Produksi Melimpah, Impor Kok Menggila?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam( Dosen dan Pengamat Politik)

 

Pekerja menumpuk gabah kiriman dari petani di Gudang Perum BULOG di Kampung Legok, Serang, Banten. Sementara pemerintah berencana melakukan impor beras satu juta ton pada awal 2021. Anggota Komisi IV DPR, Johan Rosihan, mengingatkan impor beras tidak boleh dilakukan ketika stok komoditas tersebut dalam keadaan cukup. Juga kebutuhan beras bisa dipenuhi ketersediaannya dari produksi dalam negeri. Johan meminta pemerintah membatalkan rencana impor beras satu juta ton. Alasannya, data ketersediaan stok beras nasional cukup untuk memenuhi kebutuhan beras termasuk untuk kepentingan bantuan sosial maupun cadangan beras pemerintah (CBP).

Ia merinci prognosa ketersediaan beras tahun 2021. Stok akhir Desember 2020 lalu sebesar 6.749.305 ton, kemudian perkiraan produksi dalam negeri tahun 2021 oleh Kementerian Pertanian sebesar 8.263.879 ton. Johan menambahkan jika pemerintah beralasan demi menjaga stok cadangan beras pemerintah, maka hal tersebut juga kurang tepat. Karena data CBP per Januari 2021 di Bulog terdapat stok beras sebesar 977.000 ton dan Februari 2021, Bulog menyerap beras dari petani lokal sebesar 35.000 ton.

Dengan demikian, lanjutnya, maka jumlah tersebut telah memenuhi standar stok CBP minimal satu juta ton. Bahkan neraca stok beras secara nasional saat ini mencapai sekitar 7,5 juta ton beras. Menurut FAO, imbuhnya, idealnya stok beras di suatu negara sekitar 17-18 persen dari total kebutuhan konsumsi beras. Sedangkan angka stok yang kita miliki sekarang sudah di atas rata-rata yang direkomendasikan oleh FAOitu. (republika.co.id. 09/03/2021)

Berita terkait rencana impor beras oleh presiden Jokowi seperti menampar pemerintah sendiri. Pasalnya, Presiden Jokowi baru saja mengajak warga untuk membenci produk luar negeri. Sangat bertolak belakang bukan? Antara seruan menolak impor asing, eh malah yang dikerjakan mengimpor besar-besaran.

Seperti yang disebutkan oleh Johan Rosihan bahwa ketersediaan bahan pangan dalam negeri mencukupi. Bahkan melebihi rata-rata yang direkomendasikan oleh FAO untuk kebutuhan konsumsi. Lalu, jika produksi dalam negeri meningkat, kenapa impor beras malah menggila? Mau dibuang kemana stok beras yang begitu banyak?

Seharusnya dengan stok yang melimpah menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada pangan tanpa impor. Produksi dalam negeri layak untuk dikonsumis secara kualitas. Lagi- lagi pertanyannya, untuk apa impor?

Alangkah baiknya seperti usulan Johan, pemerintah fokus terhadap peningkatan kualitas beras, memberikan kesejahteraan para petani agar mereka bisa menjual gabah mereka ke bulog dengan harga yang layak. Jangan sedikit-sedikit impor, tetapi potensi yang dimiliki negeri sendiri diabaikan.

Indonesia sebagai negara agraris sebenarnya memiliki luas lahan pertanian khususnya persawahan. Bahkan panen raya kerap terjadi hingga produksi surplus. Kulitas beras dalam negeri tidak kalah dengan beras impor yang dimasukkan. Hanya saja, harga beras impor di bawah harga beras lokal yang membuat masyarakat lebih suka mengkonsumsi beras impor daripada beras kampung yang harganya lebih mahal. Apalagi beras adalah kebutuhan pokok yang setiap hari dikonsumsi masyarakat. Tentu saja dibutuhkan terus-menerus.

Pemerintah terlalu gegabah merencanakan impor beras hingga jutaan ton ditengah angka produksi meningkat. Selain menguntungkan para pengusaha beras asing (impor), hal itu akan menekan petani lokal dan mengurangi kesejahteraan mereka. Katanya pemerintah bekerja untuk rakyat, maka saatnyalah janji itu kini direaslisasikan ketika jabatan sedang dipangkuan.

Tetapi kelihatannya, pemerintah lebih mengutamakan realisasi perjanjian perdagangan luar negeri yang sudah disepakati. Maka tidak heran jika banyak impor akan membenjiri negeri. Bukan karena Indonesia tidak punya, melainkan karena jebakan ikatan dari perjanjian kapitalisme global yang hanya membuat Indonesia terus merugi dan semakin terpuruk. Hingga ketahanan pangan pun negara kaya ini bisa kehilangan alias tidak berdaulat.

Indonesia tidak kekuarangan sumber daya alam yang mampu mensejahterakan rakyatnya. Seperti halnya beras yang melimpah hingga ke perbatasan wilayah NKRI, ladang persawahan sangat luas. Andaikan boleh dikatakan, tidak layak satu orangpun kelaparan di negeri agraris ini karena melimpahnya sawah dan poduksi beras. Tetapi itulah permainan kapitalisme yang tidak membiarkan negara cengkramananya menikmati hasil kekayaan alamnya sendri.

Kemandirian pangan atau realisasi swasembada pangan akan terwujud nyata dan adil jika para penguasa negeri ini menerapkan syariat Islam sebagai aturan. Islam memiliki aturan pengelolaan sumber daya alam yang telah terbukti mensejahterakan rakyatnya. Karena penguasa dalam Islam harus bijaksana mengelola pangan dan sumbernya agar tidak ada satupun makhluk hiudp dalam negara itu kelaparan, padahal potensi mencukupi apalagi berlebih.

Ketahanan pangan tanpa impor hanya bisa diambil alih lagi jika perjanjian kapitalisme global diputus. Karena tidak akan menguntungkan untuk Indonesia secara substansi. Namun semakin menjajah Indonesia dari produk-produk impor luar negeri. Wallahu a’lam bissawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *