RUU Cipta Kerja, Membunuh Pekerja

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Nur Aisyah (Komunitas Ibu Peduli Umat)

Beberapa minggu terakhir buruh ramai turun ke jalan. Mereka melakukan demonstrasi untuk menolak RUU Omnibus Law yang rancangannya sudah diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tak hanya buruh, ternyata mahasiswa pun ikut berdemo mendesak untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Omnibus Law. Pemerintah Indonesia saat ini sedang menggagas tiga Omnibus Law yakni RUU Cipta Kerja, RUU Perpajakan dan RUU Ibu Kota Negara. RUU Cipta Kerja yang sudah diserahkan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartanto menuai kontroversi karena dinilai menguntungkan pengusaha dan merugikan pekerja.

Para pendemo yang terhimpun dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melalui jubirnya Presiden KSPI Said Iqbal menjelaskan, hukum ketenagakerjaan harus mengandung prinsip kepastian pekerjaan, jaminan pendapatan, dan kepastian jaminan sosial.Selain itu, menurut dia, ada 9 alasan KSPI menolak isi RUU Cipta Kerja, khususnya untuk klaster ketenagakerjaan, di antaranya terkait upah minimum, pesangon, outsourcing, karyawan kontrak, dan waktu kerja yang dinilai eksploitatif. Selain itu, dalam RUU Cipta Kerja, upah minimun hanya didasarkan pada upah minimum provinsi (UMP). KSPI menilai upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) akan dihapus.
“Jika yang berlaku hanya UMP, maka upah pekerja di Karawang yang saat ini Rp 4,5 juta bisa turun menjadi hanya Rp 1,81 juta,” katanya. (https://money.kompas.com/read/2020/02/17/111146726/buruh-ancam-demo-besar-besaran-tolak-omnibus-law-ruu-cipta-kerja)

Omnibus Law sebenarnya bukan hal baru karena sudah diterapkan di negeri asalnya Amerika Serikat. Dan di Indonesia istilah ini dikenalkan oleh Presiden Jokowi pada pelantikan presiden Oktober silam. Presiden Jokowi berharap segera merealisasikan RUU ini. Tapi sepertinya rakyat khususnya para pekerja tidak setuju dengan gagasan pemerintah untuk mensahkan RUU ini karena lebih mementingkan para pengusaha, pemilik modal dan investor. Pekerja hanya dijadikan mesin yang dibutuhkan untuk memproduksi barang.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin itulah peribahasa untuk para pekerja. Pada kondisi rakyat yang jauh dari sejahtera secara perekonomian, upah yang diterima masih minim malah harus berkurang upah karena berkurangnya jatah jam kerja yang tidak masuk akal. Ketika RUU ini disahkan besar kemungkinan akan menambah penderitaan rakyat, ekonomi rakyat akan benar-benar merosot karena standar upah yang minim, peningkatkan pengangguran karena banyak yg di PHK, sistem kerja kontrak yang sewaktu-waktu bisa diputuskan kontrak kerjanya kapan saja.
Inilah nasib rakyat kini, hidup mencari nafkah untuk menyambung hidup saja sulit. Apalagi hidup bermewah-mewah hanya mimpi alias halusinasi. Karena buat makan sehari-hari saja susah, gaji kecil sedangkan kebutuhan pokok kian hari kian meroket ditambah berbagai pajak menjerat. Negara tidak peduli terhadap rakyatnya karena negara ini tersistem kapitalis sekular, dimana pemerintah hanya bekerja untuk yang memegang kepentingan. Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat itu hanyalah simbol yang dijual untuk menutupi bejatnya kelola negeri ini dalam mengurusi rakyatnya. Kesejahteraan tak akan pernah diraih jika sistem negeri ini tidak dirubah. Karena masalah yang ada sudah terstuktural. Untuk itulah solusi negeri ini pun butuh yang terstuktural pula. Sistem yang paripurna yang berasal dari Sang Pencipta, yang tak diragukan lagi kebenaranya karena sudah terbukti selama berabad-abad pernah diterapkan.

Sistem khilafah Islam memandang bahwa kesejahteraan adalah jaminan utama yang diberikan pemerintah kepada rakyatnya. Rasulullah bersabda “Imam/Khalifah adalah pemelihara urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim). Terkait khilafah dalam mengatasi persoalan pekerja. Syara sudah mengaturnya bahwa kontrak kerja (ijaroh) harus jelas jenis pekerjaan, waktu, upah dan tenaganya. Mengenai upah, islam tidak mengenal istilah upah minimum regional (UMR). Upah pekerja tidak disesuaikan oleh harga barang yang dihasilkan ataupun taraf hidup. Yang menentukan besarnya upah itu adalah seorang ahli yang disebut hubaro. Hubaro yang meneliti jasa pekerja dan memberikan perkiraan upah yang sesuai dengan perkiraan yang menghasilkan upah yang sepadan. Jika upahnya layak bahkan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pasti pekerja sejahtera dan tak akan mati terbunuh karena keserakahan orang-orang yang rakus. Wallahu’alam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *