Radikalisme dan Kegaduhan Negeri Ini

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

Di era Jokowi, terutama setelah kasus penistaan agama oleh Ahok, situasi sosial dan politik begitu gaduh. Rakyat terbelah. Bahkan hampir merembet ke isu SARA. Padahal, urusannya hanya bagaimana hukum itu ditegakkan. Terkesan berlarut-larut karena menyangkut sosok gubernur yang diback up kekuatan besar. Kasus Ahok akhirnya memancing massa.

Untungnya, bangsa ini sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi isu SARA. Bahkan sejak bangsa ini mulai berdiri, isu SARA sudah dapat diatasi. Berkat kematangan para tokoh pendiri bangsa saat itu, rekonsilasi bisa diwujudkan dalam bentuk ideologi bersama yang bernama Pancasila. Pancasila mengakomodir semua paham dan keyakinan anak bangsa di seluruh tanah air.

Pengalaman berharga inilah yang memberi kesadaran ideologis dan kematangan politik bangsa ini untuk menghadapi berbagai persoalan SARA. Kendati ada pihak-pihak yang terus memancing, terutama untuk kepentingan politik dan kekuasaan.

Kegaduhan rakyat memuncak pada pilpres 2019. Dua Paslon yaitu Jokowi dan Prabowo membelah dukungan sedemikian tajam. Jokowi punya semua fasilitas kekuasaan,  Prabowo punya pendukung militan. Perseteruan tidak saja terjadi di media dan medsos, bahkan sebagian dalam bentuk persekusi. Ironis! Lalu, apa akar masalahnya?

Ideologi? Tidak. Semua anak bangsa sepakat bahwa Pancasila adalah ideologi bersama. Perdebatan soal ini sudah diselesaikan oleh founding fathers kita. Karena agama? Juga tidak. Di Indonesia, kerukunan umat beragama tidak diragukan. Semua pemeluk agama hidup damai di negeri tersubur di dunia ini.

Lalu apa faktornya? Pertama, karena narasi politik. Kalimat seperti “aku Pancasila”, “aku NKRI”, “Islam radikal”, “awas ISIS”, “terpapar khilafah”, adalah narasi provokatif yang terus dibiarkan membelah rakyat. Ada yang curiga bahwa narasi-narasi semacam itu sengaja dirawat dan digaungkan supaya rakyat tidak fokus ke persoalan bangsa yang sesungguhnya, seperti ekonomi dan korupsi. Nah loh. Kecurigaan publik muncul karena sudah bosan dan “muak” mendengar narasi-narasi tak berkelas semacam itu. Wajar jika mereka meresponnya secara negatif, karena memang ada kesan kuat isu itu terus digoreng dan dibesar-besarkan.

Soal terorisme dan Islam radikal itu memang nyata adanya. Tak dipungkiri! Tapi toh tidak besar dan berada selalu dalam pantaun dan pengawasan pihak keamanan. Gak perlu dibawa-bawa ke ruang politik dan terkesan diimajinasikan wow. Apalagi jika stigma itu digunakan untuk menyasar aktifis-tokoh yang kritis terhadap -atau berbeda politik dengan- penguasa. Ini akan semakin menambah kegaduhan.

Sederhana kok. Buat konsep definitif dan pasti siapa radikalis itu. Ciri-cirinya seperti apa. Misal, siapa saja yang menggunakan ayat-ayat agama, ideologi dan pasal-pasal untuk melawan aturan atau undang-undang yang berlaku di negeri ini, maka ia adalah radikalis. Atau barang siapa yang menggunakan ayat-ayat agama, ideologi dan pasal-pasal untuk menyerang secara tidak sah terhadap orang/kelompok yang berbeda keyakinan, pendapat atau dukungan politik, maka ia adalah radikalis. Jadi jelas definisinya. Jelas juga batasan-batasannya. Tuangkan dalam undang-undang.  Bukan digoreng sana-sini dalam opini publik yang gak jelas.

Ngono yo ngono, tapi ojo ngono, kata orang Jawa. Jangan keterlaluan membodohi rakyat. Kalau terlalu banyak, mual juga. Rakyat juga sudah lelah dibuat gaduh oleh sikap sejumlah elit yang sibuk cari muka. Kerja ngapa, dari pada ngoceh kesana kemari yang gak jelas, kata orang Betawi.

Kedua, ketidakadilan. Jika tegaknya hukum berlaku untuk semua pihak, tanpa membedakan mana mitra dan mana lawan, mana pendukung dan mana bukan pendukung, maka rakyat akan merasa nyaman. Kepastian dan keadilan hukum akan menyatukan pihak-pihak yang terbelah. Semua akan merasa aman dan nyaman berada dalam satu atap kepastian dan perlindungan hukum. Jangan seperti belah bambu, satu digencet, satunya lagi diangkat. Ya teriak. Digencet itu sakit pak. Terlalu sering digencet, mereka akan cari momentum yang tepat untuk melakukan perlawanan. Itu hanya soal waktu saja. Dan ini bahaya!

Sebaliknya, potret hukum yang bermata dua, timpang dan berat sebelah, akan melahirkan semakin banyak kekecewaan. Kekecewaan ini lahir akibat kecemburuan terhadap mereka yang mendapatkan perlakuan khusus di mata hukum. Situasi seperti ini akan terus melanggengkan rakyat dalam dua kelompok yang terbelah, yaitu kelompok yang kebal hukum dan kelompok yang merasa dikejar-kejar oleh aparat hukum. Dan nampaknya, ini yang paling besar kontribusinya terhadap keterbelahan dan situasi kegaduhan itu.

Ketiga, soal integritas dan kapasitas pemerintah. Soal revisi UU KPK misalnya. Rakyat menganggap pemerintah telah kehilangan komitmen terkait pemberantasan korupsi. KPK fi sakaratul maut, kata Abdullah Hehamahua, mantan penasehat KPK. Gimana gak mati, kewenangannya diambil alih oleh Dewan Pengawas, termasuk penyadapan. Pegawainya di-PNS-kan dan setiap kasus bisa di-SP3-kan. Kira-kira nanti kasus Bank Century, BLBI, e-KTP, Meikarta dan Buku Merah dapat SP3 gak ya? Tanya temen saya. Ya, kita tunggu sama-sama, jawabku agak gak bergairah. Kok gak bergairah? KPK mati, gimana mau bergairah?

Kinerja pemerintah saat ini menuai banyak kritik. Selain soal infrastruktur yang terlalu banyak melibatkan hutang dan ada temuan BPK, ekonomi juga memburuk. Harga berbagai kebutuhan naik, harga beli rendah, dan semakin sulitnya mencari lapangan kerja. Banyak pabrik tutup. Ini langsung menyentuh kehidupan riil yang dirasakan rakyat. Gak perlu teriak kedaulatan pangan dan janji tak akan impor kalau kemudian rakyat hidup dalam keadaan sengsara.

Di sisi lain rakyat melihat gelombang pekerja Asing masuk ke Indonesia dengan gaji jauh lebih besar. Ini tentu semakin membuat rakyat gelisah dan merasa terpinggirkan. Lebih baik ini yang diprioritaskan dari pada teriak-teriak radikal.

Jika tiga hal di atas, yaitu narasi permusuhan ditinggalkan, hukum ditegakkan (law enforcement) dan kesulitan ekonomi diatasi, maka dengan sendirinya tensi kegaduhan akan turun. Masyarakat juga sudah lelah gaduh terus.

Tugas siapa ini? Ya penguasa! Di tangan penguasa nasib rakyat ditentukan. Damai atau gaduh, akan sangat bergantung tidak saja kepada pidato dan janji presiden, tapi lebih kepada niat, integritas dan kemampuan pemegang kekuasaan mengatasi semua persoalan bangsa. Jangan salahkan siapa-siapa, karena penguasa dipilih dan digaji untuk mengatasi ini semua. []

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *