Sengkarut Kebijakan Benur, Berujung Pada Korupsi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Fatmala (Aktivis Dakwah, Mahasiswi Pascasarjana)

 

Lagi dan lagi berita tak mengenakkan sampai ketelinga umat. Yang seharusnya mensejahterahkan malah merugikan. Baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang melibatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. KPK menetapkan tujuh orang tersangka salah satunya yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terkait dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara Negara terkait perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020 (REPUBLIKA.co.id 26/11/2020).

Dilansir dari CNN Indonesia, KPK menduga pihak penerima uang memberikan tarif daya angkut untuk ekspor benih lobster sebesar Rp1.800 per ekor. Uang tersebut diduga digunakan untuk pembelian sejumlah barang mewah di luar negeri (26/11/2020). Kasus yang memang sudah diwanti-wanti oleh beberapa pihak akan terjadi, mengingat permasalahan benih lobster ini sudah menjadi permasalahan lama yang diperdebatkan.

Dimasa jabatan menteri sebelumnya ekspor benih lobster telah dilarang. Namun, keran ekspor benih lobster kembali dibuka sesuai yang tercantum dalam Permen KP Nomor 12/2020 yang ditandatangani Edhy pada 4 Mei 2020. Dengan dalih pencabutan larangan ekspor benur dilakukan karena keluhan nelayan kecil. Seturut catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), harga benih tangkapan nelayan hanya berkisar Rp3-5 ribu. Padahal, saat benih lobster tersebut sampai di Vietnam harganya bisa mencapai Rp139 ribu per ekor. Artinya, keuntungan yang didapat eksportir jauh lebih besar ketimbang keuntungan nelayan.

Pada ujungnya, pembukaan keran ekspor ini justru menguntungkan oligarki belaka. Sebab, sebagian besar eksportir benur nyatanya berasal dari lingkaran para elite politik. Jika ditelisik lebih dalam mengenai elit politik yang berperan dalam ekspor benih lobster ini sungguh mencengangkan. Laporan Majalah Tempo edisi 4 Juli 2020 menyebut bahwa sebagian dari 25 perusahaan eksportir benur yang dapat izin KKP diketahui berjejaring dengan Gerindra, partai asal Edhy.  Di dalam PT Royal Samudera Nusantara, misalnya, ada nama Ahmad Bahtiar Sebayang sebagai komisaris utama. Bahtiar adalah Wakil Ketua Umum Tunas Indonesia Raya, underbouw Partai Gerindra. Bahtiar juga menjadi Kepala Departemen Koordinasi dan Pembinaan Organisasi Sayap Gerindra. Ada pula PT Bima Sakti Mutiara, PT Agro Industri Nasional, serta PT Maradeka Karya Semesta. Komisari perusahaan pertama adalah Hashim Djojohadikusumo, pengusaha senior sekaligus adik Menteri Partahanan Prabowo Subianto. Dua perusahaan lain pun melibatkan nama-nama yang tidak kalah familiar, seperti Rauf Purnama (anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Pilpres Prabowo-Sandi), Dirgayuza Setiawan (pengurus Tunas Indonesia), Sugiono (kader Gerindra), hingga Darmawan Aras (Wakil Ketua Komisi Infrastruktur DPR dari Fraksi Gerindra). Bukan cuma Gerindra, perusahaan pemegang izin lain juga terafiliasi dengan parpol lain. Sebut saja PT Alam Laut Agung yang dimiliki kader PKS Lalu Suryade, serta PT Nusa Tenggara Budidaya yang dalam komposisi pemegang sahamnya terdapat nama politikus Fahri Hamzah (tirto.id 25/11/2020).

Dari fakta diatas yang didapat dari berbagai sumber media, bisa memberikan kita gambaran wajah buruk system demokrasi. Dimana jabatan hanya dijadikan ladang untuk meraih keuntungan elit politik bahkan keuntungan pribadi semata tanpa memperdulikan nasib rakyat. Pergantian menteri sudah menjadi rutinitas yang dilakukan dalam system demokrasi. Namun, digantinya menteri bukan berarti akan menjanjikan keberhasilan yang gamilang. Alih-alih memberikan keberhasilan atau keuntungan malah merugikan Negara miliaran bahkan sampai triliunan. Negara sudah tidak malu lagi menambah utang  keberbagai  Negara, namun disisi lain uang Negara habis dikorupsi para pemangku kekuasaan yang tidak bertanggung jawab.

System Islam Mencegah Celah Korupsi

            Islam hadir tentu tidak hanya sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam. Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing. Rasulullah saw bersabda : Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api  (HR Ibnu Majah).

Jika kekayaan alam dikelola tanpa landasan syariat maka tidak heran jika banyak praktik korupsi yang terjadi seperti sekarang ini. Karena memang pada dasarnya system yang diterapkan jauh dari system islam. Korupsi ialah menyalahgunakan atau menggelapkan uang/harta kekayaan umum (negara,rakyat atau orang banyak) untuk kepentingan pribadi. Islam diturunkan Allah SWT untuk dijadikan pedoman dalam menata kehidupan umat manusia, baik dalam berkeluarga, bermasyarakat, sampai bernegara. Tidak ada sisi yang tidak diatur oleh islam. Aturan atau konsep itu bersifat mengikat bagi  setiap orang yang mengaku muslim. Konsep islam juga bersifat totalitas dan komprehensif, tak boleh dipilah-pilah seperti yang dilakukan kebanyakan pada zaman sekarang. Mengambil sebagian dan membuang bagian lainnya, adalah sikap yang tercela  dalam pandangan islam.

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akan arti kesucian, sehingga sangatlah rasional jika memelihara keselamatan (kesucian) harta termasuk menjadi tujuan pokok hukum (pidana) islam. Karena mengingat harta mempunyai dua dimensi, yakni dimensi halal dan dimensi haram. Perilaku korupsi adalah masuk pada dimensi haram Karena korupsi menghalalkan sesuatu yang haram, dan korupsi merupakan wujud manusia yang tidak memanfaatkan keluasan dalam memperoleh rezeki Allah SWT. Dan islam membagi istilah korupsi kedalam beberapa dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan). Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum islam merupakan perbuatan tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Islam tidak menentukan apa hukuman bagi pelaku suap, akan tetapi menurut fuquha bagi pelaku suap-menyuap ancaman hukumannya berupa hukuman ta’zir yang disesuikan dengan peran masing-masing dalam kejahatan.yang kedua, korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah), yang berarti mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi, artinya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya, jadi saraqah adalah mengambil barang orang lain dengan cara melawan hukum atau melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sudah sepatutnya kita kembali menerapkan aturan sang pencipta secara kaffah tanpa memilah-milah. Hanya dengan system islamlah, problematika umat bisa diselesaiakan. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 188:

“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui”.

Wallahu a’lam bish shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *