Oleh: Saptaningtyas BFA (Muslimah Palembang Darussalam)
Pena lebih tajam dari pedang. Kiranya tepatlah pepatah demikian. Sebab, satu pedang hanya mampu menebas satu benda (orang) saja. Sementara sayatan kalimat yang digoreskan pena mampu menembus ribuan, bahkan jutaan pemikiran di kepala.
Sebagaimana ungkapan Sayyid Qutb yang telah masyhur, “Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus ribuan bahkan jutaan kepala.”
Adakah ini bermakna sang ulama menitahkan peperangan? Benarlah, yakni perang antara kebenaran dan kebatilan. Sebab sejatinya dunia memang medan pertempuran. Hal itu karena Allah Al-Khalik mencipta hidup dan mati hanya untuk menguji siapa di antara manusia yang taat kepada-Nya (QS Al Mulk:2).
Dalam misi itu, Allah membekali manusia dengan akal sebagai alat mempertimbangkan atas dua jalan yang telah Allah berikan. Yakni jalan kebenaran dan jalan kebatilan. Di samping, itu Allah memberi manusia hawa nafsu. Allah juga mencipta setan untuk menggoda manusia.
Dengan demikian, wajar bila pertempuran kebenaran melawan kebatilan takkan usai hingga dunia berakhir. Demikianlah yang telah Allah peringatkan pada manusia. Bahwa setan akan terus menggoda manusia hingga kiamat tiba. Manusia dengan akalnya lah yang menentukan pilihan atas jalan yang ia tempuh.
Manusia yang beriman akan memilih jalan kebenaran. Sebab Allah memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada-Nya, menegakkan kebenaran agama yang diturunkan-Nya, dan memerangi kebatilan dari kaum yang ingkar pada-Nya.
Inilah kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Allah berfirman,
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS: Ali Imron: 104)
Realitanya, aktivitas menegakkan kebenaran bukan perkara mudah. Nabi dan Rasul, serta ulama dan pejuang terdahulu telah menghadapi jalan yang terjal. Terlebih ketika kebatilan diadopsi oleh sebuah kekuasaan. Hawa nafsu yang berkolaborasi dengan bisikan setan menghinggapi penguasa. Tak pelak menyebabkannya berlaku zalim. Kekuasaan akan dijadikan alat memerangi kebenaran, mengingkari firman Tuhan.
Rasulullah saw tercinta menghadapi berbagai rintangan dalam menegakkan syariat Islam. Diperangi oleh pembesar-pembesar kafir Quraisy. Namun, Rasulullah saw tak berhenti menyuarakan kebenaran dengan lisannya yang mulia.
Keteguhan Rasulullah diikuti para sahabat dan ulama terdahulu. Alih-alih mengendur, upaya pembungkaman terhadap suara kebenaran justru menjadikan para pejuang Islam kian lantang. Kebatilan yang berlindung pada jubah kekuasaan tak sedikitpun menggentarkan pengusung kebenaran. Sebaliknya, mereka akan menemukan cara demi meraih kemenangan ataupun gugur dalam kemuliaan.
Lihat saja, kala batu besar ditimpakan pada tubuh legam Bilal Bin Rabbah oleh tuannya, di atas pasir panas di tengah terik matahari. Namun, tak sedikit pun ia kendur. “Ahad,” satu kata yang berulang terlontar dari raga yang lemah itu ternyata begitu tajam mengoyak hati pendukung kebatilan. Kaum Quraisy saat itu pun gusar. Allah pun memberikan kemenangan dan kemuliaan atas Bilal di dunia, juga jaminan surga untuk akhiratnya.
Perlawanan penyeru kebenaran atas kezaliman pun senantiasa ada di setiap zaman. Imam Nawawi, seorang ulama yang berjuang melawan kezaliman. Ia datang dengan muka tegak menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa. Berargumen mengoreksi kebijakan yang menyeleweng dari syariat dan menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat.
Koreksi yang dilontarkan pun berujung pada pengusiran sang ulama. Namun, semua itu tidak mampu menghentikannya dari menyuarakan kebenaran syariat Islam. Secara lisan maupun tulisan. Karya-karya sang imam pun abadi menembus dan mencerahkan pemikiran umat akan syariat.
Kontemporer, tekanan dan serangan kepada pengusung kebenaran syariat Islam pun tak usai. Misalnya saja Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani di Yordania, atau Sayyid Qutb di Mesir. Ulama-ulama ini lantang mengoreksi tirani pembebek kapitalisme yang diusung Barat. Sang ulama terus terang menentang kekuasaan yang mencampakkan aturan Ilahi hingga menzalimi rakyat sendiri.
Pada akhirnya, kurungan menjadi ganjaran bagi sang ulama. Namun, tetap saja tak mampu membungkam kebenaran. Tak sedikit goresan tinta pada lembaran karya ulama tercipta dari balik penjara. Tajamnya pena ulama bahkan telah menembus pemikiran umat tanpa batas ruang dan waktu. Sampai saat ini karya mereka abadi, menggentarkan hati pendengki Kalam Ilahi. Hingga pendengki itu rela menempuh segala cara demi mengamankan kekuasaannya. Meskipun bermesra dengan kebatilan.
Patut diyakini kekejian pembenci kebenaran memang enggan menyerah. Sebagaimana telah Allah peringatkan, bahwa musuh-musuh kebenaran takkan berhenti hingga orang beriman mengikuti jalan kesesatan. Demikian dirasakan pula di era milenial ini. Tirani terus berupaya mengebiri kebenaran. Ada upaya kriminalisasi ajaran Islam dan pengusungnya.
Di seluruh dunia, tak terkecuali negeri ini. Hari ini upaya itu masih terjadi. Ulama-ulama maupun aktivis yang kritis distigmatisasi. Tak sedikit pula yang digiring ke bui. Ajaran Islam dimarginalkan, tak dibolehkan mengatur seluruh aspek kehidupan. Upaya pengaburan dan penyelewengannya pun nyata. Misalnya saja, atas nama moderasi, betapa getol mereka hendak menghapus syariat tentang khilafah dan jihad.
Dengan demikian, pejuang kebenaran tak sepatutnya lengah. Mesti istiqomah dan pantang menyerah menyuarakan kebenaran melalui semua celah. Jika suara kebenaran tak lagi diberi ruang pada mimbar-mimbar ataupun podium jalanan, maka tulisan ialah pilihan tepat sebagai wasilah. Terbukti, pena (tulisan) ialah sarana menjadikan kebenaran itu abadi. Allah bahkan bersumpah atas nama pena (qalam) [QS Al Qalam:1].
Ini menunjukkan, pena memiliki pengaruh besar. Realita yang tidak bisa dipungkiri, penguasa zalim bahkan rela mempertaruhkan reputasi dengan kebijakan yang berulang kali direvisi. Pastinya, bising goresan suara rakyat di sosial media berandil menyebabkan hal ini.
Karena itu, suara kebenaran melalui tulisan mesti terus diluncurkan. Terlebih era digital dimana informasi begitu cepat tersampaikan melalui gadget dalam genggaman. Sehingga, kebenaran dapat menembus pemikiran umat. Kemudian umat akan tergerak menuju perubahan peradaban, meninggalkan kebatilan kapitalisme menuju kemuliaan Islam. Janji Allah akan kemenangan Islam pun kembali terwujudkan.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Wallahu a’lam bishshowab