RAKYAT DIJADIKAN TULANG PUNGGUNG NEGARA, BUKTI ZALIM NEGERI KAPITALIS

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummik Rayyan (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

Jakarta, CNN Indonesia—Kementerian Keuangan buka suara perihal polemik wacana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan masyarakat, termasuk di antaranya sembako dan sekolah. Rencana kebijakan ini bakal tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Dalam draf revisi UU Nomor 6 yang didapat CNNIndonesia.com, pengenaan pajak itu diatur dalam Pasal 4A. Dalam cuitan di akun @FaktaKeuangan, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari menjelaskan bahwa draf tersebut merupakan wacana ke depan, dan tidak untuk saat ini.

“Draft RUU merupakan wacana ke depan yang melihat perkembangan kondisi ekonomi Indonesia. Jelas belum jadi fokus hari ini, karena Indonesia belum pulih dari Covid-19 dan masyarakat masih harus dibantu,” kata Rahayu, sebagaimana dikutip dari akun @FaktaKeuangan, Sabtu (12/6).

Ia turut meluruskan sejumlah anggapan yang menurutnya salah. Termasuk pengenaan PPN untuk sembako. Menurut Rahayu, pemerintah saat ini sedang fokus menolong rakyat dengan pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, menurut dia, sembako menjadi salah satu objek yang disubsidi oleh dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

“Pemerintah paham sekali sembako itu bahan pokok. Itu sebabnya saat ini jadi salah satu objek yang disubsidi PEN,” tuturnya.

Dalam keterangan lainnya, akun @FaktaKeuangan juga membantah opini yang menyebutkan bahwa pajak mencekik rakyat.

Rahayu menjelaskan, pajak sejatinya menciptakan keadilan dengan sistem gotong royong. Menurutnya, yang mampu membayar pajak, namun kontribusinya rendah, bisa semakin disiplin pajak untuk membantu mereka yang kurang mampu atau rakyat kecil.

Sebelumnya, draf Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) beredar ke publik. Rencana pengenaan PPN terhadap sembako tersebut akan diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU.

Dalam draf aturan tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Dengan penghapusan itu berarti barang itu akan dikenakan PPN.

Selain itu, pemerintah juga menambah objek jasa kena pajak baru yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN. Beberapa di antaranya adalah jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi.

Sudah dipastikan makin banyak rakyat yang menjerit mengungkapkan kekecewaan kepada penguasa. Pada kondisi pandemi seperti sekarang ini yang semua serba sulit, baik dalam mencari pekerjaan atau bertahan dalam kerja, penguasa dengan mudahnya membuat perencanaan untuk mengenakan PPN pada sektor sembako, pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Sudah begitu nampak terlihat bahwa selama ini pemerintah tidak berpihak kepada rakyat, tetapi lebih berpihak kepada para pemilik modal terutama pihak asing. Apalagi subsidi untuk rakyat terus dikurangi, sementara beban pajak atas rakyat makin ditambah. Semua yang menghasilkan keuntungan bagi penguasa maka hal tersebut akan terus diperjuangkan tanpa memikirkan bagaimana nasib rakyatnya.

Beginilah sistem kapitalis yang sudah melekat erat di benak para penguasa, rasa serakah yang tak kunjung terpuaskan inilah yang membuat para penguasa ingin selalu menjadikan rakyatnya sebagai tulang punggung ekonomi negara.

Terkait itu, Baginda Rasulullah saw. telah bersabda: “Tidaklah seseorang diangkat untuk mengurus rakyat, lalu mati, sementara ia menipu (menzalimi) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga” (HR. al-Bukhari).

Di dalam fikih Islam, istilah pajak dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” (Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256). Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “Harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” (al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129)

Dalam APBN Khilafah (APBN-K), sumber pendapat tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.

Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.

Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka Khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya.

Mengenai kewajiban dan pos yang wajib dibiayai, dengan ada atau tidak adanya dana di Baitul Mal, adalah:

a) Biaya jihad: Mulai dari pembentukan pasukan yang kuat, pelatihan hingga pada level tinggi, menyiapkan persenjataan mutakhir, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, sampai pada level yang membuat musuh takut, sehingga pasukan tersebut bisa mengalahkan musuh kita, membebaskan wilayah kita, mengenyahkan cengkeraman kaum kafir penjajah dari negeri kaum Muslim, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Dalam hal ini Allah swt. berfirman: “Berangkatlah berperang, baik dengan ringan maupun berat.” (TQS at-Taubah: 41)

Nabi saw. dalam kondisi sulit pun tetap memberangkatkan Jaisy Usyrah ke Tabuk. Biayanya ditanggung bersama oleh kaum Muslim.

b) Biaya industri perang: Di dalamnya, termasuk industri dan pabrik yang dibutuhkan, agar bisa memproduksi alutsista yang diperlukan. Karena jihad membutuhkan pasukan. Pasukan tidak bisa berperang, jika tidak ada alat utama sistem pertahanan yang canggih dan memadai. Untuk itu, dibutuhkan industri perang.

Dalam hal ini, Allah swt. berfirman: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (TQS. al-Anfal: 60)

c) Pengeluaran untuk fakir, miskin dan ibn sabil. Ini termasuk ashnaf zakat, tetapi jika di Baitul Mal, dana dari pos zakat tidak ada, maka kewajiban tersebut wajib dipikul oleh kaum Muslim, melalui instrumen pajak dan bersifat insidental.

d) Pengeluaran untuk gaji tentara, pegawai negara, hakim, guru, dan semua pihak yang memberikan khidmat kepada negara untuk mengurus kemaslahatan kaum Muslim. Jika dana di Baitul Mal juga tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim, melalui instrumen pajak ini.

e) Biaya pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum, seperti jalan raya, sekolah, kampus, rumah sakit, masjid, saluran air, dan sebagainya, jika semuanya ini merupakan sarana dan prasarana utama. Sebab, jika tidak ada, maka akan menyebabkan terjadinya dharar kepada kaum Muslim.

f) Biaya penanggulangan bencana alam, kecelakaan dan sejenisnya. Jika di Baitul Mal tidak ada dana, dan kaum Muslim tidak bahu membahu menanggulanginya, maka akan menyebabkan terjadinya dharar. Maka, instrumen pajak bisa digunakan untuk membiayai penanggulangan bencana alam, kecelakaan, dan sebagainya.

Inilah kewajiban dan pos yang wajib dibiayai oleh kaum Muslim, baik ketika ada maupun tidak ada dana di Baitul Mal. Maka, ini merupakan kewajiban dan pos yang bisa dibiayai melalui instrumen pajak, meski bersifat insidental.

Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak juga hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Pajak juga wajib diambil darinya. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya.

Dimana cara-cara menghitungnya yaitu:

Pertama, pendapatannya harus dikurangi biaya untuk kebutuhan pokok dan sekunder pribadinya. Kedua, setelah itu dikurangi kebutuhan pokok dan sekunder istri dan anaknya. Ketiga, jika mempunyai orang tua, saudara, mahram yang menjadi tanggungannya, maka dikurangi biaya kebutuhan pokok dan sekunder mereka. Setelah dikurangi semuanya tadi masih ada kelebihan, maka dia menjadi wajib pajak, dan pajak pun wajib diambil darinya.

Dalam hal ini, Nabi saw. bersabda, “Mulailah dari dirimu, maka biayailah. Jika ada kelebihan, maka itu untuk keluargamu.” (HR. Muslim dari Jabir)

Pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Negara Khilafah juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.

Selain itu, Khilafah juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis dan terbaik.

Wallahu a’lam bish-showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *