RUU HIP Menuai Polemik Sistemik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ati Solihati, S.TP (Aktivis Muslimah)

Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), sekalipun telah dinyatakan ditunda pembahasannya, oleh Menko Polhukam Mahfud MD, pada tanggal 16 juni 2020, melalui akun Twitternya, dan meminta DPR untuk menyerap aspirasi publik. Namun tetap menuai polemik dan kontroversi. Perdebatan dan resistensi semakin meluas. Bahkan menuai penolakan dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan ormas Islam. Menurut Siti Zuhro, pengamat politik, penolakan tersebut bukan hanya dari kalangan akademisi dan mahasiswa, tetapi juga purnawirawan TNI dan aktivis. Menurut beliau, penolakan civil society dan kelompok-kelompok strategis lainnya merupakan petunjuk yang jelas bahwa RUU HIP patut ditolak (Republika, 14/6).

RUU ini menjadi sebuah kontroversi. Karena banyak kalangan yang merasakan kejanggalan dari RUU ini. Selain karena RUU ini muncul di tengah pandemi yang tak kunjung melandai, yang mestinya ada upaya penanggulangan yang lebih serius dan efektif dari pemerintah. Upaya yang tentu membutuhkan perhatian lebih intensif serta alokasi dana yang sangat besar. Hal yang janggal pemerintah masih bisa fokus dan tentu telah mengalirkan dana cukup besar untuk RUU yang secara urgensitasnya dipertanyakan. Sebagaimana sebelumnya, dalam masa pandemi ini pun pemerintah telah mengeluarkan Perppu No 1 Tahun 2020, yang telah diresmikan oleh DPR. Berisi tentang kebijakan keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19. Dengan Perppu ini menempatkan pemerintah dalam posisi kebal hukum, dimana setiap kebijakannya dalam penanggulangan Covid-19, sekalipun telah menimbulkan kerugian bagi negara, tidak akan bisa digugat di PTUN. Padahal dalih untuk penanganan wabah ini menjadikan penggunaan anggaran telah membengkak menjadi Rp 695,2 trilyun.

Muatan politis dan ideologis pada RUU HIP ini cukup kental. Secara filosofis, RUU yang terdiri dari 10 Bab dan 60 pasal ini ditentang para ahli, karena dinilai cacat. RUU ini berusaha menjadikan Pancasila sebagai hukum positif. Sehingga pemerintah memiliki legitimasi untuk ‘menggebuk’ siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan tafsir pancasila ala pemerintah. Menggebuk lawan politik. Atau menggebuk pihak yang kritis dengan pemerintah. Dengan dalih merongrong atau bahkan anti pancasila. Karena tidak sedikit pula yang memandang, dengan RUU ini, pemerintah mengklaim dirinya sebagai pemilik hak untuk menafsirkan Pancasila, sesuai keinginannya. Tentu tidak terlepas dari tekanan negara besar yang mendiktenya. Ketika Pancasila menjadi pasal karet yang bisa dimultitafsirkan oleh pemerintah. Maka akan semakin mengokohkan sikap represif pemerintah, terutama terhadap pihak yang bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak populis. Dan pihak yang selama ini kritis adalah dari kelompok Islam ideologis.

Masih hangat dalam ingatan umat Islam, sebelum ada RUU HIP ini saja pemerintah telah bersikap represif kepada salah satu ormas Islam yang senantiasa kritis terhadap kebijakan pemerintah yang mendzalimi rakyat, dengan mencabut izin BHP nya. Apa lagi kalau ada payung hukum RUU HIP. Tak terbayangkan jika RUU HIP ini disahkan. Maka pemerintah akan semakin leluasa untuk bersikap lebih represif lagi kepada umat Islam dan ajarannya.

Selain itu, dengan RUU HIP ini pun sangat dikhawatirkan semakin menyempurnakan kedzaliman yang menimpa rakyat. Ketika sebelum ada RUU HIP saja pemerintah berani menetapkan RUU Minerba, yang disahkan DPR 12 Maret 2020 lalu, yang jelas-jelas kontraproduktif dengan jargon Pancasila “harga mati”. Pembaharuan RUU minerba sangat merugikan rakyat, dan lebih menguntungkan pengusaha, termasuk 6 perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya yang menguasai hampir 70 persen produksi tambang baru dalam negeri. Seharusnya penguasaan tambang batubara oleh swasta habis masa kontraknya, dan penguasaannya dikembalikan kepada negara untuk kepentingan rakyat. Namun dengan adanya pembaharuan RUU Minerba, kontrak tersebut pun diperpanjang. Lagi-lagi rakyat hanya bisa gigit jari.

Ketika sebelum ada RUU HIP saja pemerintah bebas membuat kebijakan yang merugikan rakyat, hal yang bertentangan dengan klaim Pancasila “harga mati”, terlebih lagi kalau RUU HIP disahkan. Pemerintah akan semakin leluasa memultitafsirkan Pancasila, bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kalangan oligarki.

Banyak juga pengamat yang memandang justeru pemerintah seperti ingin mengubah haluan dasar negara, yang selama ini secara sakral dianggap sebagai kesepakatan para pendiri bangsa. Dengan RUU ini, kehidupan akan semakin sekuler, sekuler radikal. Nilai-nilai agama, terutama agama Islam, akan semakin tereduksi.

Semua kekhawatiran di atas sangat kuat landasannya. Karena indikasinya sangat jelas tercantum di dalam pasal-pasal RUU ini.

Dalam RUU ini, TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme tidak dimasukkan sebagai konsideran diantara 8 rujukan. Sehingga wajar jika opini kian menguat bahwa pemerintah sengaja memberi ruang bagi kelompok tertentu untuk menghidupkan kembali ajaran komunisme. Hal ini diperkuat dengan pasal 6 ayat 1 RUU HIP ini, membahas keadilan sosial sebagai sendi pokok Pancasila. Menurut Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab, hal ini mirip dengan manifesto Partai Komunis yang pernah dibawakan DN Aidit pada tahun 1963, yang menyatakan bahwa urat tunjang-yakni sendi pokok intisari-Pancasila adalah keadilan sosial, bukan ketuhanan yang maha esa.

Suatu hal yang harus diwaspadai, terutama oleh umat islam. Ideologi komunisme ini tidak boleh kembali eksis. Sebagaimana kita pun terus berupaya melepaskan umat dari penghambaan diri terhadap ideologi kapitalisme. Agar umat manusia kembali kepada fitrahnya, yaitu hanya menghamba kepada ideologi Islam.

Semakin tereduksinya peran agama, terutama Islam, yang bersifat transendental, berlandaskan wahyu, terlacak dalam pasal 7 ayat 2. Pasal ini menyatakan bahwa salah satu ciri pokok Pancasila adalah ketuhanan yang berkebudayaan. Demikian juga pasal 23, yang menyatakan pembinaan agama dengan paham ketuhanan berkebudayaan. Padahal dalam Islam, aspek ketuhanan dan ketakwaan, tidak bisa terlepas dari wahyu, yang termaktub dalam Al Quran dan Sunnah Rasul, bukan berakar budaya. Bahkan jika budaya yang ada bertentangan dengan apa yang ditetapkan dalam Al Quran dan Sunnah, maka tidak boleh diikuti.

Reduksi terhadap agama semakin mengental dalam Pasal 12 ayat 2a. Manusia pancasila diberi karakter beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Menempatkan keyakinan terhadap agama bukan dalam standar wahyu, tetapi diserahkan kepada interpretasi manusia yang adil dan beradab. Padahal interpretasi manusia sangatlah relatif, berbeda-beda, dan sentantiasa berubah. Suatu konsep yang selain sekuler, juga sangat kental unsur sinkretisme dan pluralismenya.

Indikasi sekulerisme semakin terlacak pada Pasal 34 jo pasal 43 huruf c, yang menyatakan pembangunan nasional terdiri dari bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan, dan keamanan yang berlandaskan pada sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal ini semakin mengokohkan dilepaskannya peranan agama dalam pengambilan keputusan dalam bidang-bidang pembangunan nasional, bahkan termasuk dalam bidang sosial, mental, dan spiritual.

Karena demikian saratnya indikasi bahaya dari RUU HIP ini jika disahkan, maka sekalipun pemerintah menyatakan menunda pembahasannya, namun masyarakat, terutama kaum muslimin mesti senantiasa waspada. Wajarlah bila RUU ini terus menuai penolakan, terutama dari kalangan ormas Islam. PP Muhammadiyah berpendapat RUU ini tidak perlu dilanjutkan untuk disahkan menjadi UU. Demikian pula FPI, GNPF Ulama, PA 212, PUI, MUI, dan GP Anshor, menolak RUU ini.

Tolak RUU HIP. Itulah sikap yang mesti diambil, terutama oleh kita umat Islam. RUU ini akan semakin menyengsarakan rakyat. RUU ini akan menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk semakin bersikap represif terhadap umat islam dan ajarannya. Dan RUU ini akan semakin memalingkan umat dari keharusan berhukum pada islam secara kaffah, menjadi penghamba ideologi buatan manusia. Padahal sudah jelas peringatan Allah dalam firman-Nya :
“(Dan) hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (QS Al Maidah:49).

Wallaahua’lam bishshowab.

Tangerang, 22 Juni 2020

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *