Sang Pendidik di antara Dua Naungan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)

Guru bagaikan lentera. Ia menjadi yang digugu dan ditiru. Di tangannya tercipta generasi yang unggul lagi bertakwa. Jasa guru, tak satu pun yang meragukannya. Namun begitu miris, profesi mulia yang disandang justru tercederai oleh buruknya sistem ekonomi. Adalah guru yang terperangkap dalam tindak pencurian.

Hal ini seperti yang diberitakan dalam laman voxntt.com, 17 Juli 2020. Salah satu oknum guru PNS yang bertugas pada salah satu sekolah di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dibekuk pihak kepolisian setempat, karena terlibat kasus pencurian kendaraan bermotor. Hasil curian tersebut dijual ke Timor Leste dengan harga sekitar 500 dolar. Pelaku pencurian tersebut dikenakan hukuman 9 tahun penjara.

Seharusnya kejadian ini menyentak kita semua. Mengapa bisa seorang yang berprofesi mulia melakukan tindakan pencurian? Padahal jelas tugasnya yaitu sebagai pencetak generasi dengan pengorbanan tiada tara. Jawabannya jelas bahwa pencurian dilakukan karena lemahnya aspek ekonomi sang pendidik.

Di dalam kehidupan sekularisme yang meniscayakan pemisahan agama dari kehidupan, maka melahirkan individu-individu yang jauh dari agama. Siapapun, terkhusus guru bisa melakukan apapun untuk mereduksi himpitan ekonomi keluarga. Begitu pula dalam kapitalisme, guru seolah tak berharga. Kemudian diperparah lagi dengan para pelajar yang dijadikan budak korporasi, seolah guru tak berguna sama sekali. Maka, gaji guru pun selaras dengan pandangan kapitalisme terhadap pendidikan.

Kapitalisme sudah jelas gagal dalam menyejahterakan manusia. Bahkan menyeret manusia pada kehancuran-kehancuran yang lebih mengerikan. Lihat saja, jika guru sebagai yang digugu dan ditiru pada kenyataannya bertindak seperti ini. Apatah nasib generasi yang dicetak?

Apabila menyingkap lebih jauh, ternyata begitu banyak kasus yang serupa. Bukankah guru sudah diberikan tunjangan? Pertanyaan ini sontak membuat kita berpikir ulang. Benar, mereka mendapatkan tunjangan, akan tetapi hal itu ternyata harus dilengkapi dengan syarat tertentu. Bagi yang lengkap syaratnya pun, ada yang tak diberi. Apalagi baru-baru ini, tunjangan guru non PNS justru dihilangkan. Hal ini tentu melukai hati para pendidik. Besar kemungkinan mereka akan berpikir, daripada menunggu gaji bulanan yang tak seberapa bukankah cara ini yang praktis dan instan? Sehingga tak menutup kemungkinan di hari selanjutnya malah menambah list kejadian serupa. Begitulah yang terjadi apabila para pendidik tak diberi fasilitas dan gaji yang memadai. Bisa-bisa demi kebutuhan perut, mereka akan beralih profesi atau bertindak lebih rendah dari ini. Jelas sekali mencoreng nama baik pendidikan dan profesi mulia guru.

Kapitalisme yang tengah berikhtiar mempertahankan hegemoninya justru semakin tampak fasadnya. Di tengah pandemi Corona, kesejahteraan masyarakat luas ‘especially’ guru berada di ujung tanduk. Kebutuhan yang semakin meningkat menjadi beban besar bagi mereka. Bahkan kadang untuk keperluan sehari-hari saja tak cukup. Padahal negeri kaya akan berbagai sumber daya. Jika dikelola dengan baik, tentu cukup untuk membawa guru pada arah sejahtera. Bahkan sampai lini masyarakat secara umum.

Kondisi tak sejahteranya guru di sistem saat ini sangat bertolak belakang tatkala sistem Islam diterapkan. Pendidikan dalam Islam (khilafah) adalah kebutuhan dasar bagi setiap individu. Berpijak pada pandangan ini, maka khilafah akan menyokong dan menyediakan sarana prasarana yang dibutuhkan. Juga dalam khilafah, pendidikan adalah investasi dasar membangun sebuah peradaban cemerlang. Maka sudah sepantasnya, jika para pendidik diberikan penghargaan yang tinggi serta fasilitas yang sangat luar biasa. Akan sangat berbeda dengan sistem hari ini.

Dalam khilafah, biaya pendidikan diambil dari kas negara, baitul mal. Termasuk gaji segala pihak dalam pelayanan pendidikan. Gaji yang diberikan tak tanggung-tanggung. Bahkan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab radiallahuanhu, gaji guru sebesar 15 dinar. Apabila dikalkulasi ke dalam rupiah yaitu sebesar Rp 62.730.000,00.

Hal ini tentu membawa dampak yang luar biasa bagi guru dan peradaban Islam. Guru akan dilimpahi kesejahteraan. Dengan begitu, tentu berpengaruh pada produktivitas mereka. Sehingga kejadian di atas dapat dicegah dengan segera.

Walhasil, kesejahteraan bagi guru dalam negara khilafah bukanlah hal yang mustahil. Karena sistem pendidikan didukung oleh sistem politik ekonomi yang memberi jaminan kesejahteraan. Maka, untuk memusnahkan kejadian-kejadian semisalnya, diperlukan peralihan dalam tatanan sistem. Yaitu sistem kapitalisme menjadi sistem Islam dalam naungan negara Khilafah Islamiyyah.

_Wallahu a’lamu bi ash-shawab_

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *