PPKM Darurat Hingga Level 4, Sampai Kapan?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Jusmiana, A.Md (Pengamat Sosial)

 

Setahun lebih hidup bersama pandemi covid-19 membuat sebagian masyarakat mulai kehilangan motivasi untuk mengikuti protokol kesehatan dan anjuran pemerintah. Pasalnya, Sederetan solusi yang diberikan tak mampu menjadi penghambat laju perkembangan makhluk kecil bernama virus sampai hari ini.

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat pun dibuat dan resmi dimulai sejak 03 Juli hingga 20 Juli lalu dan diperpanjang hingga 02 Agustus mendatang. Berbagai penyekatan dilakukan untuk membatasi mobilitas masyarakat. Petugas langsung menindak dan membubarkan kegiatan kerumunan ditengah masyarakat.

Sanksi yang tegas diberlakukan bagi yang melanggar ketentuan ini, misalnya sanksia ketentuan umum hukum pidana pasal 212 KUHP, pasal 218 KUHP, UU No.14 tahun 1994 tentang wabah penyakit menular, UU No.6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan dengan berbagai ancaman sanksi pidana dalam ketentuan-ketentuan tersebut.

Sejak awal virus ini masuk di Indonesia tahun 2020 silam, sudah banyak kebijakan yang dilakukan negara. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala besar (PSBB), PSBB transisi, PPKM mikro, PPKM darurat, hingga PPKM level 4 yang notabene tidak jauh berbeda dengan kebijakan sebelumnya. Kesemuanya kurang efektif mengatasi wabah.

Selama PPKM berlaku hingga 02 Agustus, pembatasan diterapkan disejumlah sektor. Fasilitas umum, perkantoran, pusat perbelanjaan, tempat ibadah, dan tempat publik lainnya ditutup. Selama 17 hari PPKM darurat diterapkan, namun belum memperlihatkan tanda kemajuan dengan semakin bertambahnya kasus setiap hari.

Terbukti hingga kini wabah belum landai dan ekonomi kian menemui ajal. Kasus positif covid-19 bertambah 47.791 kasusu, sehingga ada 3.287.727 kasus positif diseluruh Indonesia sejak pertama kali diumumkan pada awal maret 2020. Ini merupakan indikasi gagalnya  pemberlakuan PPKM darurat sejak 03/07/2021 dan kini masih saja dilanjutkan langkah serupa dengan PPKM hingga level 4. (cnnIndonesia.com, 28/07/2021)

Harus sampai kapan kebijakan yang sama terus diulang?

Banyak yang menilai, jika langkah yang ditempuh pemerintah merupakan bentuk cuci tangan dari kewajiban pemenuhan kebutuhan sandang, papan, pangan masyarakat. Ditengah kebingungan menghadapi suasana mencekam karena kematian akibat covid, memaksa pemerintah memutar otak agar kebutuhan dasar terpenuhi. Faktanya, kebangkitan ekonomi yang masih terus diperjuangkan, mengingat ekonomi sedang kolaps. Maka tak heran jika nyawa rakyat menjadi korban.

Dalam pasal 55 UU No.6 tahun 2018, pemerintah pusat berkewajiban dan bertanggungjawab penuh atas jaminan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat dan pakan hewan ternak diwilayah terdampak karantina. Namun, undang-undang ini tidak diberlakukan dan pemerintah seolah menghindari istilah lockdown karena ada beban pemenuhan kebutuhan rakyat dengan istilah tersebut.

Meskipun pemerintah mengklaim telah menyalurkan bantuan secara tersasar dengan detail terutama dalam distribusi vaksin, obat dan bantuan sosial (bansos), sayangnya fakta dilapangan berbeda dengan apa yang telah diklaim. Pemerintah memang menggelontorkan sejumlah dana untuk dibagikan kepada rakyatnya. Namun realisasinya ternyata tak sejalan dengan narasi heroik yang disampaikan.

Jika PPKM ini diperpanjang, akan menambah rentetan masalah dimasyarakat. Misal, menambah angka kemiskinan, pengangguran, konflik sosial, kelaparan bahkan kematian.

Inilah realitas pahit yang harus diterima masyarakat. Pemerintah semestinya berfokus pada penyelamatan nyawa rakyatnya, malah sibuk merealisasikan pesanan asing. Langkah negeri yang salah kaprah adalah akibat kiblat negeri ini adalah kapitalisme.

Mengapa mesti jatuh kelubang yang sama dalam menangani pandemi jika itu tak membuahkan hasil?

Jika ketidakmampuan memenuhi hajat hidup masyarakat menjadi dalih, kenapa kita tidak berusaha melirik kekayaan alam yang kita punya?

Dengan berbagai kekayaan SDA yang dimiliki negeri ini, tidak mampu menjadi jaminan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. SDA diserahkan kepada asing sehingga hasilnya tidak bisa dinikmati seluruh rakyat, hanya dinikmati segelintir orang. Maka tak heran, ditengah kondisi sulit seperti pandemi hari ini, banyak rakyat yang melarat. Maka sebutan zamrud khatulistiwa hanya menjadi sebuah lagu.

Dalam situasi penyebaran virus yang semakin buruk dampaknya bagi masyarakat dengan varian baru, menimbulkan proses penularan yang lebih cepat dan kematian secara luas. Maka seharusnya penting bagi pemerintah untuk mereombak berbagai langkah yang sudah dilakukan. Jika tidak berhasil, ditinggalkan.

Negeri ini punya banyak orang yang cerdas. Begitu banyak pihak yang memberikan masukan kepada pemerintah bahwa semestinya langkah yang diambil bukan hanya dilakukan pembatasan terhadap masyarakat yang berada di Indonesia, namun yang lebih penting adalah lockdown wilayah dan melakukan antisipasi terhadap warga yang masuk dan keluar antarnegara. Meskipun TKA sudah dilarang masuk Indonesia, namun diawal mereka bebas keluar masuk sementara masyarakat didalam negeri dibatasi.

Wajar, jika persoalan hari ini tak kunjung usai, karena masih mengidolakan sistem kehidupan yang jelas kebobrokannya. Sistem yang memiskinkan individu, masyarakat bahkan negara.

Rasulullah telah menyampaikan dalam salah satu hadist, mengajarkan kepada kita bagaimana ketika kita menghadapi situasi ditengah-tengah wabah.

Rasulullah saw. bersabda :

“ Thaun atau wabah penyakit menular itu adalah suatu peringatan dari Allah swt untuk menguji hamba-hambaNya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangit disuatu negeri, janganlah kamu masuk dinegeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit dinegeri kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR.Bukhari & Muslim)

Sayangnya, negeri ini tidak mengerahkan segala daya dan upaya diawal pandemi. Tak ada upaya serius untuk mengidentifikasi daerah mana yang terkena wabah dan mana yang tidak.

Negara seharusnya hadir dalam memenuhi seluruh kebutuhan individu. Parameter terpenuhinya kebutuhan masyarakat bukanlah dilihat dari angka, tapi pada kondisi riil individu per individu. Sayangnya, negara fokus pada angka rata-rata. Mereka abai pada kondisi rill individu.

Kacaunya data bansos misalnya, hal tersebut terjadi karena akurasi data dan birokrasi yang berbelit. Area yang terkena wabah akan di dukung penuh kebutuhannya oleh negara. Lagi-lagi negeri ini malah tak serius memberi bantuan. Dana pandemi dibagi-bagi pada sejumlah korporasi dan untuk pendanaan yang jelas belum terlalu urgen. Misalnya pembangunan infrastruktur dan kereta cepat. Rakyat belum membutuhkan gedung pencakar langit dan infrastruktur lainnya. Rakyat pun tak butuh hidup mewah, hanya ingin memenuhi kebutuhan perut. Itu sudah cukup.

Kekayaan alam negara adalah salah satu sumber kas negara yang seharusnya memberi sumbangsih besar terhadap pemasukan negara dan haram dimiliki pihak swasta/asing. Dikelola langsung oleh negara, sementara pemanfaatannya dinikmati seluruh rakyat. Negara sebatas mengelola dan mengaturnya untuk kepentingan masyarakat sehingga kebutuhan dasar terpenuhi baik dikala pandemi atau kehidupan normal.

Kesehatan menjadi kebutuhan pokok umat yang harus dijamin oleh negara. Sayangnya, kesehatan dinegara ini dibawah kendali korporasi sehingga negara tidak punya andil penuh dalam penanggulangan wabah. Masyarakat pun jauh dari kata layak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal. Dengan mengambil jalan Islam sebagai solusi, pandemi akan segera diatasi.

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *