Ramai Artis dan Pejabat Mendaftar Caleg Hingga Mundur Dari Jabatan, Demi Apa?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Ramai Artis dan Pejabat Mendaftar Caleg Hingga Mundur Dari Jabatan, Demi Apa?

Oleh Bella Carmila

(Aktivis Muslimah)

Kegaduhan pemilu 2024 sudah mulai menghampiri. Dari ribuan nama dan beragam latar belakang yang didaftarkan, ternyata banyak sekali yang berstatus sebagai kepala daerah maupun wakil kepala daerah. Ini menyebabkan banyak pemimpin daerah yang mundur dari jabatannya. Mereka rela mengorbankan jabatannya demi masuk nominasi “bergengsi” itu.

Nama-nama kepala daerah yang sudah mendaftar di KPU antara lain Bupati Lebak Iti Jayabaya, Wali Kota Palembang Harnojoyo dari Partai Demokrat, Wali Kota Parepare Taufan Pawe dari Golkar, Wali Kota Lubuklinggau SN Prana Putra Sohe, dan Wakil Wali Kota Ternate Jasri Usman dari PKB (tirto.id, 25/05/2023).
Kemudian ada Wali Kota Jambi Syarif Fasha dari Partai Nasdem, Wakil Bupati Lingga Neko Wesha Pawelloy dari Perindo, Bupati Tanah Laut Sukamta, Bupati Merangin Mashuri, dan Wakil Bupati Merangin Nilwan Yahya, serta Wakil Wali Kota Serang Subadri dari PPP. Nama-nama tersebut masih belum final. Kemungkinan masih akan ada lagi kepala daerah yang menyusul (tirto.id, 25/05/2023).

Selain kepala daerah, ada sembilan nama dari kalangan pejabat negara yang saat ini menduduki posisi menteri, wakil menteri, atau kepala badan dicalonkan oleh partainya untuk duduk di DPR RI. Bahkan sejumlah partai politik berbondong-bondong mendaftarkan kader mereka dari kalangan artis.

Partai NasDem, misalnya, mengajukan delapan pesohor dengan latar belakang penyanyi seperti Annisa Bahar dan Reza Artamevia, pemain sinetron Ali Syakieb dan Nafa Urbach, presenter Choky Sitohang dan Ramzi, dan tak ketinggalan musisi Didi Riyadi serta Diana Sastra. Selain NasDem, PDI Perjuangan juga sama. Partai ini mencalonkan 14 publik figure, di antaranya musisi Once Mekel dan Marcel Silahaan, pelawak Denny Cagur, budayawan Taufik Hidayat Udjo, pembawa acara Tamara Geraldine, dan penyanyi Sari Koeswoyo. Ada pula politisi petahana yang juga artis yakni Krisdayanti, Rieke Diah Pitaloka, dan Rano Karno (bbc.com, 25/05/2023).

Hiruk pikik pencalonan caleg menunjukkan betapa posisi sebagai anggota dewan sangat menggiurkan hingga rela meninggalkan amanah yang telah diemban. Dengan mundurnya para pemimpin daerah maupun menteri dari amanahnya, rakyat justru dirugikan. Sebagaimana penjelasan Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono, “Mundurnya para kepala daerah merugikan bagi masyarakat. Ia beralasan, para kepala daerah yang mundur akan digantikan pelaksana tugas (Plt). Akan tetapi, Plt tidak bisa mengambil kebijakan strategis.

Meski potensi kerugian bagi rakyat sangat besar, mundrunya pemimpin daerah seperti ternyata legal menurut undang-undang. Menurut Pasal 182 huruf k dan Pasal 240 Ayat (1) huruf k Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, “Kepala dan wakil kepala daerah yang mendaftarkan diri sebagai calon legislatif (caleg) tingkat DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dan, Dewan Perwakilan Daerah (DPR) di Pemilu 2024 harus mengundurkan diri dari jabatan mereka”. Jadi, pemilu untuk anggota legislatif ini diwarnai dengan aksi para kepala maupun wakil kepala daerah yang mundur dari jabatan karena maju pileg.

Sementara itu, caleg dari kalangan artis digunakan parpol sebagai pendongkrak suara. Pengamat politik menyebutkan keputusan partai politik mengusung artis sebagai calon anggota legislatif pada pemilu 2024 masih dilandasi “nafsu untuk mendongkrak jumlah kursi di parlemen” ketimbang memperkuat kerja-kerja legislasi. Padahal mereka tidak cukup menonjol dalam mengemukakan gagasannya di parlemen.

Realita perebutan kekuasan seperti yang terjadi saat ini adalah cerminan kekuasaan adalah cerminan kekuasaan sistem demokrasi sekulerisme. Sistem demokrasi yang berakidah sekulerisme membuat manusia berdaulat atas hukum. Alhasil, hukum akan diserahkan kepada manusia yang sangat subjektif. Melalui kebijakan yang dibuat para wakil rakyat, membuka pintu lebar-lebar bagi para pemimpin daerah untuk meninggalkan jabatannya. Undang-undang memfasilitasi hal itu sehingga mereka mudah untuk meninggalkan amanah. Kondisi ini memperlihatkan kepada kita bahwa aturan bisa dibuat sesuai kepentingan.

Tidak hanya itu, akidah sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan membuat makna kekuasaan sebagai ajang untuk memperkaya diri dan kelompok.

Ada fenomena ingin berkuasa sehingga diberilah aturan untuk memudahkannya. Karenanya, mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan suara mayoritas. Kualitas pemimpin tidaklah diperhitungkan, namun eksistensi caleg lebih diutamakan. Maka tak heran, kalangan artis bisa masuk ke parlemen. Walaupun kapasitas mereka belum sampai tataran level negarawan.
Sangat berbeda dengan negara Islam yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Islam memiliki pandangan khas mengenai kepemimpinan. Rasulullah SAW mencontohkan tentang menjadi pemimpin yang baik. Teladan itu kemudian diikuti oleh para sahabat dan khalifah sesudahnya. Islam mengatur bahwa pemimpin adalah gembala yang akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya, yakni rakyat.

Oleh karena itu, pemimpin wajib menggembala, mengurusi, melindungi, dan mengayomi semua rakyat tanpa terkecuali. Amanah kekuasaan bukan hanya sekedar urusan dunia, melainkan juga urusan akhirat. Rasulullah SAW, bersabda “Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR. Al Bukhari).

Hadist lain pun menegaskan, jika seorang pemimpin lalai dalam tugasnya, berkhianat dalam amanahnya, tidak mengurus rakyatnya dengan baik, tapi justru mengurus kepentingan pribadi. Maka Allah mengharamkan surga baginya. Rasulullah SAW, bersabda “ Tidaklah seorang hamba yang diserahi oleh Allah tugas untuk mengurus rakyat mati pada hari kematiannya, sementara ia mengkhianati rakyatnya, Allah mengharamkan surga bagi dirinya” (HR. Al Bukhari).

Sejarah juga membuktikan bahwa para sahabat tidak berhasrat menduduki kursi kepemimpinan. Mereka paham betapa berat dan konsekuensinya menjadi seorang pemimpin. Umar bin Khathtab ra. Sepeninggal Abu Bakar ra. Berkata,

“Wahai Khalifatullah! Sepeninggalmu, sungguh ini suatu beban yang sangat berat yang harus kami pikul.”

Jadi, ketika mereka dipercaya menjadi pemimpin, mereka akan berhati-hati dan menjalankan amanahnya. Bahkan, mereka meminta rakyat agar tidak sungkan untuk menegurnya. Umar ra. Berpesan,

“Bantulah saya dalam tugas saya menjalankan amar makruf nahi mungkar dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat saudara-saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya demi kepentingan saudara sekalian.”

Dari sini, kita dapat mengerti bahwa Islam tidak akan membiarkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat. Islam juga tidak akan mengizinkan orang yang serakah atau tidak taat syariat menjadi seorang pemimpin. Seperti inilah wujud kekuasaan pemimpin yang lahir dalam sistem Khilafah.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *