Public Distrust, Akibat dari Kebijakan yang Plinplan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Fatimatuz Zahrah  (Mahasiswa Universitas di Surabaya)

 

Pandemi Covid-19 cukup lama bersarang di Indonesia. Negara sudah menerapkan berbagai program untuk mencegahnya, salah satunya yaitu PPKM, isolasi mandiri, dan pemakaman yang sudah distandarisasi untuk mencegah penyebaran virus. Akan tapi, pelaksanaan program-program tersebut menuai perselisihan antara masyarakat dan nakes.

Perselisihan ini melibatkan masyarakat dan tim pemakaman jenazah pasien Covid-19. Terjadi di Desa Jatisari, Kecamatan Pakusari, Kabupaten Jember, Petugas dilempari, dipukul dan dibanting. Warga Desa meminta maaf. Mereka mengakui kesalahannya dan meminta untuk berdamai. Tim pemakaman jenazah yang menjadi korban sudah memaafkan dan memilih untuk berdamai. Sebab, semua orang sedang fokus untuk mencegah penyebaran Covid-19. (Kompas, 23/7/2021)

Dari berita tersebut dapat dikomentari bahwa tindakan masyarakat mencerminkan bahwa mereka tidak percaya (public distrust) dengan kebijakan penanganan jenazah pasien Covid-19. Jika masyarakat percaya, maka mereka tidak akan menyakiti nakes dan mematuhi prosesur pemakaman jenazah Covid-19.

Penyebab masyarakat tidak percaya disebabkan berbagai hal :

Pertama, adanya kebijakan yang terlambat bahkan tidak dilaksanakan oleh negara, seperti peraturan UU No. 6/2018, pasal 55 ayat (1) berbunyi, “Selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.”, tetapi malah membuat peraturan baru bernama PPKM maupun PSBB. Kemudian, negara juga terlambat untuk memvaksin warganya ketika hampir di seluruh negara sudah melakukan program vaksin. Selain itu, negara juga tidak tegas terhadap masuknya WNA India ke Indonesia.

Kedua, masih kurang maksimalnya edukasi tentang pandemi kepada masyarakat. Banyak beredar hoax yang menyerang pemahaman masyarakat bahwa pandemi Covid-19 ini tidak berbahaya dan dibesar-besarkan oleh pemerintah. Padahal pandemi virus ini memang benar adanya, dan berbahaya bagi jiwa apabila tidak ditangani dengan tepat. Sehingga muncullah distrust publik pada negara.

Ketiga, lemahnya penanganan korban, hingga masyarakat mengambil tindakannya sendiri yang berujung konflik antar anggota masyarakat. Masih banyak masyarakat yang menganiaya pasien Covid-19 maupun nakes. Hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari edukasi masyarakat tentang Covid-19.

Inilah ciri khas periayahan masyarakat dari negara sekuler kapitalis. Memang negara sudah memberikan berbagai program untuk menghentikan laju penyebaran Covid-19 ini, akan tetapi masih kurang maksimal. Perekonomian jauh dianggap lebih penting daripada nyawa rakyat karena konsep kesejahteraan dari kapitalisme itu sendiri yaitu kesejahteraan ekonomi yang diukur dari PDB. Padahal kesejahteraan rakyat sejatinya tidak hanya bisa diukur dari materi semata, tetapi diukur dari tingkat kebahagiaan dan kesehatan mental dan fisik (terutama saat pandemi berlangsung).

Di dalam Islam, negara wajib mengedukasi masyarakat secara maksimal. Terlebih sebagai seorang muslim haruslah cerdas secara ilmiah. Setiap nakes yang bertugas diberikan perlindungan sekaligus mengedukasi masyarakat tentang bahaya pandemi. Selain itu negara juga tidak boleh plinplan dalam melaksanakan programnya agar masyarakat percaya dan patuh menerapkan protokol kesehatan. Negara juga harus tegas apabila ada yang melanggar protokol kesehatan, baik itu rakyat, WNA maupun pejabat negara. Wallahu’alam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *