Problem Pangan Nasional, Islam Solusi Handal

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Sri Wahyu Anggraini S.pd (Guru dan Penggerak Opini Ideologis Lubuklingau)

Kebijakan aneh muncul lagi dari rezim ini, baru-baru ini Presiden Joko Widodo secara resmi telah menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai pemimpin pengembangan proyek lumbung pangan. _”Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk menjadi leading sector pengembangan lumbung pangan nasional.”(https://nasional.kompas.com/read/2020/07/09/19423481/jokowi-tunjuk-prabowo-jadi-leading-sector-lumbung-pangan-nasional)._ Hal ini disampaikan Presiden Jokowi setelah meninjau lokasi pengembangan lumbung pangan nasional di Kalimantan Tengah bersama Prabowo, Kamis (9/7/2020).

Padahal saat ini Prabowo Subianto masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan, tetapi anehnya Joko Widodo meminta Prabowo Subianto menjalankan tugasnya sebagai Menteri Pertanian dan berharap agar cadangan strategis pangan pemerintah dapat terjaga kedepannya dengan dialihkan kepada Prabowo. Akibat ditunjukkannya Prabowo untuk menangani lumbung pangan sehingga mendapatkan berbagai sorotan dan kritikan seolah-olah Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo tidak mampu mengurusi pangan. _”Hal serupa diungkapkan anggota Komisi IV dari PKS, Slamet. Ia mengatakan lumbung pangan seharusnya diserahkan kepada Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. “Cukup kasih target kepada Menteri Pertanian. Kalau tidak tercapai, dengan segala hormat Mentan harus mundur,” kata Slamet kepada wartawan Tirto. Menurutnya, penunjukan ini secara tidak langsung menunjukkan ketidakpercayaan Jokowi kepada Syahrul Limpo.” (https://tirto.id/prabowo-subianto-menhan-rasa-mentan-yang-urusi-lumbung-pangan-fQVc)_

Selanjutnya pakar politik dan hukum dari Universitas Nasional jakarta saiful anam mengatakan pengurusan pangan oleh menteri pertahanan yang seharusnya dilakukan oleh menteri pertanian dapat merusak tatanan ketatanegaraan. Saiful memandang, penunjukan atau penugasan itu menyiratkan seolah Menteri Pertanian tidak maksimal mengurusi pangan.

Penunjukan secara langsung terkesan sangat aneh sebab akan terjadi tumpang tindih tugas antara Menteri. Seharusnya para menteri adalah orang yang harus profesional di bidangnya sehingga keilmuan mereka bermanfaat untuk mengurus keperluan rakyat di negeri ini namun hal ini sudah tidak menjadi rahasia umum di dalam sistem demokrasi bahwa hal utama untuk bisa duduk di kursi menteri yang paling utama bukanlah profesionalitas bidang kepakaran melainkan Berapa besar dana yang dimiliki untuk meraih kursi Menteri. Kebijakan ini juga syarat atas pihak tertentu pasalnya pemerintah dalam membuat badan penyelidik lumbung pangan tersebut dan lembaga ini bekerjasama dengan BUMN untuk mencari pola investasi atau skema lainnya. Karena sudah dari awal kedaulatan dan ketahanan pangan di negeri ini memang sudah sangat lemah, apalagi saat menghadapi wabah. Lalu bagaimana ingin membangun cadangan strategis pangan sementara 22 juta rakyat Indonesia menderita kelaparan kronis dan rawan pangan. _”Sebanyak 22 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan kronis. Jumlah tersebut sekitar 90 persen dari total jumlah penduduk miskin Indonesia, yakni 25 juta jiwa.” (https://www.google.nl/amp/s/beritagar.id/artikel-amp/berita/adb-22-juta-penduduk-indonesia-alami-kelaparan-kronis)_

Kelalaian dan kegagalan Negara yang tidak bisa lepas dari sistem neoliberal kapitalisme yang digunakan untuk mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan. Dimana sistem ini telah melegalkan kapitalisasi pengelolaan pangan sehingga korporasi menguasai mayoritas rantai pasok pangan.

Sementara pemerintahannya hanya sebagai regulator fasilitator yaitu membuat aturan dan kebijakan yang lebih mementingkan korporasi, selain itu Negara juga dinilai gagal dalam memanfaatkan lahan pertanian yang luas untuk memenuhi produksi pangan dalam negeri. Sementara dalam hal distribusi sistem logistik pangan yang tak memadai, lengahnya Negara pada aspek logistik juga memberikan kontribusi pada mahalnya Biaya pengiriman, tidak merata penyebaran pangan di seluruh wilayah karena infrastruktur minim.

Lalu bagaimana sudut pandang Islam terhadap kondisi yang demikian ? Di dalam sistem Islam atau Khilafah, pengaturan produksi dan distribusi mutlak di tangan khalifah atau pemimpin. Sebab negara adalah penanggung jawab utama dalam dalam mengurusi hajat rakyat sebagai Raain (pelayan atau pengurus), Junna (pelindung). Sebab, negara adalah penanggung jawab utama dalam mengurusi hajat rakyat yaitu sebagai raain (pelayan/pengurus) dan junnah (pelindung).

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Muslim dan Ahmad). Dalam hadis lainnya Rasulullah menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya….”(HR Muslim).

Maka dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga. Indonesia harus mewujudkan ketahanan pangan. Syaratnya, sektor pertanian harus mendapat perhatian serius dari Pemerintah, tidak boleh diperlakukan seolah anak tiri. Justru ketahanan negara sangat tergantung pada ketahanan pangan. Apalah guna infrastruktur megah, jika rakyat kelaparan

Oleh sebab itu khalifah akan menunjuk orang yang memiliki kapasitas dan keahlian bidang pertanian yakni sebagai Direktur departemen kemaslahatan umum yang bertanggung jawab langsung kepada khalifah dalam pelaksanaan tugas-tugasnya menjamin kebutuhan setiap individu. Kalifah akan mengatur produksi pangan dan melakukan optimalisasi produksi.

Untuk mewujudkan ketahanan pangan, ada tiga langkah yang harus dilakukan pemerintah : Pertama, Kecukupan Pasokan. Perlu dilakukan perluasan lahan pertanian (ekstensifikasi).

Pemukiman dan industri hanya boleh berdiri di lahan yang tidak produktif. Lahan mati dihidupkan lagi dengan sentuhan teknologi. Warga negara yang ingin bertani namun tak punya tanah diberi insentif berupa lahan untuk digarap. Pemerintah harus punya data akurat tentang kebutuhan pangan nasional sehingga bisa dipetakan daerah yang akan dijadikan lumbungnya.

Kedua, Distribusi yang baik. Pasokan yang cukup harus dipastikan sampai di tangan masyarakat, tidak menumpuk di gudang. Diperlukan upaya pengawasan untuk mencegah penimbunan. Pelaku penimbunan dipaksa untuk menghentikan aksinya, mengeluarkan barang dari gudang dan diberi sanksi yang menjerakan. Praktik monopoli pasar juga dihilangkan.

Ketiga, Daya Beli. Pasokan cukup, barang ada di pasar, maka rakyat didukung untuk mampu membelinya. Upaya menciptakan daya beli yang bagus dilakukan dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Yaitu dengan menciptakan iklim usaha yang bagus dan tersedianya lapangan kerja secara luas. Negara wajib memastikan tiap laki-laki dewasa bekerja mencari nafkah.

Bagi individu lemah (tua, sakit, disabilitas) diberikan santunan oleh negara. Ketahanan pangan ini terwujud sepanjang peradaban Islam (khilafah) berkuasa. Tak hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, khilafah Utsmaniyah bahkan terbukti pernah memberikan bantuan tiga kapal penuh berisi bahan pangan untuk rakyat Irlandia kala dilanda gagal panen tahun 1847. Bantuan pangan ini gratis, bahkan masih ditambah uang 1000 Poundsterling. Sungguh kondisi ketahanan pangan yang luar biasa.

Adapun mekanisme distribusi seluruh rantai pasok pangan akan dikuasai negara meskipun swasta atau korporasi boleh memiliki usaha pertanian namun penguasaan tetap di tangan Negara, Sehingga Korporasi hanya diperbolehkan sebagai penjual di pasar dan penjual di toko-toko makanan. Karena dalam mewujudkan kedaulatan pangan khilafah tidak boleh bergantung pada impor.

Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala Pencipta manusia dan seluruh alam raya.

Wallahu A’lam Bisshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *