Revisi UU ITE, Berfaedahkah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Fatimatuz Zahrah (Mahasiswa di Surabaya)

 

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali mencuat di kanal berita maupun sosial media. Pekan ke tiga di bulan Februari ini presiden Jokowi memberi kesempatan untuk merevisi UU ITE jika dipandang tidak menjunjung prinsip keadilan, terlebih pasal karet yang dapat menyebabkan banyak penafsiran. (kompas.com, 17/02/21)

“Hati-hati, pasal-pasal yang bisa menimbulkan multi-tafsir harus diterjemahkan secara hati-hati. Penuh dengan kehati-hatian. Buat pedoman interpretasi resmi terkait undang-undang ITE, biar jelas,” kata Jokowi. (bbc.com, 22/02/21)

Akibat itulah, ratusan orang dipenjara karena UU ITE.

Hampir 700 orang dipenjara karena pasal karet dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sepanjang 2016-2020, menurut kajian lembaga reformasi hukum. Atas dasar itu, Presiden Jokowi dan DPR didesak mencabut semua pasal karet dalam UU ITE yang kerap kali menjadi ‘alat mengkriminalisasi’ ekspresi dan pendapat masyarakat.

Dalam kurun 2016-2020, UU ITE dengan pasal karetnya telah menimbulkan tingkat penghukuman atau conviction rate mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan sangat tinggi, mencapai 88% (676 perkara), menurut data yang dihimpun koalisi masyarakat sipil. (bbc.com, 17/02/21)

Masyakarakat pun merasa lega dengan adanya wacana untuk merevisi UU ITE bersama DPR.

Sedangkan, seperti yang telah diberitakan di kompas.com, ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai ada kesamaan antara situasi Indonesia saat ini dibandingkan dengan situasi era Orde Baru.

Pertama, masifnya buzzer atau pendengung di media sosial. “Orang yang kritis lalu diserang dengan buzzer, dengan berbagai macam cara,” ujar Busyro.

Indikator kedua, lanjut dia, adanya teror-teror dengan meretas alat komunikasi, termasuk teror kepada aktivis kampus

Indikator ketiga, kata Busyro, terdapat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dinilainya seolah-olah melegalkan perbuatan para buzzer.

Dari fakta di atas, dapat dikomentari sebagai berikut :

Pertama, revisi UU ITE ini bertujuan untuk mengembalikan keadilan.

Definisi keadilan sampai saat ini bias di kalangan masyarakat dan negara. Tidak ada yang tahu definisi yang tepat untuk kata “keadilan“. Keadilan sampai sekarang tidak terasa bagi masyarakat, terlebih masyakat oposisi kritis. Adanya masyarakat kritis ini pun tidak bisa dilepaskan dari kondisi negara hasil dari penerapan kebijakannya. Ketika ada yang tidak sesuai dengan idealnya, maka mereka hadir untuk mengkritisi kebijakan negara. Sosok ini memang dibutuhkan di negara. Ternyata, ketika mereka mengkritik pun diserang oleh pihak buzzer. Buzzer ini juga bebas dari UU ITE itu sendiri. Inilah yang menjadi ketidakadilan dari rezim ini.

Kedua, revisi UU ITE ini juga diikuti dengan pembuatan pedoman interpretasi resmi terkait undang-undang.

Bukan revisi yang akan disusun, tetapi pedoman Interpretasi UU ITE. Disini jelas bahwa terjadi ketidaksamaan antara wacana dari pemimpin dengan anak buahnya. Maka, akan mengurangi sedikit demi sedikit kepercayaan rakyat terhadap penguasa.

Lalu pedoman UU ITE yang dibuat oleh penguasa yang menerapkan sistem kapitalisme sudah pasti berusaha meminimalisasi kritik terhadap kebijakannya. Kritikan ini bisa membuat rakyat sadar bahwa selama ini kebijakan yang diluncurkan oleh penguasa tidak adil.

Padahal, kritik itu wajar ada. Terlebih kritik yang ditujukan pada kebijakan yang dilaksanakan oleh manusia dalam sistem pemerintahan. Di dalam Islam, kritik kepada penguasa diperbolehkan, bahkan dibuatkan suatu majelis untuk memuhasabahi pemerintah. Majelis ini disebut majelis umat.

Majelis Umat adalah lembaga representasi umat, yang anggotanya dipilih oleh umat, baik muslim maupun non muslim. Lembaga ini memilik dua wewenang.

Pertama, lembaga ini menyampaikan aspirasi umat atas kebijakan dan keputusan yang akan dikeluarkan Khalifah. Majelis Umat juga menjadi lembaga konsultasi Khalifah untuk memutuskan persoalan pemerintahan, termasuk dalam hal adopsi Hukum dan perundangan.

Kedua, lembaga ini menyampaikan koreksi (muhasabah) atas adanya kekeliruan dan komplain atas kebijakan yang telah diterapkan Khalifah dalam mengelola negara.

Hanya saja, khusus anggota Majelis Umat non muslim, mereka hanya menyampaikan aspirasi dan koreksi negara atas pelayan terhadap komunitas mereka. Anggota majelis umat non muslim tidak berhak turut campur, baik aspirasi maupun mengajukan koreksi dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan.

Majelis ini hanya ada di dalam sistem Khilafah Islamiyah, sistem yang sangat menghargai kritikan dari warga negaranya. Siapa saja boleh mengkritisi kebijakan dari khalifah, karena kritik itulah yang akan menghindarkan dari ketidakadilan.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *