Oleh : Ifa Mufida (Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Sosial)
Reynhard Sinaga berhasil mencuri perhatian dunia. Lebih khusus menjadi bahan perbincangan oleh masyarakat Indonesia. Namanya muncul di berbagai pemberitaan media. Bermula dari media di Inggris hingga akhirnya menyebar ke media antar negara. Sayangnya, perbincangan itu bukan karena prestasi tetapi justru karena sebuah kejahatan. Karena perbuatan yang menjadikan pengadilan Inggris memberinya gelar “Predator Seksual Setan”.
Benar saja, Reynhard Sinaga (36), pria asal Indonesia ini bersalah atas 159 kasus perkosaan dan serangan seksual terhadap 48 pria muda. Berdasarkan keterangan polisi Greater Manchester perilaku biadabnya ini sudah dilakukannya selama dua setengah tahun. Polisi meyakini jika Reynhard Sinaga kemungkinan menyerang setidaknya 195 orang dalam periode yang lebih lama. Polisi setempat mengatakan, pada Selasa (6/1/2020) kemarin telah menerima laporan dari para korban.
Dalam kasusnya, Jaksa menyebut Reynhard sebagai pemerkosa berantai dengan korban terbanyak dalam sejarah Inggris. Polisi juga menambahkan bukti video perkosaan yang direkam oleh Reynhard sendiri. Bahkan karena banyaknya video tersebut dampai dikatakan seperti layaknya “menyaksikan 1.500 film di DVD”. Sungguh perbuatan yang tidak bermoral.
Apalagi perilaku yang dia lakukan di luar negeri, akhirnya berefek dengan Indonesia sebagai asal kewarganegaraannya. Pihak Istana Kepresidenan Indonesia, melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung, merespon kejadian ini dengan pernyataan “mencoreng wajah Indonesia yang kental dengan adab ketimurannya”.
“Padahal wajah kita wajah bangsa Indonesia ini penuh dengan etika ketimuran sopan santun, harga menghargai. Kemudian ada kasus ini, sungguh sangat sedih,” ujar Pramono Anung di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (8/1/2020).
Pernyataan tersebut patutlah keluar dari jajaran pemerintahan. Namun, harusnya bukan sekedar pernyataan, namun perlu adanya pencermatan lebih luas tentang berbagai fenomena. Tersebab jika kita melihat perbuatan predator seks akibat LGBT bukanlah hal yang baru juga di Indonesia. Bahkan gerakan LGBT di Indonesia diberikan ruang gerak yang cukup besar. Sebagai gerakan global, gerakan ini secara simultan terus menambah anggota komunitasnya.
Beberapa waktu lalu salah satu sekolah di Malang dikabarkan ada penangkapan salah satu guru laki-laki yang dilaporkan telah mencabuli beberapa siswa laki-laki di sana. Pernah juga dikabarkan sosok Purwanto, Gay Tulungagung yang telah meniduri 50 orang laki-laki, bahkan anak di bawah usia (tribunnews.com). Di Indonesia sendiri, korban predator seks lebih banyak dari kalangan anak-anak. Sebagaimana pencatatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat adanya peningkatan permohonan perlindungan kekerasan seksual pada anak. Bahkan jumlah ini melebihi tindak pidana lain.
Banyaknya predator seks nampaknya juga berbading lurus dengan semakin merebaknya virus LGBT di tengah masyarakat. Di Indonesia, komunitas ini pun mendapatkan perlindungan, atas nama hak asasi manusia. Sebagaimana pula di Inggris, tempat Reynhard melakukan perbuatan asusilanya perbuatan LGBT juga dilindungi bahkan perkawinan sejenis juga dilegalkan. Perbuatan itu di era demokrasi sekuler ini legal asal suka sama suka namun menjadi kriminal jika ada unsur pemaksaan (pemerkosaan).
Jika kita kembali ke regulasi di tanah air, sampai detik ini pun LGBT juga dibolehkan. Bahkan ada desakan untuk legal di mata hukum. Mereka menilik dan selalu mengaca pada negara-negara barat yang sudah melegalkan perbuatan ini, termasuk perkawinan sesame jenis. Terlebih ruh perundang-undangan di Indonesia juga berasaskan kebebasan. Begitu juga RUU-PKS yang sedang digodog sesungguhnya membawa ruh liberalisasi global. Karena apa yang termaktub di dalamnya tak lebih mengatur kepada perbuatan yang mengandung pemaksaan. Sedang jika perzinaan atau perbuatan kaum pelangi atas dasar suka sama suka tidak akan pernah dipermasalahkan.
Lebih menyedihkan lagi, gerakan kaum pelangi ini telah menjadi ancaman untuk generasi negeri. Tersebab, remaja justru menjadi sasaran empuk perluasan perilaku menyimpang ini. Grup Facebook yang mewadahi komunitas gay juga nampaknya sangat banyak di Indonesia, bahkan diperuntukkan untuk anak-anak pelajar SMP/SMA. Beberapa bulan lalu, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Tulungagung juga merilis maraknya perilaku sesama jenis, terutama laki-laki dengan laki-laki (LSL) di kalangan pelajar. Bahkan jumlahnya sudah mencapai ratusan orang.
Beberapa fakta di atas hanya sebagian kecil contoh banyaknya predator seksual berikut faktor LGBT sebagai pemicunya. Fakta yang tidak diberitakan sesungguhnya masih sangat banyak. Inilah yang kita kenal dengan fenomena gunung es. Yang jelas, kondisi tersebut nyata banyak terjadi di masyarakat Indonesia.
Maka sejatinya yang perlu dilakukan pemerintah haruslah evaluasi untuk mencegah gerakan yang tidak bermoral ini berkembang. Indonesia yang dibilang sebagai negara dengan adab ketimurannya harusnya sama sekali tidak mengambil tata kehidupan liberal yang dibawa oleh barat. Namun sayangnya, kondisi masyarakat saat ini tak jauh beda dengan negara barat yang mengagungkan kebebasan seks atas nama hak asasi manusia. Yang perlu kita fahami, kebebasan berperilaku dan ruh masyarakat yang materialistik sesungguhnya buah dari tata kehidupan kapitalisme sekuler.
Sebuah tata kehidupan yang menafikan agama untuk mengatur kehidupan publik nyata telah menimbulakn kerusakan demi kerusakan. HIV/AIDS di Indonesia telah mencapai level kritis. Dan kini penyumbang terbesar penyakit mematikan ini adalah kalangan gay. Bergeser dari sebelumnya yang disumbang dari seks bebas dan narkoba. Hal ini juga menjadi salah satu bukti bahwa perkembangan LGBT di Indonesia sekarang bak bola salju yang terus menggelinding.
Maka permasalahan ini harusnya menjadi pencermatan yang mendalam oleh pemerintah terutama untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa. Tersebab, jika perilaku LGBT ini terus dibiarkan akan sangat berpengaruh terhadap cita-cita bangsa untuk bisa berjaya mengambil potensi bonus demografi. Sayangnya, jika Indonesia ini tetap menganut faham kebebasan yang bersumber dari kapitalisme sekuler maka sampai kapanpun tak akan bisa keluar dari putaran kerusakan perilaku dan kebobrokan moral di masyarakat.
Tersebab perilaku itu lahir dari arah pandang yang mendasarinya. Ketika sekulerisme yang menjadi asas, maka secara otomatis perilaku liberalistik dan materialistik akan terus berkembang. Indonesia yang mayoritas muslim harusnya memiliki paradigma untuk kembali mengambil aturan Islam sebagai solusi atas semua permasalahan. Terlebih, islam sejatinya bukanlah agama ruhiyah saja namun mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam juga hadir untuk menaungi semua golongan bukan hanya untuk umat Islam semata. Islam juga bisa merawat toleransi dalam tata kehidupan beragama saat negara menerapkan sistemnya. Tesebab sejatinya tidak ada paksaan untuk masuk ke dalam islam. Yang ada, Islam hadir untuk mensejahterkan seluruh umat manusia di bawah naungannya. Sebagai rahmat bagi seluruh Alam. Wallahu A’lam bi showab.