayangakan film dokumenter ‘sexy killer’.

Sungguh ironis negara yang kaya akan SDA malah mengimpor 70% LPG sedangkan SDA bangsa ini diobral ke asing. Sejatinya telah banyak kritikan, protes, hingga menggugat UU Migas tersebut agar dicabut. Namun faktanya UU Migas tetap melenggang dikarenakan Indonesia telah terjerat oleh perjanjian Internasional. Liberalisasi migas merupakan konsekuensi yang harus diterima oleh Indonesia ketika melakukan perjanjian hutang kepada lembaga Internasional seperti IMF, World Bank, ADB dll. Seperti kasus pencabutan subsidi listrik diakibatkan perjanjian untang Indonesia dengan World Bank. IMF dan World Bank berperan mendektekan berbagai peraturan dan UU yang tercantum dalam Letter of Intent (lol).

Menguntip disitus (www.imf.org) isi Memorandum of Economic and Financial Policies (Lol IMF, Januari 2000) disebutkan: “Pada sektor migas, pemerintah berkomitmen mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional.”

Pada tahun 2001, Memorandun of Economic and Financial Policies (Lol IMF, July 2001) (www.imf.org) disebutkan: “Pemerintah Indonesia berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi yang dicantumkan kepada MEFP 2000. Secara khusus pada bulan September, UU Listrik dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR. Menteri Pertambangan dan Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarif listrik sesuai tarif komersil.”

Indonesia dengan Korporatokrasi

Perjanjian Internasional tersebut yang menyebabkan subsidi rajin dihapus oleh pemerintah dari setiap rezim yang berkuasa di negeri ini. Diperparah pemerintah saat ini menerapkan gaya korporatokrasi. Korporatokrasi merupakan perpaduan antara birokrasi dan korporasi. Jadi jangan heran jika kebijakan yang diterapkan tidak akan pernah pro pada rakyat namun pro pada korporasi. Gas LPG 3kg merupakan hajat hidup rakyat yang seharusnya menjadi tanggungjawab penguasa, namun tidak di dalam korporatokrasi, gas 3kg merupakan lahan bisnis basah untuk meraup keuntungan yang besar diatas keringat rakyat.

Sangat mengerikan pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan rakyat berubah menjadi moster yang mengerikan yang tega melahap rakyat kecil, segala macam pelayanan publik dinilai bisnis yang diperjual belikan kepada rakyat. Pemerintah menghitung laba disetiap tetes keringat rakyatnya yang mengais sisa-sisa rejeki. Lingkaran korporatokrasi merupakan hasil dari penerapan sistem kapitalis neoliberal yang diadopsi Indonesia kepada sang maestro Demokrasi. Negara tidak lagi menjadi pelindung, pelayanan namun sebagai regulator sedangkan pengurusan kebutuham publik diserahkan pada korporasi/swasta.

Islam Memberikan Solusi

Hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem Islam dalam naungan Khilafah. Khilafah tidak memposisikan dirinya sebagai regulator apalagi menyerahkan urusannya kepada pihak swasta namun sebagai pelayan bagi rakyat. ” Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggingjawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari).

Di dalam Islam haram hukumnya berlepas tangan apalagi hingga menjual SDA kepada asing karena sesungguhnya SDA adalah milik rakyat seperti Hadist Riwayat Abu Dawud dan Ahmad: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.”

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *