Oleh: Susi Firdausa
Pemerhati Generasi (Manajer Training and Consulting IP Malang Raya)
Film drama romantis terbaru Falcon Pictures SIN yang mulai tayang di bioskop Tanah Air pada 10 Oktober 2019. Karya sutradara Herwin Novianto itu dinilai kotroversial oleh warganet karena mengusung tagline “Saat Kekasihmu adalah Kakakmu Sendiri”. SIN mengisahkan hubungan percintaan yang penuh kesedihan antara Metta (Mawar De Jongh) dan Raga (Bryan Domani). Pada awalnya, Raga yang memiliki karakter introver tak tertarik dengan Metta, namun seiringnya waktu mereka menjalin hubungan percintaan. Mereka terpaksa berpisah karena keluarga Raga menentang hubungan tersebut. Ternyata mereka adalah kakak adik yang lama berpisah. (www.republika.co.id, 07/10/2019)
Film ini menambah deretan film yang mewarnai dunia remaja dengan propaganda pergaulan bebas, setelah sebelumnya ada film remaja yang berjudul “Dilan”, Dua Garis Biru, After Met You, dan film-film lain yang sudah tayang. Sungguh ironis, film-film tersebut membuat remaja untuk terjun mencicipi pergaulan bebas. Padahal seperti kita ketahui pada masa remaja dorongan untuk melakukan kegiatan seks sangat kuat. Di usia tersebut, remaja memiliki energi yang sangat kuat. Energi ini membutuhkan penyaluran. Bagi yang imannya kuat, maka ia akan mengalihkan energi tersebut kepada kegiatan positif di lingkungan tempat tinggalnya atau di sekolah. Namun bagi remaja yang tidak kuat iman, maka energi besar dan dorongan seks yang kuat ini akan berusaha mereka penuhi, maka jadilah mereka terjun ke pergaulan bebas dan tidak jarang dari remaja putri yang hamil diluar nikah.
Sungguh sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan. Di tengah upaya penyadaran umat akan hakekat penciptaannya, dan mengembalikannya kepada kesadaran akan keharusan berada di jalan kebaikan (Islam), fakta seperti ini muncul.
Remaja yang sejatinya adalah pewaris bangsa ini telah terjerumus ke kubangan lumpur hitam penuh dosa. Remaja tidak merasa telah kehilangan jati dirinya sebagai ciri kekuatan dan kemudaan, vitalitas dan aktifitas, juga sebagai alat efektif dan berpengaruh dalam membangun masyarakat, pengokoh kekuatannya, dan penyokong kemajuannya dalam berbagai sisi dan bidang pada setiap zaman dan tempat. Pernyataan presiden pertama negeri ini cukup untuk menggambarkannya.
“Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia!” -Ir. Soekarno–
“Seribu orang tua bisa bermimpi. Satu orang pemuda bisa mengubah dunia.” –Ir. Soekarno–
Kondisi remaja yang rusak dalam pergaulan bebas seperti itu sejatinya hanyalah akibat penerapan sebuah sistem kehidupan yang rusak dan merusak di negeri ini dan juga di berbagai negeri lainnya. Para remaja ini adalah korban kebiadaban sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem yang melahirkan budaya liberal (bebas tanpa aturan) yang banyak dianut penduduk di muka bumi ini.
Sistem yang juga melahirkan manusia-manusia egois yang hanya memikirkan urusan dirinya sendiri tanpa peduli akan konsekuensi tindakannya pada orang lain. Wajar saja, di bawah naungan sistem yang selalu berpihak kepada para konglomerat ini, produser film tidak ambil peduli terhadap dampak dari penayangan film tersebut. Urusan pemasukan pundi-pundi lebih menarik hati dan menyita kepeduliannya hingga titik terendah. Sistem jahat itu bernama kapitalisme.
Telah nyata kerusakan dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat, bahkan bernegara, akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Tak ada yang bisa diharap dari sistem ini untuk sekedar hidup dalam keadaan aman dan damai. Maka sudah saatnya kita campakkan sistem yang dibuat oleh kafir barat ini. Saatnya kita kembali ke sistem milik kita sendiri yang sangat jauh berbeda. Sistem yang diturunkan langsung oleh Sang Penguasa Alam Raya ini. Saatnya kembali kepada sistem Islam, sistem Ilahi. Wallahu A’lam. []