Problem Buruh Tak Akan Usai dalam Sistem Kapitalisme

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Problem Buruh Tak Akan Usai dalam Sistem Kapitalisme

Oleh Nurfadilah

(Aktivis Muslimah Ciwidey)

 

Terciptanya kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan keluarganya adalah cita-cita buruh sejak masa kolonial dahulu. Dari sejak dulu hingga sekarang ini, peran dari seorang buruh seringkali dikesampingkan dan dianggap tidak penting. Padahal, jika dilihat dari nilai historisnya buruh memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembangunan perekonomian negara khususnya di sektor industri. Tanpa buruh, tidak mungkin proses produksi bisa berjalan dan menghasilkan devisa atau keuntungan bagi negara. Hal tersebut sangat disayangkan, pengabdian mereka selama ini tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan. Karena pemerintah lebih mementingkan kepentingan kaum pemilik modal daripada kepentingan buruh itu sendiri. Hal tersebut semakin diperparah dengan sistem kapitalis yang diterapkan di Indonesia saat ini hanya menempatkan buruh sebagai salah satu unsur dari proses produksi, bukan sebagai faktor utama dalam proses ekonomi. Kondisi seperti inilah yang membuat para buruh tidak mendapatkan jalan lain melainkan dengan jalan mogok kerja dan aksi demo.

Era industrialisasi sangat menonjolkan peran buruh untuk digunakan dalam proses produksi barang yang menjadi kebutuhan orang banyak. Bersampingan dengan kerja mesin, problem buruh mulai bermunculan seperti upah kerja yang murah, waktu kerja yang panjang, tanpa perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dan jaminan sosial sampai kesenjangan sosial dan ekonomi. Di tengah mahalnya biaya hidup dari masa ke masa, buruh tetap harus berjuang untuk tetap menghidupi keluarga. Bermodal pendidikan yang rendah, seorang buruh akan sangat sulit mengejar kedudukan di suatu perusahaan.

Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung Low Pay Rate (LPR) untuk mengukur seberapa banyak buruh yang bekerja dengan gaji yang rendah atau tidak layak. Hasilnya, pada 2022 sebanyak 29,11% buruh menerima gaji yang rendah. Sedangkan pada 2021, proporsinya sebesar 27,67%. Itu artinya ada sedikit penurunan akan tetapi itu tidak banyak mengubah keadaan buruh di Indonesia. Dengan demikian sampai detik sekarang masih banyak buruh yang menuntut kelayakan upah. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini di beberapa wilayah termasuk di antaranya di Kabupaten Bandung. Para buruh menuntut kenaikan upah minimum untuk 2024 sebesar 15% dari UMK 2023 yang sekitar 3,4 juta rupiah. Menurut mereka, 15% sudah mereka hitung bahwa buruh berhak mendapatkan kehidupan yang layak dengan biaya hidup yang saat ini semakin berat. Beberapa aspirasi para buruh didengar namun kemudian banyak sekali pertimbangan yang dilakukan oleh para penguasa sehingga ini akan menjadi masalah yang berulang dari tahun ke tahun.

Jika kita lihat pada zaman Rasulullah, pekerja/buruh sangat berhak memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi penghidupannya yang lebih layak dan lebih sejahtera, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang bersifat melindungi pekerja/buruh. Islam sangat memperhatikan hak dan kewajiban pekerja/buruh, sebagaimana acuan pada anggapan bahwa majikan dan buruh memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendapatkan kemaslahatan dalam hidup di dunia maupun akhirat. Buruh bagi seorang majikan adalah partner untuk menggapai kemaslahatan hidup. Sama halnya dengan hakikat hubungan antar manusia dengan manusia lainnya (hablum minanas). Begitu indah Islam dengan segala aturan-Nya. Tentunya tidak akan mudah terwujud kesejahteraan buruh tanpa negara yang menerapkan syariat Islam dalam seluruh aturan negara.

WalLâhu ‘alam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *