RAPOR MERAH PEMBERANTASAN KORUPSI BUKTI BOBROK DEMOKRASI

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Fenti Fempirina K., S.Pd

 

Indonesia sudah 76 tahun merdeka, namun rapor pemberantasan korupsi masih merah menyala. Sepanjang tahun 2021 saja tercatat sedikitnya 101 kasus korupsi telah ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menjerat 116 tersangka. Selain itu, KPK mengaku telah mengantongi 3.708 laporan dugaan korupsi sejak Januari hingga November 2021 (liputan6.com,20/12/21).

Beberapa kasus korupsi yang ditangani oleh KPK juga menjerat para pejabat kepala daerah mulai dari bupati/wali kota hingga gubernur. Salah satunya adalah Nurdin Abdullah, mantan gubernur Sulawesi Selatan yang ditangkap karena dugaan suap sebesar Rp 2 miliar dari kontraktor untuk proyek barang, jasa dan pembangunan infrastruktur di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Tak hanya Nurdin, kepala daerah lainnya yang terjerat kasus korupsi adalah mantan Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat, mantan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin, Mantan Bupati Kuantan Singingi Andi Putra, dan Mantan Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono yang diduga menerima suap atas pengadaan proyek pembangunan infrastruktur di Kabupaten Banjarnegara sebesar Rp 2,1 miliar.

Walau Presiden Joko Widodo menyebut korupsi sebagai extraordinary crime alias kejahatan luar biasa, namun hukuman yang diberikan pada para tikus berdasi tersebut belumlah memberikan efek jera. Bahkan, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari menilai peradilan Indonesia tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi). Hal ini dapat dilihat dari maraknya pemberian diskon hukuman dan mudahnya pemberian remisi bagi para koruptor. Sebutlah misalnya Djoko Tjandra yang masa hukumannya disunat dari 4,5 tahun penjara menjadi 3,5 tahun penjara. Ada pula Jaksa Pinangkiyang  dijatuhi hukuman 10 tahun namun mendapat diskon besar-besaran menjadi 4 tahun penjara. KPK mencatat sepanjang 2019-2020 ada 20 koruptor yang mendapatkan keringanan masa hukuman (kompas.com,2/8/21).

Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, maraknya diskon hukuman yang diberikan oleh lembaga kehakiman menunjukan kebobrokan penegakkan hukum di Indonesia. Ia mengatakan bahwa saat ini lembaga penegak hukum dan lembaga kehakiman tak lagi berpihak pada korban, namun telah bertransformasi menjadi kuasa hukum dari para pelaku korupsi. Hal inilah yang pada akhirnya akan membuat masyarakat menjadi putus asa terhadap penegakkan hukum di negeri ini.

Sistem Demokrasi Menyuburkan Korupsi

Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 berada di skor 37 di peringkat 102 dari 180 negara yang dilibatkan. Dari skor IPK tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tindakan korupsi di Indonesia masih sangat marak terjadi bahkan telah membudaya dalam masyarakat kita. Perilaku korup begitu mudah dijumpai dalam berbagai institusi. Dengan memperhatikan hal tersebut, korupsi saat ini tak bisa dianggap hanya sebagai permasalahan personal, melainkan harus dipandang sebagai permasalahan sistemik yang membutuhkan solusi sistemik pula.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya  Andries Lionard menyatakan bahwa sistem demokrasi yang berbiaya tinggilah yang menjadi penyebab utama seorang kepala daerah melakukan korupsi. Dengan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan dalam pemilu presiden, pemilu legislatif dan pemilihan kepada daerah, tidak mengherankan jika saat para politisi dan pejabat tersebut terpilih yang mereka pikirkan pertama kali adalah bagaimana caranya untuk mengembalikan ongkos kampanye yang telah mereka keluarkan. Belum lagi jika dana kampanye berasal dari “sponsor”, akan sangat memungkinkan terbukanya peluang penyalahgunaan kekuasaan untuk mengakomodasi kepentingan pihak sponsor tersebut. Keterlibatan para pengusaha dalam pembiayaan politik para politisi ini dikhawatirkan akan menyandera regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa.

Inilah lingkaran setan sistem demokrasi yang berperan besar dalam menyuburkan praktik korupsi. Lambat laun umat akan terbiasa hidup di tengah kultur politik yang kotor, terbiasa dengan aktivitas suap-menyuap yang dilakukan oleh para politisi oportunis dan para oknum pejabat. Untuk menghentikan praktik kotor ini, yang dibutuhkan bukanlah solusi parsial namun solusi dan perubahan mendasar. Akidah sekulerisme yang menjadi asas politik demokrasi harus dibuang dan diganti dengan asas Islam. Begitu pula dengan cara pandang yang menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan harus diubah menjadi keterikatan dan ketundukan total pada hukum syariah. Ditambah dengan penegakkan hukum yang tegas dan memberikan efek jera sebagaimana yang digariskan oleh sistem uqubat (sanksi) Islam, hal hal tersebut akan mampu menutup celah bagi praktik korupsi. Wallahu’alam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *