Sembako dan Pendidikan Dipajaki, Rakyat Menjerit

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Nur Aisyah (Ibu Rumah Tangga)

 

Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12 % serta pembebanan PPN terhadap sembako dan jasa pendidikan. Hal ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan kelima atas UU nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan “Tarif pajak pertambahan nilai adalah 12%,” demikian tertulis pada pasal 7 ayat 1.

Untuk sembako yang terkena pajak yaitu :
1. Beras
2. Gabah
3. Jagung
4. Sagu
5. Kedelai
6. Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
7. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan caralain, dan atau direbus
8. Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuktelur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas
9. Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan atau dikemasa tau tidak dikemas
10. Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan atau dikemas atau tidak dikemas
11. Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.

Menanggapi hal itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tegas menolak rencana pemerintah itu. “Bagi kami, kenaikan PPN saja sudah akan menjadi beban konsumen dan masyarakat secara umum, apalagi jika pembebanan PPN ini menyasar sembako dan jasa pendidikan dimana dua sektor strategis itu terkait hajat hidup masyarakat,” ujar Ketua Departemen Politik DPP PKS, Nabil Ahmad Fauzi kepada SINDOnews, Jumat (11/6/2021).

Tak hanya sembako, pendidikan pun akan terkena pungutan pajak. Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji mengatakan
“Sekarang faktanya anak Indonesia sendiri belum semua bersekolah di level SD maupun SMP. Angka partisipasi murni kita SD masih 98%, SMP masih 80%. Berarti masih ada 2% di tingkat SD anak di Indonesia belum sekolah, masih ada 20% anak tingkat SMP belum bersekolah. Pemerintahan berarti belum membiayai pendidikan dasar ini, kok sudah mau pajaki,” jelasnya kepada detikcom, Jumat (11/6/2021).

Kebijakan pemberlakuan pajak pada sembako dan pendidikan merupakan kebijakan yang zalim tak berpihak rakyat. Dengan kenaikan PPN saja itu sudah menambah beban karena akan berpengaruh terhadap naiknya harga barang-barang. Ditambah pungutan pajak terhadap sembako yang merupakan kebutuhan pokok akan menyengsarakan rakyat.

Pemerintah berdalih kenaikan PPN dan pungutan pajak pada sembako dan pendidikan adalah jalan untuk mengurangi defisit anggaran dan hutang negara yang melebar. Padahal dengan kebijakan tersebut hanya akan menzalimi rakyat. Menurut kajian Bank dunia, setiap ada kenaikan harga beras sebesar 10% maka akan bertambah 1,2 juta orang miskin di Indonesia.

Diperparah pula dengan pungutan pajak pada jasa pendidikan. Tentu akan menambah jumlah anak yang putus sekolah karena terbentur biaya. Padahal menyediakan akses pendidikan kepada rakyatnya adalah tugas pemerintah berdasarkan Undang-undang Dasar 1945. Seharusnya pemerintah memberikan pendidikan secara gratis. Tapi faktanya akses pendidikan harus berbayar dan sekarang biayanya akan bertambah mahal karena terkena pajak.

Semua ini akibat diterapkannya sistem kapitalisme dimana sumber pemasukan negara terbesar dari sektor pajak. Dengan berbagai macam jenis pajak yang diberlakukan pemerintah terhadap rakyat, entah si kaya atau si miskin, semua wajib membayar. Pemerintah merasa berhak memungut pajak (wajib) terhadap warga negaranya.

Dalam Islam, sumber pemasukan kas negara itu banyak posnya, yaitu dari fai, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang serta harta zakat.

Pajak (dharibah) sendiri dalam islam adalah salah satu sumber pendapatan negara yang hanya sebagai solusi dalam keadaan darurat, yaitu apabila sumber pendapatan yang lain tidak dapat mencukupi kebutuhan baitul maal (kas negara) tapi jika baitul maal sudah mencukupi maka pajak (dharibah) harus
dihapus.

Jadi pajak dalam Islam tidak wajib, alias dipungut jika negara benar-benar sedang pailit. Dan pajak hanya berlaku bagi warga negara daulah yang muslim saja, untuk non muslim tidak dipungut pajak (dharibah).

Lalu bagaimana cara memungut pajak dari kaum muslimin? Jawabannya semua dipungut dari sisa nafkah (kebutuhan hidup) mereka, serta dari harta orang kaya menurut ketentuan syariah. Harta orang kaya adalah harta yang merupakan sisa dari pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder secara maruf.

Jadi pajak hanya jika kas negara kosong dan dipungut terhadap muslim yang kaya. Masya Allah, sungguh Islam memiliki aturan yang adil dan mulia. Wallauhu’alam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *