Oleh : Ikhtiyatoh, S.Sos (Pejuang Pena)
Kehidupan manusia nampak hanya ‘sawang sinawang’ yaitu lebih suka melihat keadaan orang lain. Melihat orang lain tertawa kemudian menganggap diri paling sengsara. Melihat orang lain ahli dalam banyak hal (multi talenta) kemudian merasa diri tak berharga. Melihat orang lain memiliki rumah mewah, kendaraan wah, serta harta melimpah kemudian merasa diri sebagai sampah. Melihat orang lain sangat cantik kemudian anggap diri paling tak menarik.
Padahal, apa yang kita lihat belum tentu nyata keadaanya. Orang yang suka tertawa bisa jadi memiliki segudang masalah atau memiliki sakit tertentu hingga tertawa untuk pengalihan saja. Orang yang multi talenta belum tentu mampu bisa saja memiliki masalah cinta. Orang yang memiliki harta banyak belum tentu hatinya tenang, bisa saja memiliki banyak hutang. Orang yang begitu menawan bisa jadi hidupnya tak nyaman, jadi incaran si mata jalang.
Seharusnya kita selalu menyadari bahwa setiap diri memiliki kelebihan sekaligus kelemahan. Apa yang orang lain miliki, belum tentu kita miliki. Sebaliknya apa yang kita miliki belum tentu orang lain miliki. Sehingga kemampuan untuk bersyukur selalu ada dalam segala kondisi. Roda kehidupan pun bisa berputar dengan lebih tenang, hidup tak lagi gersang.
Dulu, kesuksesan seseorang hanya dilihat dari IQ (Intelligence quotient), kecerdasan yang diukur dari nilai akademik. Namun ternyata banyak orang memiliki IQ tinggi, tetapi kehidupannya biasa-biasa saja. Banyak orang sukses justru memiliki kecerdasan standar bahkan ada yang cuma tamatan Sekolah Dasar. Jika kesuksesan hidup dilihat dari bagaimana seseorang mampu menyelesaikan segala permasalahan hidup, maka bukan sekedar IQ yang manusia butuhkan.
Akhirnya ditemukan bermacam jenis kecerdasan. Antara lain EQ (emotional quotient) adalah kecerdasan secara emosional. CQ (creativity quotient) adalah kecerdasan yang berhubungan dengan kreativitas. AQ (Adversitas Quotient) adalah kemampuan yang berhubungan dengan cara seseorang menghadapi kesulitan. TQ (trancendental quotient) adalah kecerdasan yang berhubungan dengan pemaknaan hidup berdasarkan agama. Serta masih banyak teori kecerdasan lainnya.
Artinya, orang yang memiliki IQ tinggi tapi memiliki EQ rendah, maka akan mengalami kesulitan dalam bersosialisasi. Dalam dunia bisnis akan bermasalah dengan kolega. Orang dengan IQ tinggi tapi TQ rendah bisa saja hidupnya berakhir dengan bunuh diri. Artinya, setiap orang memiliki kecerdasan/kemampuan masing-masing. Kesadaran akan kelemahan kita seharusnya mampu menyemangati kita untuk terus belajar.
Kita tidak perlu terlalu mendongak keatas, melihat keadaan orang lain yang nampak sukses. Cukuplah melirik sebentar untuk penyemangat hidup. Sebaliknya, sering-seringlah mendongak kebawah. Begitu banyak orang yang tidak seberuntung kita. Keadaan yang kita miliki sekarang, bisa jadi sangat diimpikan orang lain.
Sesungguhnya hal ini sudah diketahui setiap muslim. Namun, kondisi masyarakat saat ini sangat menonjolkan materialisme menjadikan muslim yang sudah mengetahui makna hidup ikut terwarnai hedonisme. Senantiasa menyadarkan diri, berfikir positif bahwa segala apa yang terjadi pada diri kita adalah jalan untuk mencapai kesuksesan hidup. Masalah demi masalah yang terjadi hakekatnya adalah untuk menempa kita menjadi lebih baik, lebih berkualitas.
Kesadaran diri akan membantu kita lebih menghargai dan mensyukuri keadaan diri sendiri. Sehingga hidup kita pun lebih bahagia meski memiliki segudang masalah. Akhirnya, kebahagiaan dan ketenangan hidup hanya diri kitalah yang mensuasanainya. Keseimbangan dalam mengelola urusan dunia dan akherat menjadi sangat penting.
Wallahu ‘alam bish showab