Self Healing, Cukupkah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Durriyatut Tayyibah

Masalah adalah hal umum yang sering dialami oleh manusia. Masalah-masalah yang sering dihadapi oleh manusia tak jarang menyebabkan penyakit mental. Tak sedikit akhirnya dari berbagai masalah yang dihadapi membawa pada penyakit mental, seperti depresi, putus asa, stres dan lain-lain. Akhirnya tidak sedikit dari mereka yang memilih jalan bunuh diri sebagai pilihan untuk mengakhiri beban yang ditanggungnya. Hal ini sejalan berdasarkan data yang dilansir melalui pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI menyatakan bahwa bunuh diri menempati peringkat kedua sebagai penyebab kematian pada kelompok umur 15-29 tahun. Indonesia berpenduduk yang didominasi oleh Muslim, diakui atau tidak, angka bunuh diri termasuk cukup tinggi. Baru-baru ini juga ramai media yang memberitakan seorang siswi SMA di Gowa Sulawesi Selatan bunuh diri. Diduga, korban bunuh diri akibat depresi akibat tugas daring yang menumpuk dari sekolah. Anak sekolah mudah stres dengan pembelajaran jarak jauh. Kondisi diperparah lagi dengan adanya pandemi seperti ini.

Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa dengan bunuh diri semua masalah akan selesai begitu saja. Padahal kehidupan di dunia hanya sementara dan segala sesuatu selalu ada obatnya. Menyerah lalu memutuskan untuk mengakhiri kehidupan dengan tragis dan sia-sia bukanlah pilihan yang tepat, sebab segala sesuatu akan dimintai pertanggungjawaban. Lalu, bagaimana cara penyembuhan atas permasalahan yang begitu kompleks semacam ini?

Seolah menjadi angin segar, akhir-akhir ini masyarakat mulai melirik proses penyembuhan mandiri dengan metode self healing. Self healing adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengobati penyakit mental yang berpotensi menimbulkan adanya depresi. Disinyalir, dari metode penyembuhan diri secara mandiri ini mampu diterapkan untuk menghadapi rumitnya masalah kehidupan. Lalu muncul pertanyaan baru, sekuat apa metode self healing ini bekerja? Belajar dari peristiwa tragis yang dialami siswi di Gowa ini membuktikan, bukan kuota yang menjadi masalah bagi sang korban, melainkan ketersediaan akses internet yang menimbulkan tekanan dan menyebabkan depresi, Hal ini bisa ditarik kesimpulan bahwa penyembuhan secara mandiri akan berhasil jika didukung oleh berbagai elemen. Baik dari masyarakat luas bahkan negara dengan kesiapan sistem yang baik. Mulai dari jaringan internet, kuota internet, adanya gawai, dan kurikulum yang tepat di masa pandemi, dan guru yang mampu mengawal pembelajaran di tengah pandemi.

Negara akan memunculkan lingkungan positif untuk senantiasa kuat dalam menghadapi segala macam ujian kehidupan. Begitulah harmonisasi yang baik antara negara, masyarakat luas, dan individu. Sehingga besar kemungkinan masing-masing individu akan mengontrol stres yang dimilikinya. Negara bertanggung jawab dengan warganya,, dengan ksesehatan mentalnya, dan lai-lain. Sehingga yang perlu kita pahami sebagai muslim adalah setiap masalah tidak bisa diselesaikan dengan penyembuhan mandiri. Namun, butuh hadirnya kembali sistem terbaik dengan syariah Islam yang akan menjamin kesehatan mental rakyatnya.

 Allahu a’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *