RUU Omnibus Law Cita Bukti Negara Semakin Otoriter

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Nelly, M.Pd (Aktifis Peduli Negeri, Penulis, Pemerhati Persoalan Sosial dan Masyarakat)

Salah satu program andalan pada pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi adalah Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Dimana tujuan dari RUU ini untuk merampingkan peraturan demi memperlancar investasi. Pemerintah menyatakan akan menyelaraskan 1.244 pasal dari 79 undang-undang ke dalam RUU Cipta Lapangan Kerja.

Banyak pasal yang kontroversial dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini yang dirasa akan menimbulkan masalah. Reaksipun berdatangan dari berbagai pihak dalam menanggapi RUU ini. Akhir Januari 2020 sejumlah buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) berunjuk rasa di Alun-alun Serang, Banten, Selasa.

Mereka menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sebab para buruh mengaku tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut dan isinya dinilai akan semakin menurunkan kesejahteraan buruh dengan ditiadakannya kewajiban membayar pesangon, penghapusan peran serikat pekerja, mudahnya buruh di-PHK serta pemberlakuan upah hanya berdasar jam kerja. (katadata.co.id)

Dalam RUU Omnibus Law Cipta ini juga termuat pemerintah menghilangkan ketentuan izin lingkungan. Sebagai gantinya, pemerintah memunculkan ketentuan yang disebut persetujuan lingkungan dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha dan pengadaan lahan
Menanggapi hal ini anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Kardaya Warnika mempertanyakan ketentuan ini. Dia mengatakan dihapuskannya izin ini akan memperparah kerusakan lingkungan di Indonesia. Padahal ketika masih ada izin lingkungan pun, kata Kardaya, kerusakan lingkungan sudah sangat banyak.

Dengan RUU Cipta Kerja ini perusahaan pertambangan bisa saja lari dari tanggung jawab. Di dunia, mungkin hanya di Indonesia kegiatan pertambangan tidak perlu izin lingkungan,” kata politikus Gerindra ini kepada Tempo beberapa hari yang lalu.

Tanggapan lain seperti yang dikutip pada laman cnnindonesia, datang dari Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menyebut Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja merupakan bentuk sikap otoriter pemerintah. Ini adalah aturan yang dirumuskan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal lain yang dikritik Bima adalah penghapusan kewajiban para perusahaan untuk mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Menurutnya hal tersebut bisa mengurangi fungsi kontrol dari pemerintah daerah.

Adanya peraturan dari pemerintah ini jelas mesti kita kritik dan melakukan penolakan terhadapnya. Kenapa, karena yang akan kena dampak dari undang-undang ini adalah rakyat itu sendiri sperti para buruh, maupun lingkungan yang akan rusak. Dalam RUU Omnibus Law lebih menekankan seluas-luasnya para para investor (korporasi) dalam menciptakan lapangan kerja seolah-olah pemerintah mau lepas tangan hanya sebagai regulator.

Investor atau swasta secara leluasa mendirikan perusahaan dan membuka lapangan kerja, sementara pemerintah cukup dengan mempermudah dan menyederhanakan perizinan investasi. Akhirnya yang terjadi cipta lapangan kerja tanggung jawab pemerintah pun beralih kepada swasta dan mungkin pada investor asing.

Bisa kita lihat bahwa Investor (korporasi) baik asing maupun swasta lokal tentu berhitung untung rugi dalam menanamkan modal mereka, sangat jauh dari tugas untuk kesejahteraan para pekerja. Dan tentunya dengan adanya investasi maka negara harus memenuhi berbagai persyaratan yang diminta para investor.

Sangat terlihat bahwa lahirnya RUU ini tidak memihak pada kepentingan rakyat melainkan memuluskan kepentingan kaum kapitalis pemilik modal. Rakyatlah yang kemudian menjadi korban kedzaliman penguasa lewat RUU Omnibus Law Cika ini.

Lantas apa sebenarnya yang menjadi penyebab dari persoalan ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law Cika ini. Jika kita telaah dengan seksama bahwa akar masalahnya adalah aturan dan pembuat hukum itu sendiri. Dimana kita tahu bahwa di Indonesia selama ini mengadopsi telah mengadopsi produk Sekulerisme-Kapitalisme neoliberal sehingga menghasilkan kebijakan dan perundangan yang sama sekali tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

Maka dapat dikatakan bahwa semua pangkal persoalan yang terjadi akan diselesaikan dengan hukum dan aturan yang dibuat dalam payung undang-undang yang tentunya akan memihak kepada para pemilik modal (kapital).

Sistem Kapitalis-sekuler ini tidak akan pernah memperhatikan aspek kepentingan rakyat apalagi lingkungan. Yang ada adalah bagaimana mereka bisa menguasai segala kekayaan negeri ini. Tentu ini menjadi bahaya yang mengancam bagi seluruh warga negara Indonesia, karena seharusnya mereka mendapat perlindungan dari negara.

Dalam sistem kapitalisme dengan sistem politiknya demokrasi, maka UU dibuat berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan berbagai pihak. Setiap UU yang dibuat seakan-akan menunjukkan keberpihakkan pada rakyat dan untuk kepentingan rakyat tetapi pada faktanya hanya memuluskan kepentingan para kapitalis. Sebut saja UU Migas, UU Penanaman Modal, UU BUMN dan lainnya. Artinya yang menjadi pangkal persoalan negeri ini adalah kesalahan dalam sistem aturan tata kelola negara.

Dari sini maka perlu kita mencari solusi yang benar dalam menyelesaikan setiap persoalan hidp termasuk dalam persoalan kenegaraan. Bagi seorang muslim tidak ada pilihan lain bahwa untuk mengatur kehidupan ini harus kembali pada aturan dari yag Maha Benar Allah Swt dengan sistemIslam.

Islam sebagai sebuah agama yang sempurna, pernah diterapkan dan dicontohkan oleh Kanjeng Nabi dalam urusan peraturan bernegara. Termasuk dalam menyelesaikan pengangguran dan ketenagakerjaan. Sistem Islam khilafah memberikan mekanisme pengaturan yang dilakukan oleh Khalifah dalam mengatasi pengangguran dan menciptakan lapangan kerja.

Mekanisme yang pertama yaitu kepada setiap individu warga negara khilafah diberikan pemahaman terutama melalui sistem pendidikan, tentang wajibnya bekerja dan kedudukan orang-orang yang bekerja di hadapan Allah Swt., serta memberikan keterampilan dan modal bagi mereka yang membutuhkan.

Kemudian yang selajutnya adalah mekanisme sosial dan ekonomi. Dalam sistem Islam khilafah bidang ekonomi menjadi kebijakan negara untuk meningkatkan dan mengembangkan pada sektor riil baik di bidang pertanian, kelautan, tambang, ataupun perdagangan.

Dalam sistem Islam sendiri tidak dikenal yang namanya sektor nonriil, sehingga negara tidak akan memberikan ruang berkembangnya sektor nonriil ini seperti yang ada pada sistem kapitalisme. Sebab, sektor nonriill selain haram juga menyebabkan beredarnya kekayaan di seputar orang kaya saja, lihat saja di negeri ini ketimpangan sosial amat nyata didepan mata.

Sistem Islam juga menegaskan bahwayang bertanggungjawab terhadap ketersediaan lapangan kerja adalah tugas negara. Pemimpin Islam yaitu khalifah akan menciptakan iklim yang merangsang untuk membuka usaha melalui birokrasi sederhana, penghapusan pajak, dan melindungi industri dari persaingan yang tidak sehat.

Dan sistem Islam juga memberikan pengaturan bahwa seorang wanita tidak diwajibkan bekerja, tugas utamanya adalah sebagai ibu dan manajer rumah tangga. Sehingga kesempatan lapangan kerja hanya ada pada para laki-laki saja. Kalaupun para wanita ingin bekerja itu boleh-boleh saja, tetapi hanya diprioritaskan bagi para lelaki. Itulah mekanisme dalam sistem Islam tatkala diterapkan dalam pengaturan negara.

Tentunya pengangguran mudah diatasi dan lapangan kerja tercipta secara merata dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Semua hal tersebut akan terwujud manakala negara menerapkan sistem Islam secara kaaffah dalam institusi negara Khilafah. Maka dari itu sudah saatnya kita akhiri semua problem yang menghimpit negeri ini termasuk persoalan ketenagakerjaan. Kembali pada hukum Allah Swt, maka keberkahan dan kesejahteraan akan kita dapatkan.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *