Rohingya, ‘Manusia Perahu’ Yang Tak Berdaya

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Jumarni Dalle (Mahasiswi Ahwal Syakhsiyah Al Birr Unismuh Makassar)

Lautan air mata duka Rohingya kembali pasang. Muslim Rohingya keluar dari negeri kelahiran menuju tanah harapan yang tak kunjung mereka dapatkan. Mereka ditolak di mana-mana bagai bumi telah diharamkan untuk mereka.

Sebanyak 94 orang pengungsi etnis Rohingya yang terdiri dari 15 orang laki-laki, 49 orang perempuan dan 30 orang anak-anak, terdampar di perairan Aceh Utara. Mereka diselamatkan nelayan Aceh, saat kapal nyaris tenggelam pada Kamis (25/06/2020) sore.

Pemerintah setempat sempat menolak menurunkan para pengungsi ke darat terkait pandemi covid-19. Namun, karena desakan serta jaminan bantuan dari warga. hingga akhirnya pengungsi ditarik ke darat. Warga menjamin akan membantu para pengungsi semampu mereka, jika para pengungsi tidak dibantu oleh pemerintah.

Proses evakuasi dilakukan menggunakan kapal nelayan dengan didampingi petugas. Para pengungsi dibawa ke Desa Lancok Lhokseumawe. Mereka kemudian menjalani rapid test virus corona dan semua hasilnya negatif (BBC News Indonesia.com, 26/06/2020).

Dilansir dari Kompas.com (29/06//2020), para pengungsi Rohingya asal Myanmar ini berangkat dari Bangladesh pada akhir bulan Februari dan sebagian pada awal bulan Maret. Selama perjalanan terdapat 15 orang yang meninggal karena kekurangan makanan dan sanitasi. Mereka berangkat ke Malaysia untuk mengadu nasib dan mencari pekerjaan karena tidak memungkinkan lagi tinggal di negara mereka akibat tidak ada kepastian keamanan diri dan keluarga.

Mata Rantai Ukhuwah Yang Terputus

Seruan Repatriasi dari negara-negara ASEAN untuk membantu kepulangan pengungsi Rohingnya tak kunjung terealisasi. Pasalnya, Myanmar tak akan menerima Muslim Rohingya ini karena menganggap mereka adalah warga ilegal sejak tahun 1982.

Sedangkan Bangladesh sendiri tak mampu menampung lagi mereka, karena merasa negaranya jadi pelarian di tengah abainya negara-negara lain atas konflik ini. Maka, andai tak ada nelayan Aceh yang siap menjamin mereka, mungkin mereka masih terombang ambing di lautan dan mati dalam keputusasaan.

Muslim Rohingya telah mengalami penindasan cukup lama di Myanmar dan mulai mengungsi ke negara tetangganya itu sejak 2000-an. Mereka tidak diakui sebagai warga negara di Myanmar, yang mayoritas beragama Buddha, serta kerap menghadapi diskriminasi dan kekerasan.

Puncaknya terjadi pada 2017, yang menyebabkan sekitar 700 ribu orang Rohingya lari dari Myanmar setelah militer negara itu, Tentara Arakan atau Tatmadaw, melakukan kekerasan dengan dalih memerangi kelompok bersenjata di Negara Bagian Rakhine. Mereka telah menjadi korban pemerkosaan massal, pembunuhan, dan pembakaran ribuan rumah dalam upaya penumpasan tersebut. Para pengungsi berusaha lari ke Malaysia dan Indonesia, tapi sebagian besar berakhir di Bangladesh dan tinggal di kamp-kamp di Cox’s Bazar yang kemudian dipindahkan ke Pulau Bhasan Char.

Sebagian pengungsi enggan pindah ke Bhasan Char karena alasan keselamatan. Karena pulau itu tidak cocok dihuni manusia dan dapat menghilang kapan saja. Sebagaimana diketahui bahwa pulau ini tidak ada sekitar 20 tahun yang lalu (Tempo.com, 30/05/2020).

Gelombang tragedi Rohingya hanyalah bagian kecil dari ribuan tragedi yang menimpa umat Islam di dunia. Palestina yang terus mengalami aneksasi sejak puluhan tahun. Dan derita umat Islam di belahan dunia lainnya.

Nasionalisme yang dipuja-puja kini semakin terlihat bahwa ikatan ini tak bisa apa apa. Nasionalisme sejak kelahirannya hingga hari ini, hanya sebatas untuk membela bangsanya dari serangan atau ancaman pihak luar. Akibatnya, kepeduliaan terkungkung dalam batas tetorial wilayah.

Racun nasionalisme telah memutus mata rantai ukhuwah kaum Muslim. Bagai teriris sembilu, Saudara seiman dihinakan di tengah-tengah jumlah muslim mayoritas dunia. Luka di mana-mana, teraniaya, tak berdaya melawan tirani.

Ikatan Ukhuwah Yang Hakiki

Derita Rohingya yang disebabkan oleh bengisnya penguasa Myanmar. Maka penyelesaiannya membutuhkan kekuatan negara pula. Dan hanya bisa dilakukan dengan mewujudkan persatuan Islam yang berdasarkan ikatan ukhuwah yang tidak memandang sekat-sekat nasionalisme, suku, ras dan bangsa. Ikatan ukhuwah yang akan membela kaum muslim dimanapun berada. Sebab umat Islam bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya dan akan berusaha untuk mengobatinya.

Maka hal-hal yang harus segera dilakukan adalah dengan menghilangkan sekat nasionalisme dan melakukan tekanan politik pada rezim agar menghentikan kedzaliman dan kebrutalan mereka.

Jika hal ini tidak diindahkan maka mobilisasi kekuatan militer harus dilakukan untuk menjaga kehormatan Islam dan kaum muslimin. Hal ini telah dicatat oleh sejarah antara lain oleh Khalifah Mu’tashim Billah yang telah berhasil menaklukkan kota Amuriyah yang berada di bawah kekuasaan imperium Romawi saat itu disebabkan karena penguasa Amuriyah telah melecehkan seorang wanita. Ketika berita itu sampai ke telinga Al Mu’tashim Billah, maka tanpa berpikir lama, Khalifah Al Mu’tashim billah segera memimpin pasukan menuju Amuriyah. Kota itupun ditaklukkan, pasukan musuh dilumpuhkan. Khalifah pun berhasil membebaskan wanita mulia tersebut.

Lantas bagaimana dengan penguasa Muslim saat ini? Adakah di antara mereka yang berani mengambil aksi layaknya Al Mu’tashim Billah? Tidak ada. Karena mereka telah menjadi abdi para dracula penghisap darah kaum muslimin.

Alhasil. Sekali lagi, umat harus bersatu dalam satu kepemimpinan. Sebab tiada persatuan, akan sangat sulit menaklukkan musuh Islam yang sedang menabuh genderang perang. Dalam menghadapi musuh Islam, umat muslim tidak cukup sekedar memberikan donasi berupa materi, berdiplomasi maupun kecaman belaka.

Sebab yang sedang dihadapi kaum muslim adalah musuh yang sebetulnya hanya mengenal bahasa senjata. Tidak ada solusi yang solutif dalam menanggapi persoalan kaum Muslim kecuali hanya satu. Yakni jihad. Namun tidak akan ada jihad tanpa adanya persatuan umat muslim. Dan tidak ada persatuan umat muslim, tanpa adanya naungan Negara yang berasaskan Islam. Wallahu a’lam Bish-showab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *