POP Menuai Kontroversi, Nadiem Kembali Dikritisi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Risnawati,S.TP. (Pegiat Opini Media Kolaka)

Polemik dalam Program Organisasi Penggerak atau POP yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali dikritisi dari berbagai kalangan. POP merupakan episode keempat dari terobosan kebijakan Program Merdeka Belajar yang digagas oleh Nadiem pasca ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai menteri.

Dilansir dari Kompas.com (23/7/2020), masuknya Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation ke dalam daftar penerima hibah dari Kemendikbud merupakan langkah tidak etis. Dua lembaga itu dinilai Huda terafiliasi dengan korporasi yang dinilai tidak butuh hibah APBN.

Polemik makin membesar setelah Lembaga Pendidikan Maarif PBNU, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, dan  Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) memutuskan mundur dari program. Alasan mereka mundur karena proses seleksi POP yang dinilai tak sejalan dengan semangat perjuangan pendidikan. Tak hanya meminta untuk realokasi, bahkan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi turut mengawasi program tersebut.

“KPK harus pelototi (POP). Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan keuangan POP,” kata Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim Lantas, apa sebenarnya POP? Program ini pertama kali diluncurkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim pada 10 Maret lalu.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengundurkan diri dari Program Organisasi Penggerak (POP) kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.
Diketahui, sekitar Rp595 miliar per tahun telah dianggarkan Kemendikbud demi menyokong POP yang menjadi bagian dari misi Merdeka Belajar Episode IV.

Dana tersebut akan dikucurkan kepada organisasi masyarakat terpilih untuk menjalankan program-program pelatihan guru dan kepala sekolah agar memiliki kompetensi menciptakan anak didik berkualitas dalam segi ilmu maupun karakter. Alhasil, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menyatakan bakal turun tangan memantau dan mendalami POP Kemendikbud ini.

Belakangan, Kemendikbud di laman resminya kemdikbud.go.id (28/7/2020), mengklarifikasi mengenai anggaran tersebut. Di situ tertulis Putera Sampoerna Foundation bersama Tanoto Foundation dipastikan menggunakan skema pembiayaan mandiri untuk mendukung POP. Mendikbud juga berharap organisasi penggerak yang mundur dapat bergabung kembali.

Benang Kusut Polemik POP
POP merupakan program pemberdayaan masyarakat secara masif melalui dukungan pemerintah untuk peningkatan kualitas guru dan kepala sekolah berdasarkan model-model pelatihan yang sudah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Dasar hukum dari pelaksanaan program ini adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 32 Tahun 2019 tentang Pedoman Umum Penyaluran Bantuan Pemerintah di Kemendikbud. Serta, Peraturan Sekjen Kemendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Bantuan Pemerintah Untuk Pengembangan Mutu Guru dan Tenaga Kependidikan.

Sebenarnya jika ditelaah lebih dalam, bahaya yang paling besar dari POP ini adalah lepasnya tanggungjawab pemerintah terhadap tugas utamanya untuk mengurusi seluruh kemaslahatan umat, termasuk pendidikan. Sebaliknya menyerahkan tugas ini kepada pihak lain atau korporasi, karena jika pemerintah bermtra maka arah pendidikan terutama kualitas guru, akan sulit dikontrol Negara. Misalnya program peningkatan kualitas guru yang dilakukan CSR sebuah perusahaan besar, kemungkinan tujuannya akan mengarah pada profit. Meski konsep CSR adalah sebagai kontribusi mereka di bidang social masyarakat, tetap saja tidak akan terlepas dari target keuntungan perusahaan. Sehingga dengan adanya POP ini menambah langgengnya hubungan rezim dengan korporasi. Dengan demikian, arah pendidikan negeri ini yang sudah sekuler menjadi makin sekuler lagi.

Sesungguhnya program Menteri Nadiem tidak sinkron dengan problem utama pendidikan di Indonesia. Sebab, ia hanya berbicara di tataran teknis semata.

Padahal, problem utama pendidikan bukanlah itu, tapi problem utamanya terkait dengan sudut pandang penguasa terhadap tugas melayani pendidikan rakyat. Juga terkait dengan asas kapitalisme sekularisme yang selama ini mendasari sistem pendidikan sehingga kurikulum dan tata kelola sekolahnya jauh dari konsep Islam. Inilah yang menjadikan pendidikan mandul dan tidak produktif. Sehingga problem mendasar ini akhirnya berimbas kepada problem guru (kompetensi, kesejahteraan, pemerataan), minimnya sarana prasarana pendidikan serta rendahnya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Tapi kesalahan paradigma dan manajemennya. Perbaikan teknis memang bisa membawa perubahan, namun tidak signifikan dan tidak menyelesaikan problem utama.

Praktik sekularisasi pendidikan di Indonesia sudah lama terjadi. Sekularisasi secara struktural berlangsung secara intensif di ranah pendidikan formal, di mana sejak awal negeri ini memisahkan jalur pendidikan Islam dengan jalur pendidikan umum di bawah dua kementerian yang berbeda: pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama dan pendidikan umum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional. Ini berlaku untuk semua jenjang dari dasar hingga tinggi.

Dalam sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh dasar pemikiran khas yang dianut suatu negara. Jika sistem pendidikan ditegakkan berdasarkan dasar pemikiran sekularisme-kapitalisme atau sosialisme-komunisme maka sistem pendidikan bertujuan mewujudkan struktur masyarakat sekular-kapitalis atau sosialis-komunis. Maka akan menjadi hal yang wajar jika output pendidikan di era kapitalisme ini menghasilkan manusia yang rakus akan materi, bersikap individualis dan hedonis.

Harus diakui bahwa problem pendidikan yang terus saja bermunculan tak lepas dari akar masalah yang melingkupinya.

Masalah karakter dan moral masih menjadi permasalahan besar. Sistem sekuler menafikan peran Tuhan dalam kehidupan. Generasi semakin jauh dari nilai Islam. Mereka justru lebih dekat dengan nilai liberal dan kental dengan nilai-nilai Barat. Buah dari kehidupan sekuler liberal yang dijalankan. Generasi kehilangan jati diri hakikinya sebagai hamba. Mereka tak lagi memiliki visi misi mulia di dunia. Kesenangan dunia seolah menjadi prioritas kehidupan. maka, sistem pendidikan berbasis sekularisme hanya memproduksi manusia-manusia bebas nilai dan manusia sekuler tanpa fondasi. Sistem ini juga hanya mengajarkan arti kebahagiaan sebatas nilai materi. Alhasil, lahirlah generasi dan guru yang tidak berkualitas.

Hakikatnya, membiarkan sekularisasi pendidikan sama saja mencerabut keberkahan ilmu dari pola pikir (aqliyah) manusia, akibat tersingkirkannya wahyu sebagai otoritas pendidikan. Di mana pemikiran manusia yang jauh dari wahyu ini tentu berpengaruh pada pola sikap (nafsiyah) dan kepribadiannya secara keseluruhan. Di sisi lain, sekularisasi ilmu pengetahuan juga memfasilitasi tsaqafah asing dan pemikiran-pemikiran sekuler liberal merasuki benak kaum terpelajar. Selain itu, asas sekularisme juga telah menjadi pintu masuk bagi kapitalisasi pendidikan, yang semakin menyuburkan lahirnya kaum pragmatis yang materialistik, akibat pendidikan dijadikan komoditas bisnis.

Pentingnya Penerapan Khilafah
Jika paradigma pendidikan dilandasi pemikiran kapitalis, maka pendidikan tak ubahnya ladang bisnis untuk mengejar profit. Jika tujuan pendidikan hanya berkutat pada mencetak SDM siap kerja, maka kita tidak sedang menyiapkan generasi pembangun peradaban, tapi hanya generasi buruh yang siap bekerja memenuhi pasar industri ala kapitalis. Maka dari itu, perlu ada arah perubahan pendidikan secara sistemis. Bukan sekadar permak atau perbaikan masalah yang sifatnya cabang. Dan masyarakat harus dicerdaskan tentang sistem pendidikan sahih dengan syariat Islam Kaffah dalam bingkai Khilafah.

Negara (Khilafah) menyelenggarakan sistem pendidikan Islam berdasar akidah Islam. Pendidikan ditujukan untuk mewujudkan manusia berkepribadian Islam di samping membekali manusia dengan ilmu dan pengetahuan berkaitan dengan kehidupan. Negara bertanggung jawab penuh untuk melayani. Yakni dengan memastikan kebutuhan rakyat untuk memperoleh pendidikan terbaik bisa terpenuhi. Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban mengatur segala aspek sistem pendidikan yang diterapkan. Mulai dari kurikulum, metode pengajaran, bahan-bahan ajar, hingga kualitas pengajar dan pengelola pendidikan, semuanya tanggung jawab negara.

Negara tidak boleh menyerahkan tanggung jawabnya kepada masyarakat maupun swasta. Rasulullah Saw. bersabda (yang artinya): Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari). Berdasarkan hadits tersebut, Islam telah memandatkan kepada negara berupa tanggung jawab pengurusan seluruh urusan umat, termasuk dalam menyediakan guru kompeten agar kebutuhan pendidikan terpenuhi dengan baik.

Ibnu Hazm juga menuturkan dalam kitab Al Ahkaam, bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat yakni para guru. Pun anggaran pendidikan yang diambil dari baitulmal, akan digunakan seoptimal mungkin untuk pembiayaan semua pos pendidikan oleh negara.

Negaralah yang bertanggung jawab melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi semua program pendidikan melalui peran para abdi negaranya yang amanah. Hanya dengan menerapkan sistem pendidikan Islam saja arah pendidikan dan kurikulum yang digunakan akan mampu mencetak guru berkualitas dan generasi yang memiliki kepribadian Islam dengan memiliki ketaatan kepada Allah SWT. Akhirnya, POP sejatinya program batil yang harus ditolak dan diluruskan.
Rasulullâh saw bersabda, Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain. (HR. Imam Malik). Wallahu alam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *