Oleh : Anisa Yulaifah (Komunitas Penulis Peduli Umat, Kab. Malang)
Baru-baru ini telah resmi dilantik presiden beserta jajarannya. Banyak hal baru yang mengejutkan. Apakah contoh kejutan tersebut? Isu radikalisme seperti menjadi konsen utama pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin. Sejumlah menteri bahkan dengan tegas menyebut bakal fokus bekerja untuk menangkal radikalisme.
Salah satunya Menteri Agama Fachrul Razi. Mantan wakil panglima TNI itu dengan tegas mengakui diberi tugas Presiden Jokowi untuk mencari terobosan dalam menangkal radikalisme. (Harian Aceh Indonesia, 28/10/2019, 01:16).
Mantan Wakil Panglima TNI itu menyebut penggunaan celana cingkrang tak sesuai aturan berseragam di lingkungan instansi pemerintah. Fachrul menyebut lebih baik PNS bercelana cingkrang keluar dari instansi pemerintahan jika tak mengikuti aturan.(cnnIndonesia.com, 31/10/2019, 13:35)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md mengatakan tak menggunakan ciri seperti jenggot dan celana cingkrang sebagai ukuran untuk melihat radikalisme.
Mahfud mengatakan radikalisme tak bisa disamakan dengan Islamisme. Menurut dia, mereka yang percaya Islamisme tetap mengakui Pancasila sebagai ideologi negara. Hanya saja, kelompok Islamisme ini ingin memiliki ciri sendiri.(tempo.co, 29 Oktober 2019, 11:07)
Dapat kita lihat bahwa susunan pemerintahan saat ini yg ditekankan adalah isu radikalisme. Sedangkan masalah yang terjadi pada negeri kita tercinta ini tidak hanya masalah radikalisme.
Sangat nampak sekali bahwa yang disasar adalah umat Islam, melalui ciri-ciri yang beberapa disampaikan para menteri diatas. Padahal umat Islam tidak begitu, betapa banyak diluar sana bahkan di negeri kita sendiri. Ketika muslim minoritas, mereka ditindas dan dibantai, contohnya di Wamena yang lalu. Adakah para pembantai saudara muslim kita di Wamena diberikan label teroris, radikal atau bahkan separatis?
Lalu mengapa yang menjadi fokus pemerintahan ini adalah radikalisme? Bagi tokoh nasional Rizal Ramli, isu radikalisme yang didengungkan pemerintah bukan hal yang aneh. Menurutnya, isu ini akan terus dimainkan dalam setahun pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin.
“Setahun kedepan agaknya akan digoreng terus isu 3R (radikalisasi, radikulisasi & radikolisasi),” sindirnya dalam akun Twitter pribadi sesaat lalu, Minggu (27/10).
Tokoh masyarakat Papua, Christ Wamea, mengingatkan agar pemerintah tidak melulu ‘jualan’ isu radikalisme. Dirinya khawatir isu itu sengaja dimunculkan menutupi masalah yang jauh lebih besar.
Dia mengatakan, sejak pelantikan anggota Kabinet Indonesia Maju pada Rabu (2310) lalu hingga hari ini isu tersebut terus digulirkan. Bahkan isu radikalisme dibicarakan oleh semua anggota kabinet.
“Seakan-akan radikalisme menjadi momok di negeri ini. Padahal yang jadi momok adalah ekonomi yang hancur,” kata Christ Wamena melalui laman resminya pada Ahad (27/10).(Indonesiainside.id, 27/10/2019, 13:26).
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil meminta pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin tidak menjadikan isu radikalisme untuk menghilangkan sejumlah isu krusial yang seharusnya mendapatkan perhatian.
Dia menyatakan bahwa menjadikan isu radikalisme, apalagi hanya ditujukan untuk identitas dan agama tertentu sangat kontradiktif dengan upaya membangun harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.(cnnindonesia.com, 29/10/2019, 21:03).
Banyak hal yang harusnya disoroti oleh pemerintah selain fokus terhadap isu radikalisme. Contohnya hal yang dikeluhkan oleh Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) menyebutkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, seperti tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019, sebagai kado terburuk bagi rakyat Indonesia di Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jilid kedua. (cnnindonesia.com, 30/10/2019, 19:40).
Telah nampak nyata bahwa isu radikalisme sengaja dimunculkan untuk menutupi gejolak ekonomi yang sedang terjadi. Pelemparan isu ini untuk meredam kritik dari masyarakat terhadap kinerja rezim yang mengadopsi sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme yang berkuasa adalah para pemodal, dan para pemodal di Indonesia didominasi oleh kekuatan asing sehingga rezim hari ini lebih pro asing daripada rakyatnya sendiri.
Pada faktanya, kekayaan alam dan cabang-cabang penting bagi negara untuk mensejahterakan rakyat malah banyak dijual pada pihak asing. Pada tempo.co 17 November 2018, 09:41, dalam judulnya “Jokowi Izinkan Asing Kuasai 100 Persen Saham di 54 Industri Ini”. Itu artinya negara berlepas tangan dari pengelolaan yang seharusnya diurus, dan malah menyerahkan kepada asing.
Kepentingan asing berada diatas kepentingan rakyat, sehingga kritik apapun dari rakyat selama itu tidak menguntungkan untuk asing dan para anteknya maka tidak akan diambil. Hal ini membuktikan bahwa kebebasan berpendapat adalah seperti pepesan kosong di negeri ini.
Berbeda dengan sistem Islam, sungguh sistem Islam memberi ruang bagi rakyat untuk mengoreksi penguasa, baik itu secara langsung ke kholifah atau disampaikan kepada majelis umat. Tentu hal ini merupakan cara agar penguasa dalam sistem Islam mampu memperbaiki kinerjanya dan meninjau kembali keputusannya agar sesuai dengan syariat Islam dan tidak mendholimi rakyat.
Salah satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah hadits dari Tamim al-Dari r.a bahwa Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Agama itu adalah nasihat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi saw bersabda: “Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim).
Mengoreksi penguasa atau lebih dikenal dengan muhasabah lil hukam juga termasuk aktifitas yang mulia sebagaimana dalam hadist sebagai berikut :
Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya).
Demikianlah sungguh nyata perbedaan Islam dengan sistem kapitalis demokrasi saat ini yang dipimpin oleh rezim yang represif dan anti kritik.
Sungguh Islam itu agama yang sempurna. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” [TQS.Al-Maa-idah: 3].
Maka sebagai seorang muslim seharusnya menjadikan sistem Islam adalah sistem yang diterapkan. Dengan sistem Islam kaum muslimin bisa mengoreksi penguasa agar kedholiman tidak terjadi, demikian juga tidak ada stigma negatif terhadap masyarakat seperti radikalisme yang menyasar kaum muslimin. []