Racun di Balik Jargon, Pemberdayaan Perempuan Solusi Kemiskinan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Aida Al Farisi (Aktivis Dakwah Kampus Makassar)

Si miskin masih mengais rezki, sedang penguasa tidur nyenyak menikmati mimpi. Ini adalah untaian kalimat yang menandakan keresahan hatiku, aksara perlawananku melalui diksi. Tentang negeriku, negeri Zamrud khatulistiwa. Beragam kekayaan alam tersedia, hingga diibaratkan tongkatpun ditanam akan menuai hasil. Negeri dengan luas daratan 2.000.000 km2 (setara dengan luasnya Belanda, Belgia, Jerman, Perancis, Italia, dan Spanyol jika digabungkan). Negeri dengan luas laut 3.200.000 km2. Negeri disebut surganya dunia. Tapi rakyat tak merasakannya, hanya sebagian kecil yang menikmatinya. Kekayaan hutan, laut begitu melimpah. Namun ternyata kemiskinan masih menjadi persoalan utama yang mendera negeri ini, dan belum terselesaikan. Kemiskinan masih menjadi teman akrab sang rakyat. Menemani setiap waktu, hingga hadir dalam mimpi masyarakat dikala mata terpejam. Ah kemiskinan.

Dilansir BBC News Indonesia, Puluhan anak tampak antusias membaca buku- buku bacaan di atas teras sebuah rumah di Desa Wanasaba, kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Jika ditotal, setidaknya terdapat 40 orang anak usia sekolah, sebagian besar anak- anak yang ditinggalkan oleh ibu dan bapak untuk mencari nafkah di luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI),05/03/2020. “Kegiatan belajar ini dapat menjadi saluran bagusbagi mereka, agar mereka tidak terlalu bersedih karena ditinggal oleh ibu mereka bahkan kedua orang tua mereka”, ujar Suprihatin.

Berdasarkan penelitian Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) tahun 2015, di desa tersebut terdapat lebih dari 350 anak (0- 18 tahun), yang ditinggal oleh orang tua untuk bekerja sebagai TKI di negara Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan negara- negara Timur Tengah.

Lombok Timur tercatat sebagai kabupaten pengirim tenaga kerja terbesar ke luar negeri. Bupati Lombok Timur Mochammad Ali bin Dachlan mengatakan setiap tahun mereka mengirimkan uang dalam jumlah besar untuk sebuah kabupaten yang miskin. “Pada 2016, jumlah remitensi tercatat RP 820 milliar, belum termasuk uang yang dikirim pulang tanpa melalui bank, misalnya lewat teman atau tetangga yang pulang,” jelasnya dalam wawancara dengan BBC.

Menteri PPN/ Kepala Bappenes Bambang Brodjonegoro mengungkapkan “kalau disetarakan 9,4 juta jiwa. Jadi masih ada 9,4 juta jiwa penduduk Indonesia yang masih terkategori miskin kronis atau sangat miskin,” kata Bambang di ruang rapat Komisi XI DPR RI, Senayan, Jakarta pada Rabu (16/1/2019), tirta.id.

Liputan6.com. Pertemuan Tahunan Data Moneter Internasional 2018 (AMS 2018), yang membahas tentang manfaat ekonomi bagi pemberdayaan perempuan. “Ketidaksetaraan gender mengakibatkan dampak negatif dalam berbagai aspek pembangunan, mulai dari ekonomi, sosial, hingga pertahanan dan keamanan. Beberapa lembaga internasioanal melihat ketidaksetaraan gender memiliki hubungan yang kuat dengan kemiskinan, ketidaksetaraan pendidikan, layanan kesehatan, hingga akses keuangan,” ia menambahkan perempuan harus diberi akses yang sama dengan laki- laki. “Di Kementeriaan Keuangan, kami berusaha mendesain anggaran negara sedemikian rupa untuk mewujudkan anggaran yang responsif gender. Kami ingin perempuan dan laki- laki memperoleh akses, partispasi, kontrol, serta manfaat yang sama dalam pembangunan,” tutur Sri Mulyani, Kamis (2/8/2018).

Dalam mengvaluasi program- program gender pemerintah menggunakan Indeks Pemberdayaan Gender (GEI). Indeks Pembangunan Gender (GDI) Indonesia adalah 92,6 sedangkan GDI dunia rata- rata adalah 93,8. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menempati posisi ke-enam dari semua negara ASEAN. Dilansir jatengprov.go.id, untuk menggenjot penurunan kemiskinan, Jateng membidik pemberdayaan perempuan. Pemprov Jateng “kalau perempuan menikah usia dini, lulusan SMP, bagaimanapun mereka tidak bisa bekerja di formal. Kebanyakan informal. Kemudian cerai dan jadi kepala keluarga,” katanya di sela Rapat Koordinasi Pengarusutamaan Gender (PUG) Tingkat Provinsi di Wisma Perdamaian, Senin (11/2/2019).

Jika melihat penyelesaian masalah kemiskinan dengan jargon kesetaraan gender, memberdayakan perempuan, apakah kemiskinan terselesaikan? Bukankah pengarusutamaan gender justru menghasilkan masalah baru, berupa tidak berfungsinya peran keibuan, anak terlantar, hingga terjerumus dalam berbagai masalah.

Menurut data statistik, jumlah penduduk perempuan di Indonesia saat ini sebanyak 50,3% dari total penduduk. Kondisi ini menunjukan bahwa perempuan lebih banyak dari laki- laki.

Perempuan dianggap bernilai guna ekonomis yang dapat menghasilkan bagi dirinya, keluarga hingga bangsa. Hal itu yang ingin diwujudkan dalam pembangunan bangsa. Sistem kapitalis yang diadopsi di negeri ini, menjadikan perempuan kehilangan peran yang sesungguhnya. Bahkan tak segan- segan untuk dieksploitasi, baik dalam hal finansial, tenaga atau bahkan tubuh perempuan untuk mendapatkan keuntungan materi. Perempuan yang bekerja dan mandiri, dianggap perempuan yang cerdas dan maju.

Inilah opini yang selalu digencarkan oleh feminisme dalam arus deras kesetaraan gender, untuk meracuni pemikiran kaum perempuan di negeri- negeri muslim. Perempuan dalam pusaran arus globalisasi. Globalisasi ekonomi ini diawali dengan adanya pertemuan General Agreement on Trade and Tarrif (GATT) di Maraquesh, Maroko, pada tahun 1993. Kiranya dalam cengkaraman globalisasi di kawasan Asia Tenggara dalam pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar di kawasan ASEAN (sekitar 240 juta jiwa). Sejak didegungkan era “Full Participation Age” perempuan diaruskan secara massif dalam program pemberdayaan perempuan. Maka otomatis perempuan akan terseret dalam pusaran pasar bebas baik sebagai tenaga kerja maupun pelaku usaha ekonomi kreatif dalam UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).

Racun kesetaraan gender di balik jargon pengentasan kemiskinan. Target dari Barat menjadikan perempuan sebagai pasar potensial yang berpengaruh secara signifikan dalam menyokong ekonomi Barat. Logika singkatnya pendapatan keluarga semakin meningkat, otomatis daya belipun akan meningkat. Terwujudlah visi menjadikan perempuan sebagai mesin pencetak uang bagi perekonomian untuk bangsa dan bisnis. Penggiat gender berdalih dengan perempuan bekerja maka akan mandiri dan tak akan terdiskriminasi. Namun sejatinya perjuangan pembebasan perempuan dari himpitan ekonomi hanyalah argumen palsu dan menyesatkan. Dalam dokumen White paper yang dirilis 28 Oktober 2012, dengan tema Australia in the Asian Century menjelaskan alasan utama strategi kebijakan luar negeri Australia merapat ke negara- negara Asia, termasuk Indonesia karena perkiraan 20 tahun ke depan Asiaakan menjadi tuan rumah bagi mayoritas kelas menengah dunia. Pemilihan Indonesia sebagai salah satu anggota G-20 bukan Malaysia ataupun Singapura, tentu memperhitungkan aspek strategis Indonesia. Faktor pasar raksasa bagi para korporasi dan faktor lainnya adalah tersedianya tenaga kerja yang murah termasuk kaum perempuan.

Dalam Islam tak maslah perempuan mempunyai penghasilan sendiri, namun tidak boleh diposisikan sebagai tulang punggung untuk mencari nafkah, dalam keluarga. Adapun jika perempuan terlibat dalam pembangunan bukan berarti perempuan harus keluar dari peran utamanya sebagai pendidik generasi dan manajer rumah tangga.Terbukti ketika Islam berjaya selama 13 abad, kaum perempuan banyak mencetak generasi terbaik, baik sebagai pemimpin, politisi, ilmuwan, hingga negarawan. Sesungguhnya pemberdayaan perempuan tak akan mampu mengentaskan kemiskinan, sebab kemiskinan yang melanda negeri ini adalah kemiskinan terstruktural. Biang keladinya adalah terterapkannya Ekonomi Kapitalisme. Penyelesainnya adalah menghilangkan penyebab utamanya, hapus sistem kapitalis dan ganti dengan institusi Khilafah.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *