Sekolah Terbebani, Tak Lagi Dilayani

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Watini Alfadiyah, S. Pd. (Praktisi Pendidikan)

 

Sekolah adalah lembaga pendidikan yang sifatnya formal, non formal, dan informal, dimana pendiriannya dilakukan oleh negara maupun swasta dengan tujuan untuk memberikan pengajaran, mengelola, dan mendidik para murid melalui bimbingan yang diberikan oleh para pendidik atau guru. Keberadaan negara disini memiliki peranan penting dalam urusan sekolah demi tercapainya tujuan pendidikan. Namun, pemerintah kini berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa pendidikan sebesar 7% dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Jika tidak ada aral melintang, rencana ini akan diterapkan usai pandemi korona. (Jakarta, Rabu/08/September/2021/Kontan.co.id)

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan, pemerintah dengan legislatif sangat berhati-hati dalam pembahasan wacana PPN atas jasa pendidikan. Ia bilang, sejauh ini, pemerintah sudah mendengarkan saran dari berbagai stakeholders.

Hasil sementara, seluruh jasa pendidikan merupakan obyek PPN yang terutang pajak atas konsumsi tersebut. Namun, untuk jasa pendidikan yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak seperti sekolah negeri tetap mendapatkan fasilitas pengecualian PPN.

“Kita bukan mengenakan pajaknya, tapi ingin mengadministrasikan sekaligus mengafirmasi lembaga pendidikan taat, komit kepada pendidikan yang nirlaba itu,” kata Prastowo dalam acara kerjasama Kontan dan Kompas TV; B-Talk, Rabu (8/9).

Adanya fakta kebijakan yang demikian ini menunjukkan dengan sempurna gambaran lepasnya tanggung jawab negara untuk melayani pendidikan secara berkualitas dan gratis.

Yang terjadi justru sebaliknya, negara justru sibuk mencari celah memperbanyak pungutan dari rakyat. Bahkan, pendidikan anak negeri yang nasibnya sudah sekaratpun masih menjadi incaran pajak.

Kini, jika pemerintah menarik PPN pendidikan, ujungnya akan semakin beratlah penderitaan rakyat. Meski yang dipungut hanya lembaga pendidikan kelas atas (bersifat komersial), para pemakai jasa pendidikan itu tetap saja masyarakat yang menghendaki pendidikan lebih baik. Seharusnya mereka dibantu dalam rangka untuk mendapatkan pendidikan berkualitas dengan biaya yang semurah-murahnya, bahkan gratis. Namun, kini mereka justru akan dibebani dengan tambahan biaya.

Dalam sistem kapitalisme neoliberal, pendidikan dianggap komoditas ekonomi. Meskipun tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d UU Perdagangan bahwa jasa pendidikan memang menjadi salah satu komoditas yang dapat diperdagangkan. Walaupun memang, pengaturan jasa pendidikan ini tak dapat dilepaskan dari UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) maupun UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT).
Namun demikian, potensi komersialisasi pendidikan jelas terbuka lebar. Prinsip nirlaba tak bisa dipatuhi oleh setiap penyelenggara pendidikan, baik lokal maupun asing. Kenyataan ini tak bisa dihindarkan. Maka, rencana penarikan PPN bagi jasa pendidikan komersial makin mengonfirmasi berlakunya paradigma kapitalistik tersebut.

Parahnya, negara memanfaatkan kondisi ini. Pungutan atas jasa pendidikan komersial pun dianggap sah. Ini sebenarnya menunjukkan negara telah kehilangan perannya sebagai pelayan. Layaknya korporasi, negara tega berjual beli dengan rakyat. Negara seharusnya memberikan pelayanan gratis, malah menarik untung dari transaksi yang terjadi di masyarakat akibat kelalaian negara sendiri.

Dalih pemerintah yang hanya mengambil pajak dari sebagian lembaga pendidikan, seperti pada sekolah internasional atau sekolah khusus (privat), tetap saja menyalahi tugas dan wewenang negara. Sebab, negaralah yang bertanggung jawab penuh untuk membiayai pendidikan rakyatnya.

Itu semua terjadi karena paradigma kapitalis tersebut. Bisa dibayangkan, negara yang memberlakukan paradigma batil itu, lantas dengan paradigma tersebut melegalkan tindakan yang menyalahi tugasnya. Ini tentu tidak masuk akal.

Prinsip pengelolaan keuangan negara neoliberal yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara juga sejatinya telah cacat sejak lahir. Sebagaimana kebiasaan para penjajah dahulu yang gemar memeras harta milik rakyat. Seharusnya, negara mengubah tabiat tersebut.
Alasan subsidi silang pun tak dapat dibenarkan. Di tengah kegagalan negara mengelola keuangan, banyaknya korupsi, politik suap hingga pembuatan perundang-undangan yang pro pengusaha. Maka, menarik pajak sama dengan memalak harta rakyat. Ini menunjukkan kegagalan negara dalam melayani rakyatnya.

Keinginan kuat pemerintah memperluas objek pajak (termasuk PPN pendidikan ini) jelas bukan tipe pemerintahan yang berperan melayani rakyat. Apalagi kebijakan itu dilakukan di tengah pandemi saat rakyat hidup susah. Bahkan,
dunia pendidikan membutuhkan perubahan paradigma hingga kurikulum akibat tata kelola pendidikan sekuler. Berbagai tujuan luhur pendidikan telah kandas, terlebih saat pandemi. Kualitas generasi membutuhkan penanganan segera. Maka, jangan dibiarkan kini sekolah terbebani dan tak lagi dilayani.

Dalam sistem Islam pendidikan mendapatkan perhatian penuh dari negara. Sebab dianggap sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat, hingga negara memberikan anggaran penuh untuk memenuhi kebutuhan pendidikan rakyatnya.

Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya ditanggung oleh negara. Artinya, dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan pokok masyarakat yang akan dijamin pelayanannya oleh negara.

Hal ini karena kepala negara (imam) adalah penanggung jawab sebagaimana hadis Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam :

“Imam (kepala negara) adalah penggembala (penanggung jawab) dan dia akan dimintai tanggung jawab atas penggembalaannya (kepemimpinannya) itu.” (HR Muslim)

Sistem keuangan dengan berbasis Baitulmal menjadikan negara memiliki sumber-sumber keuangan yang mampu mencukupi berbagai kebutuhan dengan pengelolaan sesuai syariat. Inilah yang digunakan untuk memajukan pendidikan.

Sumber tersebut ada dua, yaitu: (1) bagian fai dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara seperti ganimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) bagian kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).

Jika kedua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan menimbulkan dharar (akibat negatif) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib segera mencukupinya dengan cara berutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin yang kaya saja.

Dari mekanisme ini, pajak barulah dipungut setelah benar-benar tidak ada jalan lain bagi negara untuk membiayai kebutuhan yang tidak bisa ditunda tersebut. Artinya, negara tidak menjadikan utang sebagai sumber utama pemasukan negara sebagaimana sistem kapitalisme neoliberal saat ini.

Inilah mekanisme pengelolaan keuangan dalam sistem Islam sehingga mampu memenuhi kebutuhan pendidikan dengan baik. Dalam sejarah peradaban Islam, kemajuan bidang pendidikan membuktikan bahwa sistem Islam tidak kesulitan dalam hal pembiayaan.
Dengan demikian, hanya dalam sistem Islamlah sekolah tidak terbebani, tetapi justru akan dilayani. Wallahu ‘alam bi-ashowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *