Romantisme Amerika-Israel, Hubungan Untuk Melanggengkan Hegemoni Kapitalisme

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Tri Cahya Arisnawati (Aktivis Dakwah dan Pemerhati Politik)

 

Pasca kemenangan Joe Biden, yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru menggantikan Donald Trump. Beberapa kalangan menilai, terpilihnya Joe Biden sebagai presiden AS, akan memberikan efek positif pada tatanan kehidupan global mendatang. Hal itu bukan tanpa sebab, karena pendahulunya yakni Donald Trump kerap membuat kebijakan kontroversial hingga mengakibatkan polemik dan guncangan perpolitikan dunia.

Kontrasnya antara Joe Biden dengan pendahulunya Donald Trump sangat jelas terlihat. Benar saja, pasca pelantikannya, Joe Biden merombak sebagian besar kebijakan yang dahulu pernah dibuat oleh Donald Trump. Joe Biden segera menandatangani 15 kebijakan eksekutif usai dilantik. Kebijakan tersebut berfokus pada penanganan pandemi virus Covid-19 dan perubahan iklim serta ketidaksetaraan sosial.

Biden juga membatalkan sejumlah kebijakan kunci yang diberlakukan oleh pendahulunya Donald Trump. Tindakan tersebut, memenuhi janji Biden untuk bergerak cepat pada hari pertama masa kepresidenannya. Sekaligus memulai proses Amerika Serikat untuk bergabung kembali dengan perjanjian iklim Paris.

Kebijakan Presiden baru AS ini juga termasuk pencabutan izin presiden yang diberikan untuk pembangunan pipa minyak Keystone XL yang kontroversial.  Tidak cuma itu, Biden turut mencabut larangan bagi imigran dari sejumlah negara mayoritas Islam untuk masuk wilayah AS. Hal itu merupakan salah satu kebijakan kontroversial Donald Trump yang dikenal dengan istilah muslim ban.

Biden juga menyerukan pemerintahannya untuk memperkuat program Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA) yang mengizinkan imigran gelap yang masih anak-anak untuk mendapatkan periode penundaan deportasi dan juga izin kerja di AS.

Presiden AS juga memerintahkan agar penerapan protokol kesehatan seperti penggunaan masker dan menjaga jarak di seluruh gedung dan area pemerintahan diperketat. Pun, Biden juga mengakhiri rencana pengalihan sejumlah dana pemerintah untuk membangun tembok di sepanjang perbatasan AS-Meksiko.

Sekretaris Pers Joe Biden, Jen Psaki menjelaskan seluruh rencana di hari pertama ini hanyalah awal dari serangkaian perintah eksekutif yang akan diambil Biden setelah mengambilalih Gedung Putih. “Dalam beberapa hari dan minggu mendatang, kami akan mengumumkan tindakan eksekutif tambahan untuk menghadapi tantangan ini dan memenuhi janji Presiden terpilih kepada rakyat Amerika,” kata Psaki.

Tindakan lebih lanjut itu akan mencakup pencabutan larangan dinas militer oleh transgender Amerika, dan membalik kebijakan yang memblokir pendanaan AS untuk program di luar negeri yang terkait dengan aborsi.

Di bidang ekonomi, Biden meminta Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS untuk memperpanjang moratorium penggusuran hingga akhir Maret 2021. Sekaligus Departemen Pendidikan diminta untuk menangguhkan pembayaran pinjaman siswa hingga akhir September.

“Beberapa kebijakan eksekutif yang akan saya tandatangani akan membantu mengubah arah krisis Covid, kami akan memerangi perubahan iklim dengan cara yang belum kami lakukan sejauh ini dan memajukan kesetaraan rasial dan mendukung komunitas yang kurang terlayani,” kata Biden.

Dengan diubahnya sederet kebijakan yang kontroversial peninggalan Donald Trump, hal ini semakin meyakinkan umat muslim dengan manuver politiknya Joe Biden. Umat muslim begitu menaruh harapan besar pada Biden, mereka berharap kaum muslim bisa hidup lebih tenang dengan kepemimpinan Joe Biden.

Kebijakan Donald Trump yang mendeklarasikan kota Jerusalem sebagai ibukota Israel pada 6 Desember 2016 silam, telah memancing reaksi penolakan dari dunia internasional, Trump sekaligus melanggar resolusi Majelis Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa nomor 181 tahun 1947 dimana status Yerusalem adalah wilayah yang berada di bawah kewenangan internasional, dan diberikan status hukum dan politik yang terpisah (separated body). Resolusi ini pula yang melahirkan mandat berdirinya negara Arab (Palestina) dan negara Yahudi (Israel). Yang masing-masing berstatus merdeka, (UN document, ‘Chapter 12: The Status of Jerusalem’:9).

Kebijakan Donald Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel, dianggap telah mencederai proses perdamaian antara Israel-Palestina. Hal inilah yang mengundang harapan umat muslim khususnya umat muslim di Palestina bahwa kepemimpinan Amerika yang baru (Joe Biden), Amerika tidak akan melunak terhadap Israel dan berharap pula Amerika mau mengubah  kebijakannya terhadap Jerusalem.

Joe Biden boleh saja mengubah kebijakan kontroversial Donald Trump, karena tak sependapat, namun dibalik itu semua ada hal yang membuat pandangan antara Joe Biden dan Donald Trump sama, yakni Palestina khususnya Jerusalem. Baik Joe Biden maupun Donald Trump mempunyai pemahaman yang sama terkait Palestina, yaitu sama-sama mengamankan kepentingan. Yang membedakan keduanya hanyalah manuver politik yang dilancarkan, Donald Trump dengan Hard Approachnya sedangkan Joe Biden dengan Soft Approachnya, sehingga segala tindak tanduk Trump mudah terbaca oleh umat muslim, sebaliknya umat muslim belum bisa membaca pergerakan Biden sebab manuver politiknya sangat samar dengan Soft Approachnya.

Baik Israel maupun Amerika terjalin hubungan bilateral yang sangat kuat, bagaikan laut dan ombak yang sulit dipisahkan. Amerika dan Israel sama-sama memiliki kepentingan yang akan saling menguntungkan kedua belah pihak. Apalagi setelah dideklarasikannya Jerusalem sebagai ibukota Israel maka hal itu bisa semakin menguatkan dan melanggengkan kepentingan kedua belah pihak. Terdapat tiga hal utama dalam kaitan ini dengan pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel, yang pertama ialah hegemoni Amerika Serikat di Timur Tengah, kelompok kepentingan di pemerintahan Amerika Serikat yaitu AIPAC/American-Israel Public Affairs Committee atau Komite Urusan Publik Amerika-Israel dan yang terakhir yaitu Israel.

Kepentingan pertama yaitu hegemoni AS di kawasan Timur Tengah. Timur Tengah merupakan wilayah strategis karena dilalui jalur lalu lintas perdagangan, darat dan laut, serta Timur Tengah berada pada tiga benua yaitu Asia, Afrika dan Eropa, selain itu kandungan minyak yang melimpah berada disana. Saat di Gedung Putih, Trump menyampaikan bahwa Amerika sedang menghadapi ancaman global yang sangat berbahaya, pengaruh Rusia dan kebangkitan Cina dikhawatirkan dapat menganggu nilai-nilai liberal yang Amerika miliki, tentu saja lebih mudah untuk menyimpan sekutu di wilayah yang memiliki potensi untuk direbutkan, dimana dalam kasus ini, Israel berada di Timur Tengah. Selain itu, kawasan Timur Tengah memiliki kandungan mineral yang melimpah, seperti tembaga, batu bara, besi dan minyak yang merupakan aset terbesar kawasan ini, minyak sebagai bahan bakar utama dan bahan mentah yang paling dibutuhkan dalam peradaban industri, 2/3 cadangan minyak dunia diperkirakan tersimpan di kawasan ini.

Kepentingan kedua yaitu kelompok kepentingan di pemerintahan AS, yaitu AIPAC. AIPAC mempunyai keinginan kuat untuk membentuk negara Yahudi (Israel) di Palestina dengan menggunakan beragam cara baik dengan finansial maupun politik untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri, khususnya dalam konflik Israel-Palestina dan memiliki peran yang sangat signifikan dalam hal melobi dan mempengaruhi para pembuat kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Yang ketiga ialah Israel sendiri, hubungan bilateral yang kuat telah memperkuat kerja sama Amerika-Israel yang signifikan, termasuk bantuan militer, penjualan senjata, latihan bersama, dan pertukaran informasi, selain itu terdapat kerja sama berkala Amerika-Israel dalam mengembangkan teknologi militer, yang kemudian menjadikan Israel salah satu pengekspor senjata terbesar di seluruh dunia, Amerika Serikat pun merupakan mitra dagang terbesar Israel, menurut data dari Komisi Perdagangan Internasional, Amerika dan Israel adalah mitra dagang terbesar ke 24, dimana Amerika dan Israel telah menandatangani Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) pada 1985, dan semua bea cukai antara keduanya telah ditiadakan.

Dengan demikian, rasanya akan sangat sulit berharap perubahan yang akan dilakukan oleh Joe Biden terkait status Jerusalem, dengan berbagai kemaslahatan yang akan diperoleh masing-masing pihak dari kerja sama bilateral yang sangat kuat. Demi berlangsungnya berbagai kepentingan tersebut tentu saja keamanan adalah prioritas utama yang harus diperhatikan. Hal itu pun dipertegas dengan kebijakan pemerintahan Biden yang memfokuskan perhatiannya pada keamanan wilayah Israel.

Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) Jake Sullivan melakukan pembicaraan dengan Penasihat Keamanan Nasional Israel Meir Ben Shabbat, Sabtu (23/1). Pada kesempatan itu, Sullivan menegaskan komitmen pemerintahan Presiden Joe Biden terhadap keamanan Israel. Sullivan mengatakan AS akan berkonsultasi erat dengan Israel tentang semua masalah keamanan regional. “Dia (Sullivan) juga menyampaikan undangan memulai dialog strategis dalam waktu dekat untuk melanjutkan diskusi substantif,” kata Gedung Putih. (https://www.republika.co.id/berita/qng5ul366/keamanan-israel-tetap-jadi-fokus-pemerintahan-joe-biden)

Dari pemaparan berbagai kepentingan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya baik Joe Biden maupun Donald Trump, maupun presiden-presiden Amerika sebelumnya tidaklah ada bedanya, sebab mereka semua hanya pion yang mendapat giliran untuk maju demi mengamankan kepentingan dan ideologi (kapitalisme) mereka agar tetap eksis, yang membedakan hanya strategi mereka dalam berpolitik, Siapapun pemimpin dari Amerika yang sedang berkuasa selama itu pula kepentingan Amerika akan terus dipelihara.

Dalam ideologi kapitalisme, terlaksananya berbagai kepentingan adalah hal yang harus diutamakan. Sebab di dalam kepentingan terdapat berbagai manfaat. Ideologi kapitalisme yang lahir dari rahim sekuler (pemisahan agama dari kehidupan dan urusan publik) menjadikan asas manfaat adalah tolok ukur dalam menilai segala sesuatu. Bila sesuatu dapat menghasilkan manfaat bagi keberlangsungan kapitalisme agar tetap eksis maka wajib digali dan diupayakan terus menerus. Dalam upayanya tersebut sama sekali tidak memberi ruang pada agama untuk mengaturnya, maka tak heran dalam penerapannya kapitalisme kerap bertentangan dengan norma-norma agama.

Dalam hal ini, Amerika sebagai negara besar pengemban sejati ideologi kapitalisme kerap memandang negara-negara lain sebagai objek yang dapat mendatangkan kemaslahatan. Amerika dalam mempertahankan ideologinya kerap menyedot habis kekayaan negara lain. Dalam pandangan kapitalisme sebuah negara agar bisa dikatakan sebagai negara adidaya maka harus memiliki berbagai kekuatan, selain kekuatan militer salah satunya adalah kekuatan finansial. Guna membiayai pembangunan negaranya tentu membutuhkan biaya yang sangat besar. Pembiayaan negara inilah yang diperoleh dari hasil merampas kekayaan negara lain.

Dalam kasus ini seperti yang terjadi di timur tengah yang memiliki cadangan minyak melimpah, dimana Amerika menempatkan Israel sebagai sekutu agar dapat melobi para penguasa wilayah di timur tengah agar mau menjual minyaknya pada Amerika, agara Amerika dapat mengelolanya. Pada hakikatnya minyak adalah salah satu SDA milik umat yang haram dikuasai dan dikelola oleh individu, swasta apalagi asing terutama negara kafir, apalagi negara kafir yang jelas-jelas telah memusuhi dan memerangi umat muslim (kafir harbi fi’lan). Hanya negara yang wajib mengelola SDA tersebut. Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw :

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّار

Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Rasul saw. juga bersabda:

ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ

Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).

Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang. Namun, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—digambarkan bagaikan air yang terus mengalir—maka beliau mencabut kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum). Berdasarkan hadis ini, semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing.

Tentu yang menjadi fokus dalam hadis tersebut bukan “garam”, melainkan tambangnya. Dalam konteks ini, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan, “Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mataair dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau. Ini karena sunnah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karena itu beliau melarang siapapun untuk memilikinya, sementara yang lain terhalang.”

Alhasil, menurut aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar baik garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dsb semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas.

Karena itulah Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.” (www.muslimahnews.com › Islam Mengatur Pengelolaan Sumber Daya Alam – Muslimah …)

Kenyataan bahwa orang-orang kafir begitu memahami betapa menggiurkannya harta milik kaum muslim, namun sangat disayangkan, hal itu tak sedikitpun dipahami oleh umat muslim. Bahwa mereka memiliki harta melimpah yang telah Allah anugerahkan, namun mereka menyia-nyiakannya. Hal itulah yang menyebabkan orang-orang kafir begitu mudah menguasai harta kekayaan kaum muslimin.

Untuk itu, umat muslim harus lebih waspada dengan intrik dan manuver kotor negara-negara kafir harbi fi’lan. Tak boleh sedikitpun lengah dengan lobi-lobi mereka terhadap para penguasa di negeri-negeri kaum muslimin. Karena Setiap lobi-lobi yang mereka lakukan tersirat menyimpan hasrat untuk mengamankan segala kepentingan mereka, yang sejatinya kepentingan bagi mereka namun kemalangan bagi umat muslim.

 

Wallahu ‘alam bishowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *