PR Besar Tuntaskan Kemiskinan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

PR Besar Tuntaskan Kemiskinan

Eva Sanjaya

(Komunitas Tinta Pelopor)

 

Indonesia masih memiliki PR besar dalam menuntaskan kemiskinan. Apalagi, baru-baru ini Bank Dunia merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia supaya mengubah acuan tingkat garis kemiskinan yang diukur melalui paritas daya beli atau purchasing power parity. Menurut mereka, seharusnya garis kemiskinan di Indonesia diukur dengan paritas daya beli melalui besaran pendapatan sebesar US$ 3,20 per hari, bukan dengan ukuran yang pemerintah gunakan sejak 2011 sebesar US$ 1,9 per hari acuan.

Merespons hal itu, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, ukuran garis kemiskinan yang disarankan Bank Dunia itu belum bisa menggambarkan kondisi perekonomian masyarakat Indonesia. Selain itu, jika ukuran garis kemiskinannya di naikkan malah menyebabkan 40% masyarakat malah tergolong orang miskin. “Ibu Satu Kahkonen (Country Director World Bank Indonesia) katakan di speechnya ketika anda dapat menurunkan kemiskinan ekstrem menjadi nol tapi garis kemiskinan anda adalah US$ 1,9, anda harus gunakan US$ 3. Seketika 40% kita semua menjadi miskin,” kata Sri Mulyani dalam acara World Bank’s Indonesia Poverty Assessment di The Energy Building, SCBD, Jakarta, Selasa (9/5/2023) dikutip laman cnbcindonesia.com. Sri Mulyani menganggap, ukuran itu tidak bisa seketika digunakan di tanah air karena, salah satunya masing-masing wilayah di Indonesia memiliki struktur harga yang berbeda satu sama lain. Sehingga, pengeluaran masyarakat untuk hidup berbeda satu dengan yang lain.

Problem kemiskinan memang selalu saja menjadi PR besar besar bagi rezim di tiap pemerintahan. Ironisnya, problem ini justru menjadi dagangan politik bagi para pemburu jabatan yang haus kekuasaan. Membius masyarakat dengan “janji-janji manis” bak angin surga demi mewujudkan kesejahteraan. Hanya saja, fakta pula yang bicara. Dari rezim ke rezim, angka kemiskinan tidak juga reda. Kalaupun ada penurunan, kadang hanya klaim dan tidak sesuai dengan kenyataan. Terlebih standar kemiskinan yang digunakan sering kali tidak sejalan dengan nilai kemanusiaan. Data sering bermasalah, indikator kemiskinan dan kesejahteraan yang biasa digunakan dihitung dengan angka rata-rata.

Menurut data BPS, per September 2022, telah tercatat angka kemiskinan di Indonesia mencapai Rp535.547 per bulan per kapita. Angka ini dihitung dari rata-rata pengeluaran masyarakat, bukan dengan yang semestinya. Dengan standar itulah, diperoleh data penduduk miskin pada periode yang sama sebanyak 26,36 juta orang, atau setara dengan 9,57% dari total penduduk Indonesia. Dengan kata lain, penduduk dengan pengeluaran lebih banyak dari angka tersebut, misalnya Rp600.000 per bulan, sudah tidak dikategorikan miskin lagi. Padahal, di tengah biaya kebutuhan pokok yang serba mahal, termasuk biaya pendidikan, kesehatan, listrik, BBM, air bersih, transportasi, dan sebagainya, angka sekecil itu tidak mungkin bisa menutup biaya hidup normal bagi orang per orang. Walhasil, wajar jumlah penduduk miskin di Indonesia pada faktanya jauh lebih banyak dan besar dari angka yang diklaim penguasa. Pada saat yang sama, jurang kesenjangan sosial yang sangat lebar antara si miskin dan si kaya makin kentara. Ada yang bisa berpenghasilan Rp8 miliar per bulan, tetapi betapa banyak yang serupiah pun mereka tidak punya.

Kehidupan masyarakat saat ini memang terasa makin berat saja. Bahkan kehidupan serba “wah” yang sering kali dipertontonkan para selebritas, youtuber, dan pengusaha, nyatanya hanya jadi hiburan bagi sebagian rakyat kecil. Adapun kehidupan si miskin, nyaris tak tersentuh penguasa. Kalaupun muncul di media, mereka cuma jadi objek konten para pemburu adsense dan pencitraan saja. Hal ini sejalan dengan problem sosial yang juga kian merajalela. Misal kasus stunting yang makin mewabah di mana-mana bahkan di beberapa daerah di Indonesia, hampir merata. Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, persentase stunting bayi di bawah lima tahun (balita) di Indonesia tercatat 21,6 % pada 2022. SSGI melakukan survei kepada populasi sampel sebanyak 334.848 balita yang tersebar di 486 kota di 33 provinsi. Dari data tersebut, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi provinsi dengan balita stunting terbanyak yaitu 35,4% pada 2022.

Semestinya mudah dipahami bahwa problem kemiskinan bukanlah problem tunggal, namun merupakan problem kompleks yang berakar dari penerapan sistem politik ekonomi yang asasnya rusak sehingga memproduksi berbagai kerusakan. Sistem ini tidak lain adalah sistem kapitalisme neoliberal yang tegak di atas asas sekularisme dan diusung negara-negara adidaya, lalu dipaksakan penerapannya di negeri-negeri lainnya. Sejatinya, ketika negara menetapkan standar kemiskinan menunjukkan bahwa negara dzalim dan abai terhadap kondisi rakyatnya,bahkan seolah-olah kesejahteraan rakyat bukan hal utama yang harus diperhatikan oleh negara.

Hal ini berbeda dengan sistem Islam sebagai solusi total terhadap kemiskinan. Negara atau penguasa dalam sistem Islam benar-benar akan memfungsikan dirinya sebagai pengurus umat, menjamin kesejahteraannya sekaligus sebagai pelindung umat secara orang per orang sehingga dapat hidup layak dan tercukupi semua kebutuhan dasarnya. Ini karena mereka paham bahwa kepemimpinan adalah amanah berat yang harus siap dipertanggungjawabkan di keabadian.Islam. Rasulullah saw. bersabda :

فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

 

Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Negara dengan segala modal kekayaan yang ada wajib menciptakan situasi yang kondusif bagi setiap laki-laki untuk bekerja hingga dia dan keluarganya bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka sebagaimana dalam QS Al-Baqarah : 233.

Di saat yang sama, negara akan menjamin kehidupan rakyat yang lemah, sekaligus menjamin kebutuhan kolektif, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi seluruh rakyatnya dari pengelolaan harta kekayaan milik mereka. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw sebagai kepala negara di Madinah saat itu, menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita sadari bahwa kehidupan sempit dan pelik ini yang jauh dari nilai-nilai Islam.harus segera diakhiri. Umat membutuhkan kehidupan yang penuh maslahat dan berkah dalam naungan sistem Islam.

Wallahua’lam bish showwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *