Oleh: Mesi Tri Jayanti (Mahasiswa FH UNIB)
Sungguh miris, ketika posisi agama di kancah perpolitikan hari ini hanya sebagai ‘katrol’ untuk mendulang suara. Namun, memisahkan agama dari politik untuk menghindari terjadinya politisasi agama jelas bukanlah solusi.
Agama dan politik tidak dapat dipisahkan, sebab politik merupakan bagian integral dari ajaran Islam itu sendiri. Meski demikian, dalam Islam tidak dibenarkan adanya politisasi agama. Apalagi tujuan dan aktivitas berpolitiknya tidak terkait sama sekali dengan tuntunan politik dalam Islam.
Namun realitanya dalam kontestasi politik sistem demokrasi, praktik politisasi agama sudah tidak asing lagi di tengah masyarakat. Bahkan hampir di setiap pemilihan pemimpin maupun legislatif sangat lazim dilakukan. Apa yang dilakukan semua rezim yang berkuasa pun tak lepas dari politisasi agama.
Lihatlah bagaimana calon presiden dulu mendadak islami mengunjungi para ulama dengan alasan silaturahmi. Bahkan keberadaan jabatan wakil presiden pun, menurut banyak pengamat politik seolah hanya didaulat sebagai pendulang suara. Bukankah ini pun potret politisasi agama?
Menanggapi berbagai fenomena politisasi agama ini, dalam webinar Moya Institute yang bertema “Gaduh Politisasi Agama”, Ketua Umum Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia TGB Muhammad Zainul Majdi mengingatkan bahwa politisasi agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik akan berdampak buruk dan berbahaya. (antaranews.com, 19/11/2020)
Menurutnya, politisasi agama merupakan bentuk paling buruk dalam hubungan agama dan politik. Sekelompok kekuatan politik menggunakan sentimen keagamaan untuk menarik simpati kemudian memenangkan kelompoknya. Menggunakan simbol agama untuk mendapatkan simpati.
TGB pun menilai akhir-akhir ini ada kelompok tertentu yang mempolitisasi agama dengan tujuan politik, murni untuk mencapai kekuasaan. Bahkan Sekjen Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruqutni mencontohkan apa yang dilakukan HRS merupakan bagian dari politisasi agama.
Lebih lagi, seorang kafir Joe Biden dalam kampanyenya menyebutkan sebuah hadis untuk mengkritisi kinerja Donal Trump. Meski apa yang dilontarkan Joe Biden saat berkampanye saat itu bukanlah merupakan keyakinannya atas hadis tersebut. Hal demikian dia lakukan hanya untuk mengambil hati umat Islam Amerika.
Inilah yang dinamakan politisasi agama, yaitu menjadikan agama hanya sebatas alat pendulang suara. Sebagaimana hakikat sebuah alat, hanya digunakan saat dibutuhkan, jika tidak akan disingkirkan. Artinya ketika kepentingan politik sudah didapatkan, agama akan dibuang jauh-jauh.
Inilah tabiatnya demokrasi sesungguhnya. Sistem pemilihan yang hanya mengandalkan suara, nyatanya memposisikan agama dengan begitu rendahnya. Asasnya yang sekuler, menolak agama dalam mengatur negara menjadikan agama seharga jumlah suara.
Bahkan, seorang kafir Joe Biden dalam kampanyenya menggunakan sebuah hadits untuk mengkritisi kinerja Donal Trump. Sungguh, apa yang dilontarkan Joe Biden saat berkampanye dulu bukanlah merupakan keyakinannya kepada hadis tersebut. Hal demikian dia lakukan hanya untuk mengambil hati umat Islam Amerika.
Begitupun dengan citra yang menghiasi personal dalam pertai tersebut, sebaik apa pun itu namun jika dia masuk dalam politik demokrasi, pasti akan terbawa arus. Demokrasi tidak akan mengakomodasi ajaran Islam apalagi dalam penerapan hukum Islam secara kaffah (menyeluruh). Mekanisme suara terbanyaklah yang akan mengkompromikan hukum Allah SWT.
Padahal dalam Islam, politik menempati peran yang cukup penting. Yakni bagaikan saudara kembar yang saling membutuhkan. Menurut Imam Al-Ghazali, Agama dan kekuasaan bagaikan saudara kembar. Agama adalah fondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan lenyap.
Sudah saatnya, arah politik negeri ini menjadikan agama sebagai pedoman agar kekuatan politik yang kita raih semata untuk menerapkan syariat Islam. Dengan diterapkannya syariat islam, politisasi agama tidak akan terjadi. Parpol tersebut haruslah mendekati umat dengan sabar. Mengedukasi mereka agar paham bahwa kaum muslim bisa beribadah dengan sempurna jika ada institusi yang menerapkan Islam.
Insyaallah, parpol yang berlandaskan Islam dan memiliki visi mewujudkan kembali kehidupan Islam, serta menggunakan metode yang sesuai ajaran Nabi Saw., akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT.
“Dan barang siapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Allah itulah yang menang.” (Al Maidah 56)
Semoga Allah SWT segera menurunkan pertolongannya, dengan menjadikan agama ini sebagai pedoman umat manusia dalam menjalankan semua aspek kehidupannya.
Wallahua’alam bish-shawwab