Rencana Pajak Sembako: Bunuh Diri Ekonomi dan Kejamnya Kapitalisme

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Taofik Andi Rachman, M.Pd.

 

Saat ini, pemerintah memiliki rencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk beberapa bahan pokok (sembako) dan pendidikan. Rencana ini tertuang dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Pada pasal 4A RUU KUP ini, sembako dihilangkan dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.

Sebenarnya aturan tentang PPN telah diubah dalam UU Cipta Kerja, yang menggantikan sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 terkait PPN. Namun, dalam UU Cipta Kerja masih memasukkan “barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak” dikecualikan dari PPN. Sedangkan, Pasal 44E pada draf perubahan menghapus sembako pada pengecualian dari pengenaan PPN (liputan6.com, 11/06/2021).

PPN sendiri merupakan pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pihak yang membayar PPN tentunya adalah konsumen akhir.

Sembako yang akan dikenakan PPN adalah: 1. Beras, 2. Gabah, 3. Jagung, 4. Sagu, 5. Kedelai, 6. Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium, 7. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan atau direbus, 8. Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas, 9. Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan atau dikemas atau tidak dikemas, 10. Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortir, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan atau dikemas atau tidak dikemas 11. Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah (kompas.com, 11/06/2021).

Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan langkah pengenaan PPN sembako sangat berisiko dan bunuh diri ekonomi. Kenaikan harga pada barang kebutuhan pokok akan meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Hasilnya pertumbuhan ekonomi anjlok dan angka kemiskinan bisa naik. Padahal, 73 persen dari kontributor kemiskinan berasal dari bahan makanan. Sehingga, jika harga pangan naik maka jumlah penduduk miskin akan bertambah.

Lagi pula, pengawasan PPN pada bahan makanan relatif sulit dibanding pajak barang retail lain. Ditambah, biaya administrasi pemungutannya akan menjadi sangat mahal karena rantai pasokan sembako sangat panjang dan berkaitan juga dengan sektor pertanian rakyat (Liputan6.com, 11/6/2021).

Pajak pangan, sebenarnya juga membutuhkan data yang valid. Namun, data pangan Indonesia masih bermasalah, seperti semrawutnya data impor jenis pangan baik beras, jagung sampai daging sapi. Rencana ini sangat kontraproduktif dengan keinginan untuk memulihkan ekonomi, apalagi rencana pajak ini berbarengan dengan rencana pencabutan subsidi listrik, pengurangan bantuan sosial dan lainnya.

Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), mengecam rencana PPN sembako yang sangat dibutuhkan rakyat sebagai penjajahan (cnnindonesia.com, 10/6/2021).

Revisi UU ini sebenarnya belum dibahas antara pemerintah dan DPR, namun telah memunculkan kegaduhan. Ini karena, draf usulan revisi UU sudah beredar di masyarakat.

Setelah banyak kontroversi dan diminta untuk menjelaskan perihal rencana ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani bukan menjelaskan justru menyatakan bingung soal bocornya ke publik dokumen PPN sembako dan pendidikan. Katanya, secara etika politik seharusnya draf rencana pajak ini tidak bocor ke publik sebelum Presiden menyampaikan secara langsung ke DPR (cnnindonesia.com, 11/06/2021).

Alasan Rencana Pajak Sembako

Menurut Staf Khusus Menteri Keuangan (Stafsus Menkeu) Yustinus Prastowo, kebijakan pajak sembako bagian dari reformasi sistem perpajakan dan diyakini akan mewujudkan sistem yang lebih adil antara masyarakat kelas atas dan kelas bawah. Ini karena skema penerapan tarif PPN hanya untuk sembako dengan kategori tertentu saja.

Ia memberikan ilustrasi dengan jika beras premium 1 kg seharga 50 ribu di swalayan tidak kena PPN dan 1 kg seharga 10 ribu di pasar tradisional juga tidak kena PPN maka ini tidak adil. Sehingga sistem perpajakan di Indonesia masih belum adil bagi kelompok ekonomi bawah. Padahal golongan kelas menengah atas harus berkontribusi dalam meningkatkan penerimaan negara melalui kewajiban membayar pajak. Lagi pula, tidak semua objek PPN yang ada serta merta dikenai pungutan. Semisal senjata asal impor bagi TNI/Polri, buku pelajaran, buku agama yang merupakan barang strategis. Sehingga dikecualikan tidak dipungut pajaknya atau nol persen. Ruang yang mau diciptakan pemerintah adalah ini ada distorsi. Kalau ingin adil, kita perbaiki dan disodori skema tarif. (liputan6.com, 12/06/2021)

Namun, alasan ini tidak dipercaya oleh banyak kalangan. Seperti Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat menegaskan bahwa RUU KUP tidak didasarkan pada prinsip keadilan sama sekali dan tidak ada komunikasi publik, sehingga reformasi pajak ini akan ditolak masyarakat. Wacana PPN sembako dan pendidikan ini juga dirasa tidak tepat ketika masyarakat tengah mengalami kesulitan ekonomi akibat wabah corona. Sehingga seharusnya pemerintah mengedepankan prinsip keprihatinan ekonomi publik dan asas keadilan dengan justru mendorong adanya kenaikan pajak penghasilan (PPh) untuk orang kaya. Salah satunya melalui kenaikan PPh pribadi orang kaya 35 persen, dibarengi dengan penurunan PPh badan/perusahaan dari 25 persen menjadi 10-15 persen (liputan6.com, 12/06/2021).

Rezim Semakin Kehilangan Kepercayaan Publik

Fadhil Hasan, seorang ekonom senior, menyoroti polemik ini dengan menyatakan pemerintah Jokowi sering lupa pada penerbitan kebijakan akhir-akhir ini bahwa setiap kebijakan memerlukan kepercayaan publik. Revisi KUP apa pun tidak akan bisa berjalan efektif ketika trust kepada pemerintah sangat lemah. Penolakan dari berbagai kalangan terhadap PPN sembako dan pendidikan ada lantaran rakyat sudah tidak percaya dengan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, tidak sensitif dan memunculkan kontroversial. Sebagaimana isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), rencana impor beras, pembatalan haji, hingga anggaran alat utama sistem senjata (alutsista) berjumlah ribuan triliun rupiah dan lainya (liputan6.com, 12/06/2021).

Anehnya, Payung hukum tarif PPN ini yang harusnya cukup melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK), namun menggunakan revisi undang-undang yang merupakan dasar hukum yang lebih tinggi dari PMK. Dengan lewat PMK lebih tepat karena bersifat fleksibel dan bisa menyesuaikan dengan kondisi perekonomian terkini. Sehingga naik turunnya pajak tidak membutuhkan keputusan politis lewat undang-undang. Seolah-olah PPN sembako ini, harus berlaku selamanya jika tidak ada revisi UU baru.

Biaya Hidup Semakin Sulit dengan Ketimpangan Kebijakan

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menunjukkan penolakan atas rencana pemerintah untuk mengenakan bahan pangan pokok sebagai objek PPN. Bahkan, menolak jika dengan besaran tarif 1 persen sekali pun. Ia memandang efek dari pengenaan tarif PPN terhadap kelompok sembako mana pun akan mengakibatkan adanya penyesuaian harga. Akhirnya, membebani masyarakat sebagai konsumen. Apalagi konsumen masih menanggung sejumlah permasalahan terkait sembako seperti tingginya biaya logistik hingga distribusi yang tidak merata (cnnindonesia.com, 10/6/2021).

Penambahan biaya akan menjadi tambahan beban berat bagi masyarakat dan kemudian memukul daya beli ekonomi Indonesia. Pemerintah harusnya fokus memperbaiki sistem logistik supaya lebih efisien sehingga memunculkan pemerataan distribusi. Dengan pemerataan distribusi, masyarakat akan mendapatkan manfaat berlimpah dengan penurunan harga dan ketersediaan pasokan bahan pangan.

Rencana PPN atas sembako juga dinilai tidak manusiawi. Pajak sembako akan memunculkan tidak hanya kenaikan harga sembako juga adanya distorsi pasar, menciptakan ketidakadilan dan ketidakseimbangan di pasar.

Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional memperkirakan penerapan PPN Sembako akan membuat para petani dan nelayan merugi. Sebab, pengenaan PPN itu akan membuah harga komoditas naik dan permintaan di pasar turun.  Harga naik akan berimbas kepada konsumen sehingga mengurangi pembelian produk yang harganya tinggi dan bisa berdampak sangat signifikan bagi pemasaran produk hasil bumi petani.

Munculnya pajak ini menunjukkan semakin menunjukkan perbedaan kebijakan pemerintah atas masyarakat kaya dan miskin. Pasalnya, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan gratis pajak berupa relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi mobil baru. Apalagi, pemerintah juga berencana melakukan tax amnesty jilid II. Sehingga, orang kaya akan kembali menikmati pengampunan pajak. Dengan relaksasi pajak pembelian mobil dan tax amnesty ini, orang kaya banyak diberikan kemudahan pajak. Sedangkan beban rakyat biasa untuk membeli bahan pokok nantinya bertambah.

Pendapatan Negara dalam Islam Bukan Hanya Pajak dan Utang

Kalau melihat instrumen fiskal APBN di sisi pendapatan, lebih dari 75% pendapatan negara berasal dari perpajakan. Sehingga pemerintah akan mengupayakan pelayanan kepada masyarakat untuk meningkatkan kepercayaan sehingga semakin sadar memenuhi tanggung jawab perpajakan.

Secara umum, APBN 2020 Indonesia mengalami defisit Rp 956,3 triliun atau setara dengan 6,09% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini lantaran penerimaan negara yang jauh lebih kecil dari belanja negara. Penerimaan negara pada 2020 sebesar Rp 1.633 triliun dan belanja negara mencapai Rp 2.589 triliun. Sedangkan APBN tahun 2021 ini naik mencapai 2.750 triliun rupiah untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi dan penguatan reformasi pasca pandemi. Berikut perincian APBN 2021 senilai 2.750 triliun tersebut: 1. Bidang pendidikan Rp550 triliun 2. Bidang Kesehatan Rp169,7 triliun 3. Bidang perlindungan sosial Rp408,8 triliun 4. Bidang Infrastruktur Rp417,4 triliun 5. Bidang ketahanan pangan Rp99 triliun 6. Bidang Pariwisata Rp14,2 triliun 7. Pembangunan TIK Rp26 triliun (bisnis.com, 2/12/2020).

Kenaikan rencana belanja negara dan defisit anggaran akan mendorong pada peningkatan utang atau pajak. Padahal utang pemerintah terus mengalami kenaikan. Hingga Februari 2021, utang pemerintah sudah mencapai Rp6.361 triliun. Bahkan ekonom Awali Rizky memperkirakan utang pemerintahan akan kembali membengkak di akhir tahun 2021 dan bisa menembus angka Rp7.252 triliun (pikiran-rakyat.com, 6/05/2020). Sedangkan pada sektor pajak, pemerintah akan mencari dari pajak sembako dan Pendidikan, bahkan pajak untuk melahirkan. Sempurna lah kehidupan masyarakat akan semakin membengkak, mau sekolah biaya semakin mahal, mau makan harga sudah tinggi dan mau melahirkan juga sudah menanti biaya besar yang harus dikeluarkan.

Di negara kapitalis mana pun tidak menganggap pendapatan lain yang lebih besar dari perpajakan yaitu pengelolaan sumber daya alam. Di Indonesia saja, kekayaan alam banyak diserahkan kepada swasta dan asing dari kalangan orang kaya yang diberikan kemudahan pajak itu. Padahal, kekayaan alam merupakan bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini harus dikelola oleh negara dengan serius. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum, masyarakat keseluruhan. Islam telah melarang pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing yang keuntungannya hanya untuk segelintir orang.

Di tambang terbuka Grasberg Papua saja, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum memproyeksikan puncak pendapatan finansial PT Freeport Indonesia akan terjadi pada 2021 dengan nilai USD 9,121 miliar atau setara Rp 133,2 triliun. Sedangkan Indonesia memiliki ratusan bahkan bisa jadi ribuan wilayah tambang dengan berbagai hasilnya karena banyak wilayah belum ada penelitian mendalam tentang potensi sumber daya melalui penelitian geologi. Apalagi jika dibicarakan kekayaan alam Indonesia lainnya yang menyebabkan negeri Indonesia bisa menjadi negara besar, baik dari lautnya, minyaknya, pertaniannya dan lainnya.

Lagi pula, di dalam Islam perihal pajak merupakan perkara berat yang terkait dengan hak atas harta.  Harta sendiri hal yang sangat dilindungi, dan tidak boleh diambil oleh siapa pun tanpa haknya. Meskipun tujuan pajak itu baik, tapi pemerintah tetap tidak boleh mengambil pajak dari rakyat, kecuali jika rakyat berinfak secara sukarela. Pajak di sini merupakan pungutan wajib yang biasanya berupa uang dan bersifat memaksa dengan tempo terus menerus. Sehingga Jika rakyat tidak sukarela, maka status pemungut pajak adalah perampok atau perampas atas harta. Perbuatan ini sama halnya dengan al-mukus di era Nabi, yaitu pemungut cukai atau pajak jalanan. Negara hanya boleh mengambil harta rakyat secara paksa dalam hal zakat, jizyah, kharaj, dan beberapa hal lain yang diatur oleh syariat Islam.

Secara hukum Syariah, Pajak (dzarabah) bisa diterapkan jika ada dalam keadaan mendesak atau temporal saja baik sedang krisis atau tidak, di mana Negara tidak ada dana. Kewajiban ini hanya diberlakukan kepada warga negara yang kaya saja. Dengan tujuan Sehingga diharapkan kaum Muslim akan berlomba-lomba membayar pajak sebagai salah satu bentuk perjuangan dan jihad mereka dalam mengatasi beban bersama.

Islam sebenarnya memiliki opsi normal dalam pengaturan harta, misalnya salah satunya dengan mewajibkan zakat bagi orang-orang yang sudah terpenuhi ketentuan mengenai zakat. Namun bisa saja terjadi kondisi di mana zakat tidak lagi mencukupi pembiayaan negara, maka pada saat itu diperbolehkan memungut pajak dengan ketentuan-ketentuan yang sangat tegas dan diputuskan oleh ulama.

Potensi zakat di Indonesia saja sangat besar. Berdasarkan data outlook zakat Indonesia tahun 2021, potensi zakat Indonesia sebenarnya mencapai Rp327,6 triliun. Angka besar ini terdiri dari zakat perusahaan (Rp144,5 triliun), zakat penghasilan dan jasa (Rp139,07 triliun), zakat uang (Rp58,76 triliun), zakat pertanian (Rp19,79 triliun), dan zakat peternakan (Rp9,52 triliun). Namun, riset Badan Amil Zakat Nasional menunjukkan realisasinya baru mencapai Rp71,4 triliun. Bahkan, lebih dari 85 persen dari zakat yang terkumpul masih dilakukan melalui Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) tidak resmi. Lagi pula data ini, hanya Indonesia saja bagaimana jika seluruh negeri muslim bersatu dalam kesatuan politik Negara Khilafah Islam. Dengan sumber pendapatan negara lain yang variatif, akan menjadikannya Negara besar dan berkuasa tanpa mencekik rakyatnya.

 

Wallahua’lam bishawab.

Dari Berbagai Sumber.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *