Sertifikasi Wawasan Kebangsaan Bagi Da’i

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Faiha Hasna (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

Belum lama ini, Wacana sertifikasi wawasan Kebangsaan telah memicu kegaduhan dan keresahan dikalangan umat islam. Selain Tes Wawasan Kebangsaan LPK yang meresahkan publik, kini Kementrian Agama ( Kemenag) seakan latah dengan hal yang sama.

Dikutip dari Terkini.id, Jakarta – Menteri Agama (Menag), yakni Yaqut Cholil Qoumas, menegaskan perlunya sertifikasi wawasan kebangsaan untuk para penceramah agama. Hal itu menurut Menag Yaqut mesti dilakukan dalam rangka penguatan moderasi beragama. Ia menyampaikan bahwa sertifikasi ini terkait dengan penguatan moderasi beragama melalui kompetensi penceramah.

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR menyebut akan melakukan sertifikasi wawasan kebangsaan bagi para dai dan penceramah. Sertifikasi ini dilakukan dalam rangka penguatan moderasi beragama. Fasilitas pembinaan ini bertujuan meningkatkan kompetensi para dai dalam menjawab dan merespons isu-isu aktual. Strategi metode dakwah menitikberatkan pada wawasan kebangsaan atau sejalan dengan slogan hubbul wathon minal iman.

Masih menurut Menag, sertifikasi ini dilakukan kepada penceramah semua agama. Ia menilai masih ada penceramah yang provokatif dan intoleran dalam materi ceramahnya.

Senada dengannya, K.H. Cholil Nafis tampak mengapresiasi rencana Menag karena program ini  tidak akan merugikan siapa pun. Yang tidak ikut, masih boleh berceramah.

Meski diklaim tidak merugikan dan hanya dinilai sebagai bimbingan teknis dalam hal wawasan kebangsaan, tetap saja rencana tersebut menjadi bagian penguatan moderasi agama yang sebenarnya perlu dikritisi.

Diharapkan dengan sertifikasi tersebut, penceramah lebih moderat dan tidak terlalu kaku dalam menyampaikan dakwah. Yaitu dengan pendekatan kultural dan budaya setempat. Jika mengingat kembali, sudah beberapa kali program sertifikasi dai menjadi perbincangan pro dan kontra. Dari Kemenag era Lukman Hakim, MUI, Kemenag era Fachrul Razi, hingga era Yaqut.

Seakan permasalahan negeri ini bermasalah hanya pada satu problem semata, yaitu radikalisme. Seperti diketahui, program moderasi agama digaungkan sebagai upaya deradikalisasi. Turunan program ini adalah sertifikasi dai dan berlanjut menjadi sertifikasi wawasan kebangsaan.

Jika memang ingin umat memiliki pemahaman agama Islam yang benar, maka jawabannya adalah dakwah Islam yang benar sesuai Alquran dan Sunnah.  Bukan dengan program moderasi yang justru mengaburkan pemahaman  umat tentang Islam.

Ketua Umum Ikatan Dai Seluruh Indonesia (Ikadi) K.H. Ahmad Satori mengingatkan bahwa jangan sampai ada syahwat-syahwat dari golongan tertentu dalam sertifikasi dai berwawasan kebangsaan. Sertifikasi dai dinilai harus bertujuan hanya karena Allah swt..

“Kalau untuk menguatkan persatuan dan meningkatkan kompetensi dai, itu bagus-bagus saja. Bukan untuk tujuan syahwat-syahwat dari golongan tertentu,” kata K.H. Satori dikutip dari Republika, Jumat (4/6/2021). (Ayobandung.com)

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Dadang Kahmad mempertanyakan siapa target dari sertifikasi ini dan apa manfaat yang diterima oleh penceramah dan dai yang disertifikasi. Terkait sertifikasi wawasan kebangsaan ini, ia juga mewanti-wanti jangan sampai pertanyaan yang dikeluarkan menimbulkan polemik seperti yang terjadi di instansi Komisi Pemberantasan Korupsi.

Persoalan negeri ini sebenarnya bukan terletak pada sejauh mana kualitas wawasan kebangsaan para penceramah. Namun, persoalan utama sejatinya ada pada sejauh mana para penguasa negeri ini merealisasikan wawasan kebangsaan dan kecintaan sejati pada negeri ini.

Berkaca dari Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK, jangan sampai sertifikasi semacam ini menjadi program ‘pesanan’ yang dibuat untuk mengotak-ngotakkan kriteria penceramah; memberi label penceramah yang tidak dapat sertifikat dengan narasi radikal, narasi yang telah berhasil membuat umat makin jauh dari ajaran agamanya.

Sertifikasi wawasan kebangsaan bukanlah standar untuk mengukur kompeten tidaknya para dai. Tapi, kompetensi itu dinilai berdasarkan keilmuan yang dimiliki, konsistensinya memegang kebenaran, dan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dakwah mestinya disampaikan sesuai tuntunan Alquran dan Sunnah. Bukan berdasarkan pada pertimbangan dan penilaian manusia.

Patut diduga bahwa program ini dibuat untuk memberi label penceramah dengan kategori moderat atau radikal. Dengan harapan, umat akan semakin merasa ‘ngeri’ jika mendengar kata ‘penceramah radikal’. Sebuah stereotip yang sengaja dihembuskan Barat agar umat kian sekuler dan liberal.

Jika untuk penceramah saja harus dibuat ini itu, mengapa untuk penguasa dan pejabat negeri ini justru tidak diributkan dengan sertifikasi? Bila benar-benar harus merealisasikan kecintaan pada negeri, bukankah rasa cinta itu harus dibuktikan dengan tindakan nyata? Bukan sekadar sertifikat di atas kertas atau jualan slogan semata. Namun, dengan kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat dan negara.

Sejatinya, dakwah amar makruf nahi mungkar tidak membutuhkan sertifikasi, tapi konsistensi dan realisasi. Kewajiban menyampaikan kebenaran sudah dinyatakan Rasul dalam sabdanya, “Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Tugas da’i adalah menyampaikan amar makruf nahi mungkar secara bersamaan, bukan memilih salah satu. Senang menyeru amar makruf, tapi mendiamkan kemungkaran. Itu bukanlah sikap da’i sejati.

Rasulullah saw. bersabda: “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Alangkah baiknya Kemenag tidak bersibuk diri dengan pesan moderasi dan sertifikasi ke sana kemari. Lebih baik membuat program membina umat ini dengan pemahaman Islam yang lurus dan benar. Agar generasi tidak terjerumus pada pemikiran asing yang merusak seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, dll.; pergaulan bebas; serta kemaksiatan lainnya.

Sudah seharusnya, potensi para da’i dikerahkan untuk menyiarkan Islam sebagai jalan hidup yang wajib diambil sebagai hamba Allah swt. yakni Islam kaffah yang dituntunkan Allah Ta’ala.

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS Al Baqarah: 208)

Dilihat dari tujuannya, sekilas program ini terlihat mulia, dimana tujuannya untuk meningkatkan kompetensi penceramah dan agar da’i benar -benar memiliki pengetahuan keagamaan yang memadai serta memiliki komitmen kebangsaan yang kuat.
Namun, bagi yang memperhatikan dan mendalami pola kebijakan bisa dimpulkan bahwa sertifikasi tersebut tak lebih sebagai program deradikalisasi di kalangan ulama/da’i/mubaligh. Jadi program ini tak lepas dari proyek anti radikalisme yang di gagas oleh Barat. Deradikalisasi Islam oleh Barat dimaknai sebagai upaya menjauhkan umat Islam dari agamanya. Strategi Barat dibalik narasi ini tiada lain sebagai upaya pendangkalan ajaran Islam, upaya pemecah belah umat Islam antara kaum yang disebut radikal dengan kaum moderat dan upaya menghadang kebangkitan Islam. Itu artinya jika ada muslim yang yakin kebenaran islam dan ingin mewujudkan secara kaffah disebut kaum radikal. Jika ada muslim yang mengajak umat bangkit untuk menerapkan syariah dan khilafah akan disebut radikal.

Begitulah sasaran program ini. Yang nantinya ada pendukung rezim yang dikenal sebagai dai moderat dan ada pendukung kelompok dai yang berstempel radikal (kelompok terakhir inilah yang menjadi sasaran program ini).

Adapun dampak buruk yang mungkin terjadi dari program sertifikasi ini, antara lain :

Pertama, mengebiri fungsi da’ i sejati
Kedua, memproduksi ulama (da’i) su’u sebagai tukang stempel rezim.
Ketiga, terjadi pengotak-kotakan da’i dengan kategori moderat-radikal yang berpotensi adu domba keduanya.
Keempat, terjadi kegaduhan dan potensi konflik ditengah umat Islam.
Kelima, semakin mengeksiskan rezim-rezim dzalim dan sistem hidup sekulerisme – kapitalis liberal.

Bagaimana jadinya bila sertifikasi ini dipaksakan? Fakta menunjukkan bahwa sekilas, kiai besar saat meleburkan diri pada kekuasaan sekuler, posisinya tak lebih sebagai komoditas politik.

Da’i radikal cenderung kontra dengan berbagai kebijakan rezim dan berani memberi kritisi, selain itu juga da’i ini kerap mengajak umat Islam kembali pada penerapan Islam kaffah melalui penegakkan sistem politik Islam.

Maka, wajar jika wacana wawasan kebangsaan ini memicu keresahan dikalangan umat Islam. Inilah wujud gagalnya kemenag memahami terhadap ajaran agamanya sendiri.

Penguasa akan lebih leluasa mengarahkan da’i sesuai kehendak politiknya.Tidak ada lagi kontrol dan kritik terhadap penguasa saat ia tak memenuhi hak rakyat atau ketika penguasa tak menjalankan aturan Pencipta dalam mengelola urusan umat.

Untuk apa program sertifikasi ini harus diteruskan? Yang ada umat akan berfikir sekuler radikal jika dijadikan moderat ajarannya. Mengambil sebagian hukum Allah dan membuang sebagiannya adalah tindakan tercela pelakunya akan hina baik di dunia maupun diakhirat.

Dengan moderasi ajaran islam menjadikan islam tidak seutuhnya dipahami. Hakikatnya adalah mengubah ajaran Islam sendiri.

Da’i sejati tentu lahir dari proses panjang yang bisa jadi sangat melelahkan. Tak bisa instan hanya dengan selembar sertifikasi.

Wallahu ‘alam bi shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *