Oleh : Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)
“Perbuatan maksiat akan mengundang perbuatan maksiat lainnya, sebagaimana ketaatan akan mengundang ketaatan yang lain.” (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah). Ungkapan ini selaras dengan kondisi negeri kita. Bagaimana tidak, buah pahit dari penerapan kapitalisme merebak hebat.
Seperti yang baru-baru tersiar ialah terkait dispensasi nikah. Diungkapkan Ketua Panitera Pengadilan Agama Jepara, Taskiyaturobihah bahwa ada 240 remaja yang memohon dispensasi nikah dengan 50-an persen hamil terlebih dahulu. Selebihnya karena faktor usia, di mana usianya belum sesuai aturan namun hendak menikah. ( _www.jawapos.com,_ 26/07/2020).
Seperti diketahui bahwasanya ada pelarangan pernikahan dini yaitu tertera dalam Undang-Undang Nomor 16/2019 tentang Perkawinan bahwa batas minimal calon pengantin wanita dan pria berusia 19 tahun. Maka, warga negara yang belum memenuhi syarat ini mesti mengajukan dispensasi nikah jika hendak menikah. Perlu diketahui juga, pada Undang-Undang Perkawinan sebelumnya dinyatakan bahwa batas minimal calon pengantin putri yaitu 16 tahun.
Penulis menduga kuat bahwa pemerintah menilai efektif dengan meningkatkan batas usia pernikahan pada undang-undang revisi untuk mencegah pernikahan dini. Nyatanya, setelah direvisi pun tampak begitu marak remaja memohon dispensasi nikah karena sebagian besar telah terjerumus dalam seks bebas. Hal ini seharusnya menghadirkan tanya di benak kita semua. Mengapa masih saja marak?
Tentu bisa terjawab. Adalah karena kampanye menolak pernikahan dini justru disejajarkan dengan dibukanya pintu seks bebas. Hal ini lugas menggambarkan pemimpin kita saat ini tidak berpikir out of the box. Lebih tepatnya tak memiliki kapasitas mengurusi rakyatnya. Karena jika kita menyelisik lebih jauh, salah satu alasan mengapa pemerintah gigih menolak pernikahan dini ialah karena menghasilkan keluarga yang tidak harmonis. Padahal jelas, usia bukan pokok permasalahan ini. Karena ada begitu banyak kasus rentannya ketahanan keluarga walau menikah di usia dewasa.
Dari kebijakan terkait dispensasi nikah terdapat dua hal yang mesti diangkat. Pertama, dispensasi nikah di mana pemohon menginginkan menikah namun usianya tak sesuai aturan negara. Hal ini menampakkan tak cerdasnya pemerintah dalam membuat kebijakan. Karena seyogyanya mereka yang berencana menikah muda diberi bimbingan agar sesuai syariat. Tetapi hal ini kemungkinan besar tak bisa dilakukan dalam nanungan sistem kapitalisme. Adalah karena paradigma kapitalisme sendiri yang memisahkan agama dari kehidupan yang meniscayakan pemisahan agama dari negara. Kedua, dispensasi nikah karena sudah terjebak seks bebas. Hal ini harusnya menjadi tamparan keras bagi para pembuat kebijakan. _“Kok masih saja membuka keran seks bebas lebar-lebar?”_
Oleh karena itu, jalan terbaik yang dibutuhkan bukan larangan nikah dini dan dispensasi nikah. Lebih dari itu, ialah pemberlakuan sistem _ijtima’iy_ atau sistem pergaulan Islam karena hukum asal kehidupan kaum laki-laki terpisah dengan kaum perempuan. Perempuan dan laki-laki tidak bisa berkumpul, kecuali terdapat suatu keperluan yang diperbolehkan, seperti ibadah haji dan jual beli. Dengan begitu seks bebas bisa dicegah. Apalagi aturan Islam juga komplet dengan adanya ‘uqubat atau sistem persanksian yang memberi efek jera bagi para pelaku maksiat. Tetapi tentu saja, aturan ini hanya akan terlaksana dalam naungan Khilafah.
Perihal pernikahan usia dini, tak masalah dalam sudut pandang Islam. Yang terpenting terpenuhinya syarat dan rukun menikah. Apalagi ditunjang dengan sistem pendidikan Islam yang sedari dini sudah mengajarkan anak-anak untuk taat pada syariat tanpa tapi, termasuk dalam hal pernikahan. Dengan begitu anak-anak sudah paham betul, juga dilatih bertanggung jawab menjalankan kewajiban sesudah gerbang pernikahan. Hal ini tentu membawa dampak positif terhadap ketahanan keluarga. Tak akan rapuh seperti keluarga yang dibangun di sistem kapitalisme, terlebih karena dispensasi nikah akibat seks bebas.
Jelas terlihat kesempurnaan sistem Islam. Berbeda halnya dengan sistem kapitalisme yang membawa kecacatan sedari lahir dengan berbagai problem derivatifnya. Hal ini tentu selaras dengan ungkapan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah bahwa kemaksiatan akan melahirkan kemaksiatan berikutnya.
_Wallahu a’lamu bi ash-shawab._