PTM Bukan Hanya Soal Kembali ke Sekolah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ummu Hanan (Aktivis Muslimah)

 

Pro kontra pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) di tengah pandemi kembali mengemuka. Dalam pelaksanaannya terdapat laporan yang menyebut adanya peningkatan jumlah kasus Covid-19 melalui klaster sekolah. Dilansir dari data yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) terdapat sekitar 1.303 sekolah yang menjadi klaster Covid-19 dalam pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas (detik.com, 24/09/2021). Namun demikian, Mendikbudristek Nadiem Makarim menjelaskan bahwa pelaksanaan PTM terbatas tidak akan dihentikan dan hanya akan menutup sementara sekolah telah menjadi klaster hingga kondisi aman.

Beragam sikap bermunculan dalam menanggapi kemunculan klaster sekolah  di saat PTM. Salah satu bentuk sikap ditunjukkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Menurut Komisioner KPAI Retno Listyarti lembaganya tetap mendorong kewaspadaan semua pihak karena sekolah dapat menjadi klaster penularan Covid-19 jika protokol kesehatan banyak dilanggar (rctiplus.com, 27/09/2021). Selain itu juga penetapan prioritas pelaksanaan PTM pada tingkat PAUD/TK dan SD dinilai kurang tepat sebab sebagian besar peserta didiknya belum divaksin serta perilaku anak yang sulit untuk dikontrol. Berbeda halnya dengan segmen SMP, SMA/SMK dan perguruan tinggi yang lebih terkontrol.

Menanggapi kemunculan klaster sekolah pasca pemberlakuan PTM terbatas pemerintah akhirnya menetapkan sejumlah ketentuan. Bentuk ketentuan tersebut bersifat mengikat bagi institusi sekolah manapun yang ingin menyelenggarakan PTM terbatas. Setiap sekolah dalam hal ini wajib memenuhi ketentuan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yakni Kemendikbudristek, Kemenkes, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri. Dalam SKB tersebut termaktub panduan penyelenggaraan pembelajaran di saat pandemi (tirto.id,24/09/2021). Akan ada proses verifikasi yang dilakukan oleh Satgas Covid serta memastikan komitmen sekolah dalam menerapkan prokes.

Kemunculan klaster sekolah penting menjadi perhatan semua pihak. Klaster ini setidaknya menunjukkan bahwa ada potensi besar bagi persebaran wabah melalui pembukaan aktifitas sekolah secara tatap muka. Upaya untuk menghentikan laju pergerakan pandemi dalam lingkup sekolah butuh penanganan ekstra ketat, terarah serta menyeluruh. Penanganan semacam ini tidak cukup hanya dimunculkan melalui himbauan atas penetapan berbagai pasal tanpa diikuti kebijakan tegas oleh negara. Mengapa harus negara? Karena hanya negara yang memiliki kewenangan besar dalam menetapkan kebijakan yang bersifat mengikat bagi warganya.

Penanganan pandemi Covid-19 membutuhkan penanganan menyeluruh yang diinisiasi oleh negara. Negara melalui perangkat pemangku kebijakan wajib memastikan terlaksananya seluruh kesiapan dalam hal mitigasi wabah, mulai dari pencegahan (preventif) hingga pengobatan (kuratif). Pada kondisi pandemi kesigapan dalam melakukan pencegahan merupakan strategi terbaik guna mengerem laju persebaran wabah. Karenanya negara wajib memperhatikan pelaksanaan 3T atau  tracing, testing, treatment). Selain itu negara juga berkewajiban memantau penerapan perilaku 3M, yakni mengenakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak.

Negara selayaknya menghadirkan peran sebagai pengayom rakyat. Dalam pandangan ideologi Islam negara melalui representasi seorang pemimpin adalah penanggungjawab urusan rakyat. Rasulullah Saw dalam salah satu hadits bersabda yang artinya, “Imam  (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al Bukhari). Bentuk tanggungjawab negara adalah dengan memaksimalkan “tupoksi” pengurusan kepada rakyat. Negara wajib menjalankan peran strategis ini kepada individu rakyat dan tidak berlepas tangan. Meski demikian tidak berarti masyarakat menjadi abai tanpa aturan. Disinlah negara berkepentingan untuk mengawal pelaksanaan kebijakan.

Kemunculan klaster sekolah merupakan sebuah pertanda belum efektifnya penanganan pandemi di negeri ini. Kondisi tersebut seharusnya menjadi bahan evaluasi bersama, mulai dari level masyarakat hingga negara. Kasus longgarnya masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan (prokes) tidak dapat dijadikan sebagai penyebab tunggal merebaknya klaster. Ketidakpatuhan masyarakat untuk menaati protokol kesehatan berpulang pada ketegasan penguasa dalam menerapkan aturan. Tidak sedikit kita dapati agenda seremoni pejabat ataupun figur publik yang tidak menerapkan prokes ketat. Di sisi lain masyarakat dituntut untuk taat pada prokes atau ada sanksi yang menanti.

Kebijakan PTM terbatas tidak hanya soal kembali ke sekolah. Terdapat banyak hal dan kondisi yang melingkupi keputusan untuk mengembalikan anak didik ke sekolah mereka di saat pandemi. Pertimbangan atas keselamatan jiwa haruslah berada pada puncak prioritas. Negara dalam hal ini mengampu tugas besar  menjamin keselamatan nyawa masyarakat pada masa pandemi. Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang bagaimana negara mengayomi masyarakat, berperan sebagai raa’in. Karenanya kembali kepada konsep Islam adalah sebuah keniscayaan dalam menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *