Oleh: Ukhiya Rana
(Member Pena Muslimah Cilacap)
Pemerintah Bangladesh telah mulai mengirim sebagian pengungsi Rohingya ke Pulau Bhasan Char. Meskipun beberapa kelompok hak asasi telah meminta Bangladesh agar menghentikan proses relikasi para pengungsi ke Bhasan Char. Sebab, kelompok-kelompok HAM telah lama berpendapat bahwa pulau itu, yang terbentuk secara alami oleh lumpur Himalaya di Teluk Benggala, sekitar 60 kilometer dari daratan, rentan terhadap bencana alam dan tidak cocok untuk pemukiman manusia. (okezone.com, 05/12/2020)
Kelompok pegiat HAM, Human Rights Watch, mengatakan mereka telah mewawancarai 12 keluarga yang namanya ada dalam daftar pengungsi yang dipindahkan. Para pengungsi itu mengatakan bahwa mereka tidak secara sukarela pergi. Sedangkan Menteri Luar Negeri Bangladesh, Abdul Momen, mengatakan pada Kamis (03/12) malam bahwa, “Pemerintah tidak akan membawa siapapun ke Bhasan Char secara paksa. Kami mempertahankan posisi ini.” (viva.co.id, 06/12/2020)
Penindasan yang dialami oleh Muslim Rohingya sudah terjadi dalam waktu yang sangat lama. Sehingga mereka sering disebut sebagai etnis yang paling teraniaya di dunia. Suara jeritan dan tangisan pilu mereka telah nyata terdengar dari puluhan tahun lalu. Namun, dunia seolah bungkam menyaksikan kondisi yang mengerikan ini. Hak asasi dan kemanusiaan yang menjadi slogan dunia hanyalah bualan. Bahkan negeri-negeri muslim pun enggan menyelamatkan saudara Muslimnya.
Seperti yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN yang menolak pengungsi Rohingya yang telah lama terombang-ambing di Laut Andaman dan Selat Malaka. Sehingga Badan Pengungsi PBB (UNHCR) sebagaimana dilaporkan Channel News Asia, menyebut pemerintah negara-negara ASEAN sedang bermain-main dengan nyawa orang. (nasional.tempo.co, 15/05/2015)
Sedangkan ditolaknya pengungsi Muslim Rohingya oleh Malaysia dan Indonesia, serta upaya pemulangan kembali pengungsi tersebut, telah membuka wajah asli nasionalisme pada kita semua. Menurut Hans Kohn, Nasionalisme diartikan sebagai ‘Keadaan pada individu yang dalam pikirannya merasa bahwa pengabdian paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air.’ (Ismail Yusanto, 2007)
Sesungguhnya nasionalisme pula lah yang menghalangi Bangladesh untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyyah. Sebab, buah dari penerapan nasioanilsme ini yang menjadikan kepentingan nasional di atas segalanya, bahkan di atas ukhuwah Islam. Serta dapat menghilangkan kepedulian terhadap umat, memecah belah dan memperlemah umat. Seperti Bangladesh yang berusaha untuk merelokasi para pengungsi Muslim Rohingya ke tempat yang tak layak huni. Padahal, mereka adalah saudara seiman. Namun, penyakit nasionalisme yang menjangkiti tidak lagi memandang sesama Muslim sebagai saudara.
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah swt, supaya kamu mendapat rahmat.” (TQS. al-Hujurat:10)
Adanya lembaga-lembaga kemanusiaan (bentukan barat) yang ada di dunia nyatanya tidak mampu memberikan solusi. Mereka hanya lembaga-lembaga penghasil konvensi yang jelas tidak akan mampu menyelesaikan inti persoalan. Alih-alih menyelesaikan justru ini bisa dikatakan sebuah penghianatan. Sebab, berlepas tangan dari urusan umat. Oleh sebab itu, lembaga-lembaga tersebut tidak layak dijadikan gantungan harapan dan solusi bagi penderitaan Muslim Rohingya.
Maka, sesungguhnya penderitaan Muslim Rohingya dan berbagai problematika umat Islam, tidak akan pernah selesai. Kecuali hanya dengan ukhuwah Islamiyah, yang secara bersamaan dilakukan oleh umat Islam dan penguasa Muslim yang menegakkan syariat Islam dan menyerukan jihad fi sabilillah untuk melawan kezaliman orang-orang kafir. Dan hanya Khilafah yang mampu menerapkan konsep ukhuwah Islamiyah, yaitu bahwa muslim yang satu dengan muslim yang lain bagaikan satu tubuh, karena tidak mengenal sekat negara bangsa.
Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang dengan sesama mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan baik (sakit) demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari – Muslim)
Khilafah pula yang akan menyatukan seluruh umat Islam di dunia dan menghimpun kekuatan sehingga mampu melawan kezaliman atas umat Islam. Yang akan melindungi setiap tetes darah kaum Muslimin, serta melindungi mereka dari setiap bentuk penindasan, pelecehan, dan kezaliman dari kaum kafir.
Rasulullah saw bersabda, “Kehancuran dunia ini lebih ringan di sisi Allah dibandingkan dengan pembunuhan seorang Muslim.” (HR. an-Nasa’i)
Dengan peran seorang Khalifah sebagai junnah (perisai), dia akan melindungi rakyatnya yang muslim maupun non-muslim. Dia juga yang akan melindungi dan membela orang yang tertindas di dunia tanpa mengenal konsep nation – state.
“Khalifah/Imam itu tak lain laksana perisai. Dia akan dijadikan perisai dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng.” (HR. Bukhari – Muslim)
Makna Imam/Khalifah itu laksana perisai, dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, “Maksudnya ibarat tameng. Karena dia mencegah musuh menyerang (menyakiti) kaum Muslim. Mencegah masyarakat, satu dengan yang lain dari serangan. Melindungi keutuhan Islam, dia disegani masyarakat, dan mereka pun takun akan kekuatannya.” (mediaumat.news, 20/11/2017)
Begitu berharganya nyawa seorang Muslim di dalam Islam, apalagi nyawa umat Muslim Rohingya yang mengalami berbagai penindasan dan penderitaan, bahkan pembantaian. Sungguh, sebagai umat Islam seharusnya sadar bahwa Khilafah lah yang mampu mewujudkan ukhuwah sejati dan bertindak nyata untuk memberikan solusi bagi Muslim Rohingya.
Walhasil, Khilafah menjadi kebutuhan yang mendesak, dan dunia saat ini membutuhkan Khilafah agar terbebas dari jerat kapitalisme yang rakus dan kezaliman peradaban barat yang rusak dan merusak. Sebagai sistem terbaik untuk mengembalikan kejayaan Islam, menegakannya bukanlah sesuatu yang instan. Namun upaya untuk mengembalikan kehormatan peradaban Islam yang telah lama diinjak-injak oleh kaum kafir dan para pemimpin zalim, haruslah dimulai dari sekarang.
Di samping itu, menegakkan Khilafah merupakan kewajiban terpenting bagi umat Islam. Sebab, Khilafah adalah mahkota kewajiban yang akan menjamin terlaksananya seluruh kewajiban lainnya. Khilafah merupakan sumber kesatuan dan kemuliaan umat.
Imam al-Ghazali (w. 555 H) menyatakan bahwa keberadaan sebuah kekuasaan yang mampu menjaga umat Islam sangatlah urgen, “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi pasti akan runtuh, dan sesuatu tanpa penjaga pasti akan hilang.” (Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hlm. 255 – 256)
Sebab itu, berjuang untuk menegakkan Khilafah akan menjadi suatu ketaatan kepada Allah swt. (Khilafah wajib), yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin. Sebaliknya, menerapkan konsep nation-state (nasionalisme) akan menjadi sebuah kemaksiatan, sebab bukan bagian dari syariat Islam.
Wallahu a’lam bish-showab.