Ika Suhesti. S.Ikom
Setelah undang-undang cipta kerja disahkan pada selasa 5 oktober 2020 lalu, bermacam reaksi muncul dari berbagai elemen masyarakat. Kebanyakan dari mereka yang menolak melakukan aksi turun kejalan (cnnindonesia.com 13/10/2020). Berita kerusuhan saat aksipun menghiasi kanal-kanal berita online hingga media mainstream. Perang komentar antara pendukung UU cilaka dan yang kontra pemerintah tak terhindarkan disosial media. Pengesahan aturan yang konon akan berpengaruh pada ekonomi beberapa tahun kedepan telah membuat seluruh perhatian masyarakat tertuju padanya.
Tensi tinggi yang sempat terjadi kini sudah normal kembali. Tak banyak lagi debat panas tersaji. Suasana mencekam karena ketakutan masyarakat akan kerusuhan berangsur-angsur pulih. Fasilitas umum yang dikabarkan rusak sudah dalam perbaikan.
Aksi demonstrasi yang digawangi mahasiswa beberapa waktu yang lalu seolah menguap begitu saja. Gerakan atas nama solidaritas demi masa depan bangsa tak lagi membahana. Seolah berkata sudah, negeri ini sudah baik-baik saja. Selesai sudah perkaranya.
Sayang sekali bukan, aksi hingga berdarah-darah karena oknum yang anarkis dan aparat represif belum mampu menjadi solusi permasalahan pelik negeri ini. Gerakan impulsif yang tersulut atas kesadaran akan ketidak adilan akibat kapitalisme. Ikatan solidaritas yang hanya muncul jika terjadi “ancaman” dalam hal ini undang-undang cipta kerja memudar begitu saja seiring dengan belum jelasnya draft yang ada.
Padahal permasalahan negeri ini bukan hanya undang-undang yang baru saja disahkan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa negara sedang baik-baik saja. UU omnibuslaw dan utang negara yang kian membengkak adalah sekelumit fakta yang membutuhkan solusi nyata. Mari kita berfikir akar dari masalahnya hingga bisa menemukan solusi yang tepat untuk mengatasinya.
Wallahu’alam bishowab