Retret Pejabat: Rakyat Butuh Pejabat Berdimensi Dunia Akhirat
Oleh: Iffah Komalasari
(Pengajar STT Hagia Sophia Sumedang)
Beberapa waktu lalu jajaran Kabinet Merah Putih (KMB) pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka melakukan retreat yang digelar di Akademi Militer, Magelang Jawa Tengah. Acara tersebut dilaksanakan selama 3 hari mulai Jum’at 25 Oktober sampai hari Minggu 27 Oktober 2024. (liputan6.com, 28/10/2024)
Para pejabat di KMP menyatakan siap bekerja setelah pembekalan (Retreat) berbau healing di Akmil Magelang. Retreat diadakan untuk menyatukan visi dan misi membentuk bonding serta teambuilding. Kesamaan visi dan misi antara pemimpin dan pejabat pembantu pemerintahan memang dibutuhkan untuk mengurus rakyat. Pembekalan pejabat pun sebenarnya wajar dilakukan, namun perlu diperhatikan rakyat bukan hanya butuh pejabat yang disiplin dan sinergi tetapi harus punya visi baru untuk perubahan.
Pejabat dalam sistem demokrasi
Nyatanya, sepanjang penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme di negeri ini keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat tidak kunjung terwujud. Hal ini niscaya terjadi bahkan dapat dikatakan selama sistem kapitalisme yang diterapkan, keadilan dan kesejahteraan niscaya gagal diwujudkan. Pasalnya sistem ini berdiri di atas kebatilan. Sistem sekuler demokrasi telah menolak aturan Allah Ta’ala sang Pencipta dan Pengatur manusia. Sistem ini meletakkan kedaulatan hukum di tangan manusia. Manusia berhak membuat aturan sendiri untuk mengatur kehidupannya. Hal ini jelas-jelas batil karena menyalahi fitrah manusia.
Kebatilan pasti membawa kerusakan. Pejabat sebagai wakil rakyat hanyalah omong kosong. Karena faktanya pejabat dipilih berdasarkan spirit bagi-bagi kue kekuasaan bukan integritas dan profesionalitas. Sebagaimana pengakuan dari Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, bahwa adanya tukar guling jabatan antar partai menjadi bukti hal tersebut. Jadi sudah seharusnya umat tidak lagi berharap pada sistem sekuler demokrasi kapitalisme jika menginginkan terwujudnya kesejahteraan dan keadilan.
Pejabat dalam sistem Islam
Berbeda dengan sistem Islam dalam mengatur masalah pejabat yang membantu seorang pemimpin. Dalam Islam, pejabat dipilih sebagai pembantu pelaksanaan tugas Khalifah bukan bagi-bagi kue kekuasaan atas politik balas budi. Dalam kitab Ajhizah ad-Daulah al-Khilafah, dijelaskan bahwa Khalifah-lah yang akan menunjuk, mengangkat dan memberhentikan para muawin dan para wali/gubernur (termasuk para amil). Mereka semuanya akan bertanggung jawab di hadapan Khalifah sebagaimana mereka juga akan bertanggung jawab di hadapan Majelis Umat.
Tugas membantu Khalifah dalam menjalankan pemerintahan sesuai syariat Islam bukan tugas mudah. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sampai mewanti-wanti agar memilih pejabat yang terbaik di antara yang terbaik untuk mengurus urusan umat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang memegang suatu urusan kaum muslim kemudian ia mengangkat seseorang menjadi pejabat, padahal ia mengetahui ada orang lain yang lebih baik bagi kemaslahatan kaum muslim, maka sungguh ia telah mengkhianati kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Al-Siyasaat al-Syar’iyyat oleh Ibnu Taimiyah, hal 4).
Inilah dimensi pemerintahan khas dalam Islam yakni pemangku jabatan politik bukanlah hak melainkan taklif dan amanah. Jabatan bukan sesuatu yang patut dibanggakan demi eksistensi diri diperebutkan atau bahkan jalan memperkaya diri dan golongan. Jabatan adalah amanah yang besar, perkara berat yang akan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat.
Dimensi ruhiyah jabatan politik semakin terasa kala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan dalam hadisnya. Dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata: bersama dua orang saudara sepupu, saya mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kemudian salah satu diantara keduanya berkata, “Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan pada sebagian dari yang telah Allah kuasakan kepadamu.” Dan yang lainnya berkata begitu juga. Kemudian Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan mengangkat seorang pejabat karena memintanya atau berambisi dengan jabatan itu.” Di hadits yang lain juga dijelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Siapa saja yang diamanahi Allah untuk memimpin rakyat, kemudian ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka tidaklah ia dapat merasakan bau surga” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seperti inilah pandangan Islam mengenai jabatan. Jabatan harus diamanahkan kepada orang terbaik di antara yang terbaik. Amanah jabatan pun berat pertanggungjawabannya di dunia dan di akhirat. Oleh karenanya Khalifah sebagai kepala negara diperintahkan untuk memperhatikan kualitas individu yang dipilihnya. Mereka dipilih dari orang yang terbaik diantara yang terbaik. Mereka dipilih dari orang yang memiliki integritas (syakhsiyyah Islam-nya tinggi) dan punya kapabilitas, jauh dari konflik kepentingan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam kitab Asy-Syakhsiyyah juz 2, halaman 95, Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab As-siyasah Asy-syar’iyyah dan kitab-kitab fiqih siyasah lainnya.
Selain itu dalam sistem Khilafah, aturan yang diterapkan adalah aturan Allah yang sudah pasti/fix dan mengikat semua pihak baik pejabat aparat maupun rakyat. Ketaatan kepada aturan Allah inilah yang menjadikan hidup bisa sejahtera dan terwujud rahmat bagi seluruh alam sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, namun mereka mendustakan ayat-ayat Kami, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raf: 96).
Wallahu’alam bish-shawwab