Sampah Demokrasi Atau Demokrasi Sampah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam (Dosen dan Pengamat Politik)

Tokoh nasional yang juga ekonom senior, Rizal Ramli, tampaknya mulai gerah dengan serangan buzzer pendukung pemerintah atau Presiden Joko Widodo. Rizal Ramli dalam akun Twitternya menyebut buzzer pemerintah dengan sebutan BuzzerRP. RIzal Ramli menuliskan dalam twitternya bahwa Buzzer RP menghadirkan ilusi, mempabrikasi kebohongan, memecah belah, dan merusak pondasi demokrasi, dan dipelihara oleh kekuasaan.

Mantan Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur menyatakan jika keberadaan buzzer justru merusak citra pemerintah. Jika BuzzerRP dan influenser nora, yg merupakan sampah demokrasi. Rizal Ramli mengaku, sebagai mantan Menko Kemaritiman tahun 2015 (periode pertama Presiden Jokowi), dirinya mendapat serangan dari pendukung Joko Widodo di media sosial denga tiga kata.(demokrasi.co.id.05/06/2020)

Rezim Jokowi memang sangat unik. Sebelumnya, tidak dikenal ada istilah buzzer di rezim siapapun termasuk SBY. Padahal di zaman SBY, internet dan sosial media sudah meriah. Meskipun tidak semeriah di negara-negara maju saat itu. Sosial Media di masa SBY masih sebatas untuk informasi online yang digunakan oleh media cetak demi memperluas jangkauan readers dan juga orang-orang tertentu yang menggunakan fitur-fitur internet pada keperluan bisnis dan ada juga dalam dunia pendidikan.

Tetapi di era Jokowi, istilah buzzer menjadi trend. Sebab, sebuah fakta terungkap bahwa sederetan pendukung Rezim bukan hanya bekerja di dunia nyata, melainkan di dunia maya. Bahkan dikabarkan, 1 buzzer bisa memiliki lebih dari satu akun dengan identitas yang berbeda alias palsu. Pertanyaannya, apa guna buzzer-buzzer tersebut bagi penguasa? Dan apakah kehadiran para buzzer ini justru mencederai demokrasi seperti yang dipahami oleh Rizal Ramli? Jawabannya dapat diuraikan sebagai berikut.

Hal pertama yang perlu dipahami adalah bahwa buzzer ini memang ada dan biasanya suka memancing nitizen untuk emosi dan terjebak menghina penguasa. Apapun yang disampaikan nitizen terkait kebenaran Rezim, jawabannya tetap ngotot membela Rezim. Andai nitizen berbusa-busa mulutnya menyampaikan kebenaran itu kepada buzzer, tidak ada artinya. Ibarat bicara dengan angin atau benda mati.

Kedua, Rizal Ramli benar, kehadiran buzzer ini sebenarnya norak dan kekanak-kanakan. Hanya berani di belakang akun tanpa menunjukkan identitas aslinya. Cuitan-cuitan mereka juga banyak mengandung kebohongan dan acapkali mengundang perpecahan. Rizal Ramli tidak salah jika mengatakan bahwa kehadiran para buzzer justru semakin merusak citra pemerintah.

Sebab serangan serangan buzzer dan pekerjaannya hanyalah memfitnah, melaporkan aktifiis yang kritik dan akun-akun yang sering mengoreksi kepemimpinan Rezim. Tukang fitnah dan adu domba, itulah yang cocok sifat yang disematkan bagi para buzzer ini.

Ketiga, menurut Rizal Ramli bahwa demokrasi semakin tercederai dengan kehadiran para buzzer. Karena dari sudut pandang demokrasi sendiri, bahwa berpendapat itu adalah hak individu warga negara yang harus dilindungi. Seharusnya tugas buzzer sebagai pelapor akun-akun kritis itu tidak ada dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Namun nyatanya, demokrasi tidak terjaga justru mengarah pada kediktatoran juga oligarki kekuasaan yang bahkan sulit menemukan celah untuk kritik dan protes. Kebebasan berpendapat dalam bingkai demokrasi nyata semakin tercederai.

Pada hakikatnya demokrasi memang tidak pernah berjalan mulus dan sesuai dengan paham-pahamnya. Negara-negara yang mengklaim dirinya mengadopsi demokrasi selalu melanggar peraturan yang mereka ciptakan. Dan peraturan yang diambil cenderung memihak pada segelintir kelompok, yaitu penguasa dan para pemilik kekuatan modal.

Demokrasi terlahir cacat dari asalnya, kemudian ditambal sulam dengan ide-ide sekuler yang pada akhirnya membawa penjajahan ekonomi dengan ide kapitalisme. The sick system adalah julukan bagi demokrasi oleh para pendirinya sendiri. Demokrasi digunakan oleh negara Barat sebagai alat penjajahan agar mereka bisa memguasai negeri lain dengan dalil kerjasama dan kemanusiaan.

Asas demokrasi yang sekuler dan menghilangkan peran Tuhan sebagai Sang Pembuat Hukum, telah dikebiri dan dialihkan kepada akal manusia yang lemah, terbatas, dan cenderung salah. Sebab akal hanya bisa lurus jika ditunjuki oleh wahyu (Firman Allah). Tanpa adanya petunjuk, maka akal akan liar dan tumpul. Lalu, tanpa wahyu demokrasi mempercayakan akal manusia untuk membuat peraturan hidup? Wajar saja semua salah dan serampangan.

Buktinya sudah jelas dan nyata. Bahkan untuk memanfaatkan hal-hal kecil seperti teknologi sosial media, demokrasi tidak mampu memberikan keadilan dan kebijaksanaan. Tetap berat sebelah.

Penguasa dengan kekuasaannya membuat kebijakan UU ITE yang membungkam rakyat bicara. Inikah hasil demokrasi? Lalu, apakah demokrasi dibutuhkan manusia? Khususnya Indonesia sebagai negeri mayoritas muslim, jika demokrasi hanya membawa ketidakadilan dan kesemenna-menaan.

Hadirnya para buzzer juga karena demokrasi yang ditunggangi kapitalis untuk kepentingan kekuasaan. Demokrasi tidak berdaya dalam tunggangan kapitalisme karena demokrasi sendiri sangat rapuh dan juga sakit. Lalu bagaimana ia menyelamatkan rakyat jika dirinya saja sebagai sistem yang mengatur pemerintahan juga sakit? Para buzzer telah menunjukkan bahwa mereka adalah sampah demokrasi. Teapi dasarnya, demokrasi itu sendiri adalah sampah. So, sampah pasti melahirkan sampah juga. Lalu, apalagi yang mau dibanggakan dan dipertahankan dari demokrasi?

Sudah saatnya menghentikan segala buzzer yang memecah belah negeri ini dan melindungi rezim yang diktator juga dzalim. Mempertahankan demokrasi tetap bercokol di negeri ini, sama saja melindungi para buzzer jahat dan mempertahankan kedzaliman serta mendukung kediktatoran. Pasti tidak ada rakyat yang sudi dikatakan sebagai pendukung kedzaliman dan kediktatoran meskipun mereka mendukung Rezim.
Oleh karena itu, Islam adalah jawaban untuk solusi permasalahan negeri ini.

Islam mengatur jelas penggunaan sosial media untuk perkara kebaikan dan menyampaikan dakwah maupun nasehat. Media sebagai sarana ataupun alat yang mempermudah komunikasi antar manusia sejatinya harus mampu memperdekat rakyat dengan penguasa. Dan mempermudah rakyat menyampaikan segala keluhan mereka kepada pemimpinnya.

Islam tidak akan membiarkan ada buzzer berkeliaran di sosial media yang bekerja untuk mengadu domba rakyat dan membuat provokasi untuk memusuhi Islam. Jika mengoreksi penguasa, hal itu tentu tidak mengapa.

Hanya aturan Islam yang mampu mendudukkan penggunaan media dengan bijak dan jauh dari dosa-dosa besar serta aman bagi negara. Saatnya demokrasi ditinggalkan dan diganti dengan siatem Islam untuk Indonesia bermartabat dan berkeadilan sosial. Wallahu a’lam bissawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *