Sengkarut Pembahasan RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja)

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rifqi Riva Amalia, SE

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ngotot membahas RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja) meski dipersoalkan banyak pihak. Keberatan yang disuarakan buruh dan aktivis tak digubris dan lembaga legislatif tersebut tetap tancap gas membahas rancangan undang-undang yang digadang-gadang akan menggantikan UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dilansir dari Tirto.id RUU Cilaka memiliki sejumlah poin yang alih-alih memihak buruh dan pekerja malah memberi keuntungan pada pengusaha. Selain isinya dinilai ngawur, terdapat juga typo atau salah ketik. Salah satunya di Pasal 170 yang tertuang dalam Bab XIII Ketentuan Lain-Lain RUU Cipta Kerja.

Dalam Pasal 170 ayat (1) disebutkan Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang. Pasal 170 ayat (1) berbunyi: “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.”

Pasal 170 ayat (2) berbunyi: “Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Sementara Pasal 170 ayat (3) berbunyi: “Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.”

Padahal, Pemerintah Pusat tidak bisa mengganti ketentuan dalam undang-undang (UU). Jika ini diloloskan, maka pemerintah memiliki keluasan kekuasaan untuk mengganti aturan seenak udelnya.

Di lain sisi pembahasan RUU Cilaka banyak dikritik karena tak melibatkan buruh dalam pembahasannya. Padahal, buruh merupakan pihak yang paling memiliki kepentingan dalam RUU ini.

Dikutip dari siaran persnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan pengubahan dan penghapusan pasal-pasal terkait PHK di atas akan mengakibatkan buruh lebih gampang dipecat. Pengusaha, misalnya, tak perlu bersitegang dengan serikat. Pemerintah juga tak perlu lagi bersusah payah “Mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.”

RUU Cilaka juga mempermudah pengusaha mem-PHK pekerja karena ia memperluas jenis-jenis PHK yang bisa dilakukan tanpa perundingan. “Jika dalam UU 13/2003 jenis PHK yang bisa dilakukan tanpa izin hanya mencakup 4 jenis, dalam RUU Cipta Kerja terdiri dari 8 jenis. Celakanya, PHK tanpa izin bisa dilakukan karena perusahaan melakukan efisiensi,” tulis Iqbal.

Langkah ini menjadi bukti bahwa negara tak memiliki kehendak untuk berpihak pada rakyatnya. Padahal semestinya negara menjadi lembaga yang mampu melindungi siapapun penduduk yang hidup di wilayah tersebut. Bukan hanya pengusaha atau pemilik modal, tapi juga buruh atau pemilik tenaga yang dipekerjakan pengusaha tersebut.

Bagaimana Islam Mengatur Buruh?
Islam adalah agama rahmatan lil alamin, artinya Islam datang untuk menjadi rahmat atau kasih sayang bagi sekalian alam. Dengan kata lain, tak ada satu perkara pun di muka bumi ini yang tak diatur dalam Islam. Termasuk dalam hal ini hukum perburuhan.

Setiawan bin Lahuri dalam tulisannya yang berjudul “Perlindungan Islam Terhadap Buruh” menyebutkan bahwa selain memberikan aturan yang jelas dalam kontrak kerja, Islam juga menyediakan hukum yang harus diperhatikan bagi para pemilik perusahaan. Utamanya dalam hal memberikan perlindungan kepada pekerja.

Hal-hal tersebut menyangkut, pertama, perlindungan terhadap pekerja dan waktu istirahat yang layak. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rolasulullah SAW, “Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak atas dirimu”. Sabdanya yang lain, “Istirahatkanlah hati barang sejenak, karena sesungguhnya jika hati sampai jenuh dia akan buta”. (HR. Baihaqi). Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap tubuh yang bekerja memiliki hak istirahat. Karena itu bagi siapa saja yang mempekerjakan orang lain, maka pekerja memiliki hak untuk beristirahat atau jeda dari pekerjaannya.

Kedua, ada jaminan penghidupan bagi pekerja. Rosulullah SAW bersabda: “Barang siapa bekerja pada kami dan dia tidak memiliki rumah, maka hendaklah dia mau mengambil rumah, jika dia tidak mempunyai istri, maka hendaklah dia dipermudah menikah atau jika dia tidak mempunyai kendaraan maka hendaklah dia mengambil kendaraannya”. ( HR. An Nasa’i ). Dari hadits ini Rasullullah memberi contoh kepada kita umatnya, jika mempekerjakan seseorang hendaklah kita juga membantunya untuk mendapatkan rumah, membantunya menikah dan juga membantunya membeli kendaraan. Rasulullah merupakan contoh sempurna, karena itu keteladanan beliau patut dicontoh. Termasuk bagaimana memperlakukan pekerja.

Ketiga, menyegerakan membayar gaji (upah). Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Berikanlah gaji pekerja sebelum kering keringatnya”. ( HR. Ibnu Majah ). Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda, “Sikap menunda-nunda pembayaran bagi orang kaya adalah suatu kedzaliman.” ( HR. Abu Dawud ). Jelas bahwa ada hak yang dimiliki pekerja adalah segera mendapat gaji atas apa yang dia kerjakan. Jika menunda bahkan merumahkannya dengan alasan tak jelas, maka ada kedzaliman di dalamnya.

Jika ketentuan yang demikian itu saja berlaku untuk pengusaha. Maka sebuah negara haruslah bisa melakukan lebih dari sekedar yang bisa dilakukan seorang pengusaha. Seharusnya negara hadir bagi kedua belah pihak. Yaitu pengusaha dan pekerja. Negara wajib menciptakan suasana kondusif yang mampu menumbuhkan usaha yang baik sehingga pengusaha mampu membayar pekerjanya dengan layak. Bukan malah menciptakan undang-undang yang berpihak pada salah satu saja. Lebih-lebih membuat undang-undang dengan pasal karet yang bisa dimainkan sesuai kepentingan penguasa.

Wallahua’lam bis shawab.

*) ibu rumah tangga yang hobi membaca berita ekonomi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *