Oleh: Nurul Aini Najibah (Muslimah Pejuang Dakwah)
Kekuasaan, merupakan buruan setiap orang atau kelompok. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkannya, kemudahan dalam mengatur dan melakukan segalanya pun menjadi pendorong yang kuat untuk berlomba-lomba merebut kekuasaan. Seperti halnya yang sedang terjadi pada Kepala Desa Cibiru Hilir, Drs. H.M. Yunus Hikam, beliau membantah keras telah menerima uang pelicin dari PT. Adyawinsa Telecommunication dan Electrical untuk memuluskan proyek pembangunan tiang fiber optik di wilayah Desa Cibiru Hilir, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Yunus mensinyalir ada pihak-pihak yang sengaja menyebarkan berita bohong untuk menjatuhkan dirinya. (zonapriangan.com, 29/07/2020)
Memang, dalam sistem demokrasi apapun dilakukan untuk menjatuhkan lawan demi kekuasaan, termasuk menyebarkan tuduhan/hoax. Hal tersebut sudah menjadi rahasia umum di negeri ini. Apalagi saat ini difasilitasi oleh adanya media sosial. Media sosial yang seharusnya menjadi sarana untuk menyerap informasi positif yang mencerdaskan telah banyak didistorsi oleh kelompok-kelompok yang tak bertanggungjawab, dengan menjadikannya sebagai ruang untuk menebar kebencian. Tak jarang, informasi yang muncul di media sosial adalah informasi-informasi yang tidak jelas sumbernya.
Sebuah tuduhan/hoax tidak terasa ditunjukkan untuk mengolok-olok kecerdasan masyarakat. Bahkan tidak sedikit informasi menyesatkan itu dibumbui dengan sikap kebencian. Siapa saja yang mempunyai akses dana tak terbatas, maka sesungguhnya ia bisa berkuasa atau membeli kekuasaan entah dengan cara apapun. Soal citra, asal mereka ada dana semua bisa dibuat. Seorang pemarah, bisa dicitrakan sebagai penyabar dan pembohong pun bisa diubah citranya menjadi orang yang jujur. Pun sebaliknya, dengan uang bukan hal mustahil bagi seseorang menjatuhkan kemuliaan pihak lain yang berseberangan dengannya.
Wajah kekuasaan seperti ini tampak begitu bengis. Apapun cara bisa dilakukan, demi kekuasaan. Semuanya pun siap dipertaruhkan, tidak peduli berapa korban yang harus menjadi tumbal. Semua jurus dan kekuatan akan digunakan untuk mempertahankan kekuasaan dan melawan pihak-pihak yang berseberangan. Ada yang bersumpah berkali-kali. Ada yang siap menempuh jalur hukum, karena pencemaran nama baik, dan begitu seterusnya.
Praktik-praktik kotor ini ibarat tumor ganas yang sudah mengakar demikian kuat di berbagai sektor dan lapisan negeri ini hingga sulit sekali untuk diberantas. Semua itu sebenarnya buah dari penerapan sistem kapitalisme-sekuler yang melarang keras andil agama dalam kehidupan. Dari sistem itulah akhirnya lahir sikap materialistis. Halal haram tidak lagi menjadi ukuran. Hingga akhirnya, yang ada di benak individu hanyalah bagaimana mengejar kekuasaan dengan jalan pintas.
Sebagai seorang mukmin, kita harus yakin bahwa setiap masalah-masalah yang sama bisa terjadi berkali-kali di negeri ini, karena sistem dan rezim yang berkuasa ialah demokrasi. Sistem demokrasi menggiring pada pemilik jabatan secara kolektif untuk bermaksiat kepada Allah sebagai pencipta dan pengatur, maupun maksiat atas hukum-Nya, yaitu tidak mendudukkan Islam menjadi standar untuk menentukan keadilan di muka bumi.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, bahwa setiap jabatan adalah amanah yang sangat berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. Sungguh mereka adalah pelaksana dan penjaga hukum-hukum Allah.
Rasulullah Saw. Bersabda:
“Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawabannya atas apa yang dipimpinnya.” (HR Shahih Muslim)
Alhasil, keteladanan hidup seorang pemimpin dalam mengelola tugasnya menjadi kunci yang sangat penting. Fungsi dan peran mereka sangat jelas dalam sistem Islam. Jadi, tugas penguasa adalah memelihara kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya dan menyejahterakan mereka. Karena rakyat tanpa adanya pemelihara akan menjadi kelompok yang lemah. Dan sebaliknya, penguasa tanpa rakyat yang solid berdiri di belakangnya akan membuat eksistensinya lemah, mudah digoyang dan terjerumus bekerjasama dan meminta bantuan musuh-musuh umat. Akibatnya, banyak kepentingan dan kemaslahatan umat yang terabaikan atau sengaja diabaikan.
Karena itu, semestinya masalah ini menyadarkan kita semua, bahwa inilah saatnya kita membebaskan diri dari cengkeraman sistem ini, agar kehidupan di negeri ini lebih baik. Karena sesungguhnya setinggi-tingginya jabatan kita di dunia, tetaplah kita seorang hamba, Allah-lah pemiliknya. Kekuasaan Sang Penciptalah yang paling dahsyat. Meski tak dapat diindera, namun Dia yang Maha pemilik segalanya. Hanya Allah yang mampu mengetahui apapun seluk beluk hati dan jalan pikiran tiap-tiap hamba-Nya. Maka, tidak ada pilihan lain kecuali kembali pada syariah Islam. Dengan menerapkan Islam secara kaffah, di bawah khalifah yang bertakwa dan hanya takut kepada Allah Swt, maka negeri ini akan menjadi baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.
Wallahu a’lam bii ash shawab.