Oleh : Ummu Asadullah
Belakangan diketahui, bantuan sosial (bansos) lambat disalurkan kepada warga terdampak covid-19 lantaran menunggu tas pembungkus untuk mengemas paket sembako.
Hal ini dibenarkan oleh Menteri Sosial Juliari Batubara. Dia mengungkapkan, pembungkus itu belum tersedia karena produsen tas tersebut mengalami kesulitan import bahan baku. Sehingga, menyebabkan distribusi bansos terkendala meski paket sembako sudah tersedia.
“Awalnya iya (sempat tersendat) karena ternyata pemasok-pemasok sebelumnya kesulitan bahan baku yang harus import,” katanya kepada wartawan, Rabu (29/4). (m.merdeka.com)
Sungguh miris, jeritan rakyat akibat kelaparan di tengah pandemi ini tak lebih penting dibanding pembungkus yg berlabel Presiden. Rela menunda penyaluran bansos hanya demi sebuah pembungkus.
Dari sini kita bisa melihat bahwa bansos tak murni datang dari hati nurani. Akan tetapi, sarat akan politisasi baik ditingkat daerah ataupun nasional. Belum lama viral di media sosial, kasus foto bupati Klaten Sri Mulyani yg menempel di paket bansos penanganan covid-19. Mulai dari beras, masker, hingga buku tulis untuk siswa diwarnai wajah Sri.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo berpendapat kultur politisasi bansos sudah terjadi sejak lama di dunia politik. Di Indonesia, praktik ini marak dilakukan setidaknya sejak pemerintahan Presiden SBY meluncurkan bantuan langsung tunai (BLT).
Kunto mengatakan politisasi bansos merupakan salah satu trik kampanye dalam politik. Eropa lebih mengenalnya dengan istilah pork barrel atau gentong babi.
“Istilahnya pork barrel, tong yang isinya daging babi dulu di Eropa. Jadi memberikan supply makanan kepada konstituennya, bahkan jauh hari sebelum pemilu. Tujuannya membangun favorability, kesukaan terhadap dia,” tutur Kunto kepada CNNIndonesia.com, Rabu (29/4).
Dalam sistem hari ini hal seperti itu sangatlah lumrah terjadi. Istilahnya tak ada makan siang gratis. Bantuan yg merupakan kewajiban negara pun ditunggangi dengan politisasi. Padahal jika ditelisik lagi sumber dana bansos berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yg dipungut dari uang rakyat. Semestinya negara bertanggung jawab penuh atas kebutuhan rakyatnya di masa pandemi ini. Tapi justru malah terkesan lamban dan tak tepat sasaran. Terbukti dengan tidak meratanya pembagian bansos terlebih banyak rakyat yang masih kelaparan.
Dilansir dari regional.kompas.com nasib tragis dialami satu satu keluarga yang berasal dari Tolitoli, Sulawesi Tengah.
Pasalnya, saat ditemukan warga di tengah kebun di Kelurahan Amassangan, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, kondisi mereka sudah lemas karena kelaparan.
Satu keluarga yang terdiri dari tujuh orang tersebut tiga di antaranya masih balita dan seorang ibu diketahui sedang hamil besar. (30/4/2020)
Itu hanya salah satu contoh saja, di luaran sana masih banyak rakyat yang mengalami penderitaan akibat dampak dari pandemi ini. Semua ini hanya terjadi dalam sistem demokrasi kapitalis. Sistem fasad yang hanya akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang justru menyengsarakan rakyatnya.
Berbeda dengan sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh atas kebutuhan rakyatnya. Apalagi di masa pandemi seperti ini. Khilafah akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjamin setiap kebutuhan rakyatnya. Negara tidak akan membuat mekanisme yg sulit dan berbelit-belit. Serta akan melakukan kontroling untuk memastikan seluruh rakyatnya mendapat bantuan.
Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar dalam menangani kelaparan di masa krisis yang terjadi di Jazirah Arab pada tahun 18 H. Beliau langsung mengambil langkah-langkah tepat dan cepat. Solusi yang tuntas dan menyeluruh, bukan solusi tambal sulam. Apalagi hanya sebatas basa basi dan pencitraan.
_Pertama,_ menjadi teladan terbaik bagi rakyatnya dalam menghadapi krisis ekonomi. Dengan tidak bergaya hidup mewah, makanan pun seadanya. Bahkan kadarnya sama dengan rakyat yang paling miskin bahkan lebih dari itu. Dan hal itu pun diterapkan pada keluarganya.
_Kedua,_ memerintahkan lembaga-lembaga yang berhubungan langsung dengan pemenuhan kebutuhan rakyat untuk segera bergerak cepat memberikan bantuan kepada rakyat. Khalifah sendiri yang bekerja dalam posko-posko dan memastikan semua berjalan optimal.
_Ketiga,_ meminta bantuan ke wilayah daulah lainnya yang kaya dan mampu memberi bantuan, ketika melihat kondisi keuangan baitul mal tidak mencukupi untuk menanggulangi krisis. Sebagai contoh Khalifah Umar mengirimkan surat ke beberapa gubernur di wilayah daulah untuk mengirimkan bantuan ke pemerintah pusat.
Ketiga langkah ini dilakukan Khalifah Umar saat mengalami krisis ekonomi. Semua dilakukan dengan spirit menjalankan syariat Islam dalam roda pemerintahan. Tak ada istilah pencitraan, gila jabatan atau kekuasaan. Semua dilakukan atas dasar ketakwaan kepada Allah. Dan sebagai bentuk kecintaanya terhadap rakyatnya. Serta tanggung jawabnya menjadi seorang pemimpin. Sosok pemimpin sejati yang meriayah umatnya dengan sebaik-baik periayahan. Sehingga permasalahan pun bisa diatasi dengan tuntas dan cepat.
Sungguh, jauh sekali dengan pemimpin hari ini, penanganan lamban, birokrasi yg bertele-tele, dan masih saja sibuk melakukan pencitraan di tengah pandemi. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari sistem demokrasi kapitalis. Sudah saatnya kembali kepada aturan Sang Khalik. Kembali menerapkan hukum Islam secara kaaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Yang dengannya lahir para Negarawan sejati yang akan mengemban tugasnya dengan amanah dan penuh tanggung jawab. Sosok pemimpin yang mencintai rakyatnya dan dicintai rakyatnya. _Wallahu a’lam bish-shawabi_