Politisasi Bansos Covid-19 di Tengah Kelaparan Rakyat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Uray Herlindawati (Aktivis Muslimah Ideologis Khatulistiwa)

Ditengah pandemi Covid-19, rakyat Indonesia mengalami penderitaan yang bertubi-tubi. Pasalnya, sebelum datangnya masa PSBB saja rakyat telah terlunta-lunta untuk menghidupi diri dan keluarga. Apalagi setelah pandemi Covid-19 menerpa negeri ini.
Karena pandemi ini tidak hanya berdampak pada kesehatan dan keselamatan jiwa. Namun telah membuat berjamurnya pengangguran akibat PHK yang dilakukan perusahaan yang gulung tikar. Artinya telah banyak kepala keluarga yang telah kehilangan mata pencahariannnya. Dari sanalah bencana kelaparan semakin meningkat di setiap wilayah negeri.

Hal tersebut dialami oleh satu keluarga yang berasal dari Tolitoli, Sulawesi Tengah. Pasalnya, saat ditemukan warga di tengah kebun di Kelurahan Amassangan, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, kondisi mereka sudah lemas karena kelaparan. Satu keluarga yang terdiri dari tujuh orang tersebut tiga diantaranya masih balita dan seorang ibu yang diketahui sedang hamil besar. (regional.kompas.com)

Selain itu, sebanyak empat belas orang mahasiswa asal Seram Bagian Timur, Maluku, ditangkap petugas Satuan Polisi Pamong Praja di tengah Pembatasan Sosial Berskala Regional (PSBR) di Maluku untuk mencegah penularan Covid-19. Salah seorang mahasiswa mengatakan mereka nekat pulang ke kampung halaman lantaran kehabisan uang belanja dan sempat menahan lapar akibat bahan makanan mulai menipis dikontrakan. (cnnindonesia.com)
Itu hanyalah beberapa contoh saja. Namun, diluaran sana masih banyak rakyat yang mengalami penderitaan akibat dampak dari pandemi ini.
Disisi lain, pemerintah yang mempunyai kewajiban untuk mengurusi rakyat dianggap lamban, sehingga banyak menimbulkan korban kematian baik akibat terkena Covid-19 atau karena kelaparan.

Belum usai dampak luar biasa yang dialami rakyat akibat pandemi ini, kini para pejabatnya mengambil kesempatan emas demi memuluskan kepentingan mereka. Bantuan sosial (bansos) pun menjadi ajang bagi mereka untuk mengambil hati rakyat jelang pilkada 2020.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sempat viral di media sosial, yakni Bupati Klaten Sri Mulyani yang memanfaatkan dana bansos Corona dengan menempel stiker bergambar dirinya pada sejumlah bansos seperti hand sanitizer. Padahal diketahui bantuan tersebut berasal dari Kementrian Sosial untuk warga Klaten.

Hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh pejabat daerah saja, bahkan sekelas Presiden pun seolah tak mau melewatkan kesempatan ini untuk mencitrabaikkan diri di mata rakyatnya terlebih dalam kondisi pandemi ini. Motif pencitraan ini semakin dipertegas manakala Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara mengakui penyaluran bantuan sosial (bansos) berupa paket sembako untuk warga terdampak virus Corona (Covid-19) sempat tersendat. Hal itu dikarenakan harus menunggu bungkus untuk mengemas paket sembako yang bertuliskan ‘Bantuan Presiden RI Bersama Lawan Covid-19’. (merdeka.com)

Sungguh miris, jeritan rakyat akibat kelaparan di tengah pandemi ini tak lebih penting di bandingkan pembungkus yang berlabel Presiden. Pemerintah rela menunda penyaluran bansos hanya demi sebuah pembungkus.
Dari sini kita bisa melihat bahwa bansos tak murni datang dari hati nurani, akan tetapi sarat akan politisasi baik tingkat daerah maupun tingkat nasional. Tentu publik tak habis pikir, mengapa di tengah kesulitan rakyat yang begitu menyedihkan masih saja pemerintah mencari untung untuk kepentingan pribadi.

Sungguh pemandangan ini sangat jauh berbeda jika disandingkan dengan kepemimpinan dalam Islam. Dimana Khalifah sangat mementingkan kebutuhan umat dibandingkan dengan dirinya sendiri, bahkan tanpa adanya unsur pencitraan, karena semua itu dilakukan semata-mata karena memahami kewajiban dan tangggung jawabnya.

Sebagaimana yang terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khatthab. Selain itu, sejarah Islam mencatat kembali keteladanan lain dalam diri Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mana ketika rakyar hidup dibawah kepemimpinannya kala itu tidak ada seorang pun yang mau menerima zakat karena semuanya telah hidup dengan layak.

Sederet kepemimpinan yang dimiliki dalam sistem Islam mustahil dimiliki para pemimpin negeri saat ini. Jika kita mendambakan pemimpin yang melayani rakyat dan jauh dari kata pencitraan, bukanlah dari demokrasi. Melainkan dengan mewujudkan kepemimpinan Islam sebagai satu-satunya solusi atas krisis kepercayaan rakyat terhadap pemimpin negeri ini, Wallâhu a’lam bi ash-shawâb

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *