Serbuan Ayam Impor Menambah Derita Rakyat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Ummu Rasyidah (Ibu Rumah Tangga)

Derita rakyat di negeri ini seolah tidak berujung. Setelah beberapa waktu lalu ramai dibicarakan terkait kasus beras impor, kini Indonesia terancam serbuan daging ayam impor. Seperti diketahui, penyebabnya bukan kekurangan stok di dalam negeri melainkan ada kewajiban dari Indonesia untuk memenuhi tuntutan setelah kalah gugatan dari Brasil di organisasi perdagangan dunia (WTO).
Padahal selama ini produksi ayam, baik boiler maupun layer di dalam negeri mengalami surplus. Dalam beberapa tahun terakhir swasembada ayam pun sudah dicapai. Jika pasokan impor masuk, hal ini tentu akan menimbulkan kekhawatiran di berbagai kalangan masyarakat terutama para peternak.
Laman inilah.koran (3/52021) melansir, bahwa Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung Tisna Umaran meminta pemerintah pusat dapat mengatur mekanisme impor ayam potong. Jangan sampai daging ayam impor itu membanjiri pasar dalam negeri di saat produksi dalam negeri melimpah hingga menyebabkan anjloknya harga jual di pasar. Menurutnya, sejauh ini produksi ayam potong di dalam negeri termasuk di Kabupaten Bandung Jawa Barat sudah mencukupi.
Kasus kalah gugatan yang dialami Indonesia memaksanya harus mengikuti ketentuan WTO, yaitu Indonesia harus menerima impor ayam dari Brasil atas nama pasar bebas. Konsekuensi menjadi anggota, menempatkan Indonesia begitu tergantung dan tidak berkutik terhadap keputusan WTO. Impor tidak lagi berdasarkan kebutuhan dalam negeri tetapi semata-mata tekanan.
Akhirnya menjadikan penguasa tidak memiliki kemampuan membela rakyatnya dan tak berdaya untuk menolaknya. Persaingan menjadi tidak seimbang antara negara berkembang dengan negara maju. Pasar bebas yang digadang-gadang memajukan ekonomi dunia nyatanya hanyalah isapan jempol belaka. Yang terjadi negara berkembang dengan jumlah penduduk yang besar menjadi potensial memasarkan produk hasil dari teknologi negara-negara maju, sehingga negara berkembang dipaksa menerima keputusan yang telah ditetapkan walaupun merugikan rakyatnya sendiri. Kekhawatiran pasti akan dirasakan para peternak untuk bersaing dengan ayam impor. Ketika harga anjlok apa yang bisa diperbuat oleh para peternak lokal, selain kerugian karena tidak mungkin menurunkan harga sedangkan pakan ternak sudah lumayan mahal. Tapi inilah kenyataan di negara yang menerapkan kapitalisme sekular. Rakyat dibuat was-was dan menderita dengan banjirnya barang impor. Penguasa tidak bisa dijadikan tumpuan atas nasib mereka yang menderita.
Impor berbagai produk terus berulang menandakan negara semakin tidak berdaya dikangkangi negara-negara kuat nan serakah. Perdagangan internasional didominasi oleh para kapital dunia, sehingga mereka bisa berbuat apa saja terhadap negara berkembang dengan memanfaatkan organisasi internasional untuk terus mengikat dan menjerat.
Impor dalam pandangan Islam sebenarnya bukanlah sesuatu yang diharamkan, walaupun tetap mesti memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan syariat. Adakalanya kebutuhan dalam negeri tidak bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Maka negara akan mengatur mekanisme impor sesuai syariat, yaitu yang tidak mengandung keharaman dan negara pengimpor bukanlah negara yang memusuhi Islam dan kaum muslim.
Di dalam sistem Islam, seorang pemimpin (khalifah) tidak akan rela membiarkan rakyatnya menderita serta mendapatkan kesulitan, justeru khalifah memiliki kewajiban memajukan ekonomi rakyatnya. Yang kesulitan modal atau pemasaran akan dibantu, karena tanggung-jawabnya. Rasulullah saw. bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Negara berbasis ideologi Islam diharamkan memasuki organisasi internasional apapun yang dijadikan sarana memperlemah kedaulatan dan perekonomian negaranya. Dengan demikian agar Indonesia mampu melepaskan kerangkeng hegemoni negara-negara kapital dunia, harus keluar dari keanggotaan WTO dan organisasi-organisasi dunia lainnya, serta campakkan kapitalisme sekular, menggantinya dengan menerapkan Islam kaffah.
Wallahu a’lam bi ash-Shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *