RASISME. Disparitas si Hitam dan si Putih

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ayla Ghania (Pemerhati Sosial)

Modernisasi sebuah negera ternyata tidak mampu menghapus Rasisme. Amerika Serikat sebagai negara modern ke-2 setelah Jepang, masih bercokol Rasisme disana. Di Tahun 2020 ini, muncul kasus penembakan Ahmaud Arbery oleh mantan polisi Gregory McMichael dan putranya Travis McMichael. Kasus kekerasan oknum polisi Derek Chauvin terhadap George Floyd disusul penembakan terhadap Rayshard Brooks oleh perwira Polisi Atlanta. Adalah tiga dari deretan kasus kekerasan dan pembuhunan, dimana pelaku dari ras kulit putih dan korban dari ras kulit hitam.

Kasus kematian Floyd sendiri menciptakan gelombang demonstrasi di beberapa Negara. Di Amerika, demonstrasi berbuntut kerusuhan dan penjarahan akibat bentrok pendemo dengan aparat. Miris. Kasus yang bermula dari dugaan Floyd menggunakan uang palsu saat membeli rokok. Cauvin datang menyerang dan menginjak leher Floyd dengan lutut hingga kesulitan bernafas dan berakhir dengan kematian. Haruskah Floyd mendapat hukuman mati atas dugaan penggunaan uang palsu US$20?

Tak bisa dilupakan bahwa isu rasial memiliki sejarah panjang di Amerika. Dunia mengingat Marthin Luther King sebagai orator pejuang kesetaraan dan keadilan rasialisme. Dalam perjuangannya, King harus keluar masuk penjara dan hidupnya berakhir tragis. King telah memperjuangkan hak warga kulit hitam dalam hal kesetaraan upah, kondisi kerja, perumahan pantas huni, jaminan usia tua, asuransi kesehatan, jaminan pendidikan sampai hak mendapatkan rasa hormat di masyarakat.

Beberapa tahun setelah pidatonya “I Have a Dream”, King dibunuh oleh suprematis kulit putih bernama James Earl Ray pada tahun 1968. King dibunuh saat memimpin demo menuntut kesetaraan hak pekerja pemungut sampah di Memphis (Liputan6.com, 10/3/2018). Nampaklah bahwa perjuangan penghapusan diskriminasi rasisialisme bukanlah perjuangan “kaleng-kaleng”.

Perlakuan diskriminasi warga kulit hitam tidak bisa dipisahkan dari sejarah perbudakan di Amerika. Ada stigma negatif yang dilekatkan pada ras kulit hitam, yaitu : miskin, malas, bodoh, dan kriminal. Stigma negatif ini menjadikan peluang untuk mendapatkan lapangan kerja sangat kecil. Tentunya, pekerjaan seseorang akan mempengaruhi tingkat pendapatan yang berkaitan pula pada kesempatan pendidikan tinggi, kualitas kesehatan dan perumahan.

Secara umum, warga kulit hitam tinggal di kawasan pemukiman yang kurang baik dibanding warga kulit putih.

Euforia terpilihnya Barack Obama sebagai presiden pertama Amerika pernah memberikan asa akan hilangnya rasialisme. Namun asa melayang serasa mau putus. Isu rasialisme tetap bertahan dan menciptakan disparitas bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan hukum (perlakuan aparat kepolisian dan pengadilan). Jika ada yang menyebut pelaku kejahatan lebih banyak dilakukan warga kulit hitam, maka tidak bisa kita pisahkan dari disparitas tadi. Dan akhirnya justru nampak, warga kulit hitamlah yang lebih banyak menjadi korban kejahatan.
Rasisme juga terjadi di sebuah negeri yang memiliki semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Indonesia dengan 17.000 pulau, bermacam Suku, Agama, Ras dan Adat Istiadat belum juga mampu tuntas mengatasi masalah Rasisme. Bahkan, tokoh Nasional sekelas Natalius Pigai saja sering dijuluki monyet. Pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada tanggal 16 dan 17 Agustus 2019 atas tuduhan pelecehan bendera Merah Putih. Pengepungan oleh beberapa ormas, TNI, Polisi dan Satpol PP sempat keluar cacian bernada rasis (cnnindonesia.com, 19/8/2019).

Aparat menembakkan gas air mata untuk memaksa mahasiswa keluar. Kasus pengepungan dan penahanan 43 mahasiswa berbuntut kerusuhan, pembakaran gedung DPRD dan fasilitas umum di Manukwari dan Jayapura pada tanggal 19 Agustus. Sebanyak 7 pemuda saat ini sedang menjalani masa persidangan di Pengadilan Tinggi Balikpapan menjadi tahanan politik (tapol). Mereka dituntut 5-17 tahun penjara karena dianggap sebagai dalang terjadinya demonstrasi besar-besaran.
Menunggu sidang putusan 7 tapol pada tanggal 17 Juni, terjadi aksi solidaritas serentak di beberapa daerah yakni Jakarta, Malang, Bandung, Yogyakarta, bogor dan Balikpapan. Mereka menuntut pembebasan 7 tapol di Balikpapan tanpa syarat, tarik militer dari Papua dan memberikan akses jurnalistik asing di Papua (cnnindonesia.com, 15/6/2020). Dalam orasi mereka menyatakan tidak semua orang yang ditahan terlibat dalam aksi.

Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni yang dituntut 17 tahun penjara sedang bercocok tanam saat terjadinya aksi.

Papua dengan cadangan Sumber Daya Alam yang luar biasa masih menjadi provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah. IPM diukur dari aspek panjangnya umur dan hidup sehat, pendidikan dan standar hidup layak. Disparitas masih nampak pada bidang pembangunan, ekonomi, pendidikan, dan hukum. Kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan memperparah tuntutan disintegrasi, sungguh dibutuhkan real solusi.

Sejak ribuan tahun lalu, Islam datang menghilangkan perbudakan dan rasisme. Bilal bin Rabbah seorang budak hitam milik Umayah, sebelum dibebaskan selalu mendapat perlakukan keji dari majikannya. Melihat keteguhan Bilal dalam mempertahankan Islam, Abu Bakar Ash Sidiq tergerak hatinya untuk membebaskan Bilal dengan membayar harga 3 kali lipat. Bilal mendapat tempat istimewa di hati Rosulullah dengan menunjuknya sebagai muadzin pertama ketika masjid Nabawi selesai dibangun. Allah SWT berfirman :

خَبِيْرٌ عَلِيْمٌ اللّٰهَ نَّ اِ ۗاَتْقٰىكُمْ اللّٰهِ عِنْدَ اَكْرَمَكُمْ اِنَّ ۚلِتَعَارَفُوْا وَّقَبَاۤىِٕلَ شُعُوْبًا وَجَعَلْنٰكُمْ وَّاُنْثٰى ذَكَرٍ مِّنْ خَلَقْنٰكُمْ اِنَّا النَّاسُ يٰٓاَيُّهَا

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. al-Hujurat: 13)

وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS Al Baqarah : 221).

Rasisme muncul akibat dari perasaan diri lebih unggul, lebih hebat dan lebih mulia dari yang lain. Menganggap ras kulit putih lebih mulia dari ras kulit hitam. Islam menentukan standar kemuliaan seseorang bukan dinilai dari ras tertentu. Bukan dilihat dari warna kulit, warna/bentuk rambut, warna mata, bentuk badan, bentuk hidung ataupun struktur wajah. Perbedaan manusia yang nampak dari segi biologis adalah ketetapan Allah SWT.

Kelak di hari penghisaban, manusia tidak dimintai pertanggungjawaban kenapa kulitnya hitam, rambutnya kribo ataupun hidung pesek. Sikap kita terhadap ketetapan Allah tadi, cukup dengan sabar dan syukur. Hikmahnya, kita tidak perlu stress, membuang energi, fikiran dan uang untuk merubah apa yang telah menjadi ketetapan-Nya. Standar mulia dalam Islam dinilai dari keimanan dan ketaqwaan seseorang, yaitu menjalankan setiap Perintah dan menjauhi segala Larangan-Nya.

Oleh karena itu, setiap Warga Negara dalam Islam memiliki kedudukan yang sama. Jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok seperti pangan, papan, lapangan pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan keadilan didepan hukum menjadi kewajiban Daulah Islam tanpa membeda-bedakan ras tertentu. Kesetaraan dan keadilan hanya bisa terwujud jika syariat Pencipta, Allah SWT diterapkan secara kaafah dalam bingkai Khilafah. Wallahua’lam bish showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *