Oleh: Aishaa Rahma (founder Sekolah Bunda Sholihah di Malang)
Indonesia dikepung permasalahan yang kompleks. Mulai konflik Natuna, Banjir Jakarta, lenyapnya dana Jiwasraya, Hingga kasus predator gay asal Indonesia, menjadi topik panas di pembukaan tahun ini. Laman media tak henti melempar berita yang membuat bingung, ada apa dengan negeri ini. Berita terbaru yang tak kalah mencoreng citra bangsa yakni penangkapan komisioner KPU Wahyu Setiawan dan Bupati Sidoarjo Saifullah dalam operasi tangkap tangan, Rabu (8/1/2020) hari ini. Kompas.com
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, Wahyu ditangkap KPK karena dugaan transaksi suap. Terkait kabar OTT ini, pimpinan KPU sempat mendatangi gedung KPK untuk mendapatkan kepastian. KPU pun mendapatkan konfirmasi Wahyu Setiawan di-OTT dan tengah diperiksa intensif tim KPK. Konfirmasi dilakukan komisioner KPU kepada Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang didampingi Jubir KPK Ali Fikri dan Kabiro Humas KPK Febri Diansyah. Dari informasi KPK, total ada 4 orang yang diperiksa intensif. Detik.com (8/1/2020)
Dikutip dari laman resmi KPU pada Rabu (8/1/2020), Wahyu Setiawan lahir di Banjarnegara pada 5 Desember 1973. Wahyu mengenyam pendidikan S-1-nya di FISIP Universitas 17 Agustus Semarang. Lalu melanjutkan studi S-2 di jurusan Ilmu Administrasi Universitas Soedirman (Unsoed). Wahyu merintis karirnya di KPU Banjarnegara. Dia pernah menjabat Ketua KPU Banjarnegara dua periode, yakni pada periode 2003-2008 dan 2008-2013. Kemudian, dia terpilih menjadi Komisioner KPU Provinsi Jawa Tengah (Jateng) untuk 2013-2018.
Selama berkarir di KPU Banjarnegara dan Jateng, Wahyu pernah menerima beberapa penghargaan, yaitu Penghargaan Kemitraan dari Polres Banjarnegara (2010), Orientasi Tugas Anggota KPU Provinsi Jawa Tengah dari KPU RI (2013), Bimbingan Teknis Pengelolaan Pelayanan Informasi dari KPU RI (2015), serta FGD Penyusunan Model Pendidikan Pemilih dari KPU RI (2015). Kemudian, pada 2017, nama Wahyu masuk daftar calon anggota KPU RI Periode 2017-2022. Dia pun akhirnya terpilih menjadi Komisioner KPU RI yang membidangi sosialisasi, pendidikan pemilih, dan pengembangan SDM.
Selama menjadi Komisioner KPU, Wahyu dikenal cukup vokal soal mantan narapidana korupsi yang ingin mencalonkan diri dalam pilkada. Bahkan Wahyu sempat berdiskusi langsung dengan KPK. Momen itu terekam pada 7 November 2018. Saat itu Wahyu mengaku diundang pimpinan KPK untuk membahas sejumlah persoalan terkait pemilu. Namun hari ini Wahyu ikut terjaring dalam OTT yang digelar oleh KPK terkait kasus suap. KPK memiliki waktu 1×24 jam untuk melakukan pemeriksaan awal terhadap mereka yang terjaring OTT. Setelahnya KPK akan mengumumkan status hukum Wahyu dan kawan-kawan.
Sehari sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah pada Selasa (7/1/2020) malam. Setelah tertangkap di Pendopo Sidoarjo, Saiful sempat menjalani pemeriksaan di Direktorat Kriminal Khusus Polda Jawa Timur. Saiful terjaring OTT KPK setahun sebelum dirinya
purnatugas. Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu diketahui telah bertugas selama dua periode sebagai Bupati Sidoarjo. Pria yang akrab disapa ‘Abah Ipul’ tersebut memenangkan Pilkada Sidoarjo tahun 2010. Ia kembali terpilih menjadi Bupati Sidoarjo periode 2016-2021 bersama wakilnya Nur Ahmad Syaifuddin. Sebelum menjadi bupati dua periode, Saiful menjabat Wakil Bupati Sidoarjo selama dua periode mendampingi Win Hendrarso. Win sendiri diketahui terjerat kasus korupsi dana kas daerah saat memimpin Sidoarjo.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengemukakan, KPK telah lama menyadap Saiful hingga berujung OTT. Penyadapan, kata Alexander, dilakukan sebelum Dewan Pengawas KPK dilantik. Saiful terjaring OTT KPK karena kasus korupsi pengadaan barang dan jasa. Hal itu disampaikan oleh Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri. Tak hanya Saiful, KPK juga menangkap kurang lebih enam orang yang terlibat dalam kasus korupsi itu. Beberapa di antaranya adalah pegawai pemkab Sidoarjo dan ajudan. Kompas.com (8/1)
Dibalik capaian KPK, rakyat dipertontonkan secara gamblang tentang kasus korupsi yang melibatkan pejabat. Fakta-fakta tersebut tentunya mengikis kepercayaan publik terhadap para elite politik. Mereka lantang berbicara soal pemberantasan korupsi, namun berbagai kasus yang terungkap justru banyak pejabat yang terjerat. Pertanyaannya, kapan punya rasa malu?
Mengasah Ilmu Rasa Malu
Dalam konteks teologi rasa malu itu bagian dari iman. Banyak pemimpin yang tak lagi punya rasa malu dalam menjalankan amanat yang diberikan kepadanya. Alhasil rasa malupun telah menjadi barang langka di negeri ini, akibatnya negeri ini terperosok dalam sebuah kondisi paradoksal. Di satu sisi rakyat mengalami kelaparan, namun disisi lain, para pemimpin kekenyangan akibat kolusi, korupsi dan nepotisme. Narasi untuk melenyapkan korupsi tidak sesuai dengan jargon pemerintah. Lain ucapan, lain pula tindakan. Para politisi berapi-api tentang korupsi. Tapi, pada saat itu juga, mereka membukakan lebar-lebar pintu korupsi.
Krisis kehidupan berbangsa dan bernegara yang tengah dihadapi Indonesia dikarenakan hilangnya rasa malu dalam diri para elite politik yang lebih mengedepankan silang pendapat, perdebatan, konflik dan upaya untuk saling menyalahkan demi tercapainya kepentingan pribadi dan kelompok. Tanpa peduli dan menyadari keprihatinan rakyat. Apa begitu sulitnya mencari seorang pemimpin yang memiliki komitmen untuk berjuang mensejahterakan rakyatnya? Sepertinya penduduk negeri ini masih terbuai mimpi demokrasi.
Menjamurnya korupsi politik di Indonesia diakibatkan oleh 3 (tiga) faktor pemicu. Pertama, dominasi partai politik terhadap pengisian jabatan-jabatan publik, kedudukan partai politik
sangatlah besar dengan menjadi satu-satunya lembaga yang melakukan rekrutmen politik sehingga anggota DPR, DPRD hingga kepala daerah hanya bisa diisi oleh calon-calon dari partai politik. Bahkan, anggota DPD pun sejak pemilu 2009 juga dimasuki oleh kader-kader partai politik sebelum akhirnya dianulir oleh MK yang kemudian diikuti oleh KPU dengan melarang caleg DPD berasal dari partai politik pada pemilu serentak 17 April 2019 yang lalu.
Pengisian jabatan prestisius seperti presiden dan wakil presiden juga hanya bisa diajukan oleh partai politik, dimana pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum seperti yang dijelaskan Pasal 6A (2) UUD 1945 sehingga ketentuan tegas norma konstitusi ini tak membuka ruang dan kesempatan bagi calon presiden perseorangan atau independen. Selain itu, jabatan kepala daerah juga harus “mengendarai” partai politik meskipun tidak seketat pengisian jabatan presiden karena dimungkinkan ruang bagi calon perseorangan namun jalur tersebut sangat sulit bagaikan “jalan bebatuan”.
Tidak sampai disitu, partai politik juga sangat dominan dalam menentukan jabatan-jabatan seperti calon hakim agung dan pimpinan komisi-komisi negara independen, dimana seleksi dilakukan oleh lembaga DPR yang notabene adalah mereka yang berasal dari partai politik. Paling kompleks tentu pengisian jabatan menteri-menteri negara yang merupakan hak prerogatif presiden sehingga seharusnya bebas dari intervensi partai politik namun realitanya jabatan menteri justru dijadikan lahan untuk bagi-bagi jabatan bagi partai politik pengusung presiden pemenang pemilu. Hal ini terlihat setidaknya sejak pemilu langsung pertama tahun 2004 hingga saat ini tidak ada satu pun presiden yang mampu dan mau membentuk kabinet yang berisi tokoh dan orang-orang ahli dalam bidangnya (zaken cabinet) tanpa terafiliasi dari partai politik.
Kondisi ini menjadikan posisi pimpinan partai politik punya pengaruh yang sangat siknifikan sehingga tidak jarang terjadi praktik memperdagangan pengaruh (trading influence) dan korupsi yang melibatkan pimpinan partai politik tersebut. Sebagai gambaran sejak KPK berdiri tahun 2002 sudah 5 (lima) ketua umum partai politik yang ditangkap mulai Lutfi Hassan Ishaaq (PKS) tahun 2013, Anas Urbaningrum (Demokrat) tahun 2013, Suryadhama Ali (PPP) tahun 2014, Setya Novanto (Golkar) tahun 2017 dan terakhir Romahurmuziy (PPP) tahun 2019 (katadata.co.id 15/3/19).
Pilar dan Solusi Islam
Maraknya kasus korupsi yang tumbuh subur di negeri ini, tak lain karena buruknya sistem tata kelola negara. Walau berbagai upaya telah ditempuh untuk menanggulanginya, akan tetapi seiring waktu praktek korupsi malah makin menjadi-jadi.
Dalam sistem Islam, korupsi (ikhtilas) adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain. Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan mendapatkan harta secara curang atau melanggar syariah, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat.
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akan arti kesucian, sehingga sangatlah rasional jika memelihara keselamatan (kesucian) harta termasuk menjadi tujuan pokok hukum (pidana) islam. Karena mengingat harta mempunyai dua dimensi, yakni dimensi halal dan dimensi haram. Perilaku korupsi adalah masuk pada dimensi haram Karena korupsi menghalalkan sesuatu yang haram, dan korupsi merupakan wujud manusia yang tidak memanfaatkan keluasan dalam memperoleh rezeki Allah SWT. Islam membagi istilah korupsi kedalam beberapa dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan).
Korupsi dalam dimensi suap (risywah), menurut pandangan hukum islam merupakan perbuatan tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Islam tidak menentukan apa hukuman bagi pelaku suap, akan tetapi menurut fuquha bagi pelaku suap-menyuap ancaman hukumannya berupa hukuman ta’zir yang disesuikan dengan peran masing-masing dalam kejahatan. Berikutnya, korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah), yang berarti mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi, artinya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya, jadi saraqah adalah mengambil barang orang lain dengan cara melawan hukum atau melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Maka tidak heran jika dengan menerapkan sistem Islam, korupsi dapat dicegah dengan cara yang benar.
Salah satu keistimewaan diberlakukannya hukum syariah Islam adalah sebagai jawabir dan jawazir. Keistimewaan ini tidak akan kita temui di luar daripada hukum Islam. Misalnya, hukum syariah Islam ketika diterapkan kepada orang-orang yang melakukan tindakan kriminal, dan ketika kepada mereka diberlakukan hukum syariah, maka dosa mereka di dunia telah terhapus, inilah yang dinamakan sebagai jawabir.
‘Kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri dan tidak menolak melakukan perbuatan yang ma’ruf. Siapa saja menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia maka hukuman itu akan menjadi penebus (siksa akhirat) baginya. Dan siapa saja yang melanggarnya kemudian Allah menutupinya (lolos dari hukuman dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak maka Dia akan menyiksanya; dan jika Dia berkehendak maka akan memaafkannya.” [HR Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit]. Disamping itu, pemberlakukan syariah Islam akan menjadi sarana pencegah terjadinya perbuatan tindak kriminal yang baru, inilah yang disebut sebagai Jawazir.
Oleh karenanya, sebagai seorang yang mengaku muslim, tidak sepatutnya merasa gerah terhadap penerapan syariah Islam (kecuali orang yang nifaq). Disamping penerapan syariah itu sendiri adalah perwujudan keimanan kita kepada Allah swt sebagai pencipta kita, sekaligus juga menjalankan syari’ah Islam yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah swt sebagai pembawa risalah Islam yakni aqidah dan syariah Islam, yang berfungsi mengatur hubungan manusia dengan penciptaNya dalam perkara ibadah, untuk mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yakni dalam pengaturan masalah akhlaq, makanan, pakaian dan minuman, serta untuk mengatur hubungan manusia dengan sesamanya yakni dalam perkara mu’alamah dan ‘uqubat.
Itulah kesempurnaan Islam sebagai agama sekaligus sebagai sebuah ideologi. Namun sayang, masih banyak generasi Islam bermimpi semua itu bisa diwujudkan melalui jalan yang bernama demokrasi. Jangan lupa, Islam telah menggariskan solusi (syariah;seperangkat aturan lengkap untuk kehidupan politik), sekaligus metode penerapannya (thoriqoh/method). Islam hanya bisa tegak secara kaffah dengan institusi yang disebut Daulah Islamiyah (Khilafah ala Minhajin Nubuwah).Wallahu A’lam